Sunday, January 6, 2019

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )


BAB I

Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi), ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce.

Masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain berbeda.

a. Definisi Schmitthoff

 Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations”. Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:

1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.

 2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.

            Adapula ruang lingkup kajian bidang hukum ini yang sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda.

c. Definisi Michelle Sanson

 Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia Sanson. Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson ‘can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the exchange of goods, services and technology between nations. Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi. Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law)

d. Definisi Hercules Booysen

 Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. . Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:

(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional.

(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).

(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum.

Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait dengan perdagangan internasional. Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy). Seangkan hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubunganhubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.

Adapula karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Selain karakteristik hukum Internasional, adapula rinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internasional yang diperkenalkan oleh sarjana hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn adalah :

1.      Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak

Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).

2.      Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal.

3.      Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Arbitrase dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.

4.      Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik.

Smith menganggap perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi bagaimana memaksimalkan potensi. Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya, negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling penting di dunia dewasa ini.

Masyarakat internasional kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2 lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan ekspor-impor negara-negara. Krisis keuangan internasional pada tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat ini.

Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi semakin penting Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara.

Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya adalah :

(a) untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.

(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara;

(c) meningkatkan standar hidup umat manusia.

(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.

Tujuan lainnya yang juga relevan adalah: 

(e) untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara.

(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.

Hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:

(a) hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya.

(b) Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa).

Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:

(1)   Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.

(2)   Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional.

(3)   Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional.

Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan). Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif. Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan:

a)      Perjanjian atau Konvensi Internasional

Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem hukum nasional. Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu contoh.

b)      Hukum seragam (Uniform Laws)

Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara.

c. Aturan Seragam (Uniform Rules)

Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.

Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization (WTO). Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang Internasional), dan International Law Association (ILA atau Asosiasi Hukum Internasional).



BAB II

            Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Adapun subyek hukum yang dapat tergolong ke dalam lingkup hukum perdagangan internasional adalah sebagai berikut :

1.      Negara

Negara adalah subyek hukum yang paling sempurna. Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan. Dewasanya negara berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll. Negara juga bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll. Negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai pedagang.

2.      Organisasi Perdagangan Internasional



·         Pemerintah

Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara guna mencapai tujuan bersama. Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, seperti UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan internasional.



·         Organisasi Internasional Non-Pemerintah

Di samping organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek hukum lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization) swasta (non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional). NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau asosiasi dagang.

 Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai bidang hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits (UCP).

3.      Individu

Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Adalah individu yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. individu adalah subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah :

(a) perusahaan multinasional

 (b) bank



BAB III

Sumber hukum perdagangan internasional atau yang dikenal dalam lapangan ini, yaitu:

(1)   perjanjian internasional

            perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral, regional dan bilateral. Multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional

(2)   hukum kebiasaan internasional

            Sebagai suatu sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum perdagangan internasional justru lahir dari adanya praktek-praktek para pedagang yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan yang berulang-ulang dengan waktu yang relatif lama tersebut menjadi mengikat.

            Adapun suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a). Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak (praktek negara)

b). Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitatis).

(3) prinsip-prinsip hukum umum

                  Prinsip-prinsip hukum umum belum ada pengertian yang  menjabarkannya dan       diterima secara luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir baik dari sistem            hukum nasional maupun hukum internasional. Sumber hukum ini akan mulai berfungsi          manakala hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak       memberi jawaban atas sesuatu persoalan.

(4) Putusan-putusan badan pengadilan dan doktrin

                  Sumber hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum          terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang         perdagangan internasional). Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan       internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam         sistem hukum Common Law (Anglo Saxon). Statusnya sedikit banyak sama seperti     yang kita kenal dalam sistem hukum kontinental (Civil Law). Bahwa putusan         pengadilan sebelumnya hanya untuk dipertimbangkan. Jadi ada semacam ‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-          putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan       internasional).

(5) Kontrak

                  Sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh        para pedagang sendiri. Seperti kita dapat pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang-       undang’ bagi para pihak yang membuatnya. Kontrak dalam perdagangan internasional          tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya. Artinya, kontrak tersebut,       meskipun di bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh        hukum nasional (suatu negara tertentu).





(6) Hukum Nasional

      Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang             internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi        (kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila      tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat. Jurisdiksi            atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk mengatur segala

       (a) Peristiwa hukum

      (b) Subyek hukum

      (c) Benda yang berada di dalam wilayahnya.



BAB IV

GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs).

 Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat. Ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:

1)      Meningkatkan taraf hidup umat manusia.

2)      Meningkatkan kesempatan kerja

3)      Meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia

4)      Meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.

Ada dua fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya:

(1)   Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negaranegara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the ‘rules of the road’ for trade).

(2)   Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di sini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan).

GATT dibentuk sebagai suatu dasar (atau wadah) yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di samping Bank Dunia dan IMF. Pada waktu pembentukannya, negara-negara yang pertama kali menjadi anggota adalah 23 negara. Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam International Trade Organization (Organisasi Perdagangan Internasional) yang pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.

Benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari pada waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus 1941. Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada non-diskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa. Ketentuan-ketentuan perdagangan yang membentuk suatu sistem perdagangan multilateral yang terkandung dalam GATT, memiliki 3 ketentuan utama :

Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu sendiri beserta ke-38 pasalnya.

Kedua, yang dihasilkan dari perundingan putaran Tokyo (Tokyo Round 1973-1979) adalah ketentuan-ketentuan yang mencakup anti-dumping, subsidi dan ketentuan non-tarif atau masalah-masalah sektoral.

Ketiga adalah ketentuan mengenai “multi fibre arrangements”. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan GATT umumnya terutama menyangkut tekstil dan pakaian.

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada 5 prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah:

1.      Prinsip most-favoured-nation

2.      Prinsip National Treatment.

3.      Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.

4.      Prinsip Perlindungan melalui Tarif.

5.      Prinsip Resiprositas.

GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasalpasal tersebut dibagi ke dalam 4 bagian:

Pertama mengandung dua pasal, yaitu:

·         Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT.

·         Pasal II berisi tentang penurunan tarif yang disepakati berdasarkan penurunan tarif yang disepakati.

Kedua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal XXII.

·         Pasal III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.

·         Pasal IV berada di bawah judul ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi (cinematograph film).

·         Pasal V mengatur kebebasan transit.

·         Pasal VI mengatur anti-dumping dan bea masuk tambahan.

·         Pasal VII (valuation for custom purposes atau penilaian atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan).

·         Pasal VIII berada di bawah judul fees and formalities (biaya-biaya dan formalitas-formalitas).

·         Pasal IX mengatur tanda asal (marks of origin).

·         Pasal X mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan.

·         Pasal XI sampai XV mengatur restriksi atau pembatasan kuantitatif.

·         Pasal XVI mengatur subsidi.

·         Pasal XVII mengatur perusahaan dagang negara (state trading enterprises).

·         Pasal XVIII berada di bawah judul ‘governmental assistance to economic development’ (bantuan pemerintah kepada pembangunan ekonomi )

·         Pasal XIX mengatur tindakan darurat atas impor produkproduk tertentu.

·         Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions).

·         Pasal XXI GATT membenarkan suatu negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasar GATT dengan alasan keamanan (security exeption).

·         Pasal XXII dan XXIII mengatur penyelesaian sengketa di dalam GATT.

 Ketiga berisi 11 pasal.

·         Pasal XXIV mengatur bagaimana customs union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip most-favored-nation.

·         Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari negara-negara anggota GATT.

·         Pasal XXVI sampai XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT.

        Keempat terdiri dari 3 pasal

·   Pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara sedang Berkembang di bidang perdagangan internasional.

·   Pasal XXXVII mengatur komitmen negara-negara (maju).

·   Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk membantu perdagangan negara sedang berkembang.



BAB V

Perdagangan internasional terwujud karena adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang mereka tuangkan dalam kontrak. Dalam kontrak ini biasanya mereka juga cantumkan bagaimana cara, sistem atau klausul pembayarannya. Sistem pembayaran ini merupakan salah satu hal yang penting dalam transaksi perdagangan. Dalam transaksi dagang yang sifatnya terbatas di mana penjual dan pembeli berada dalam wilayah atau tempat yang sama, pembayaran dan penyerahan barang dapat dilakukan secara langsung. Lain halnya dengan perdagangan internasional. Para pihak mungkin kurang begitu saling kenal. Domisili mereka berjauhan. Berikut adalah sistem-sistem yang umum digunakan:

1.      Kredit berdokumen (Documentary Credit)

Pembeli (importir) tidak mau membayar sebelum ia memiliki barangnya dan memeriksa barangnya apakah barang tersebut sesuai dengan kontrak. Penjual (eksportir) juga tidak akan mengirim barangnya selama ia belum mendapat kepastian bahwa harga yang telah disepakati dalam kontrak dibayar. Karena jarak kedua pihak, praktek perdagangan yang mungkin berbeda dan mungkin saja satu sama lain tidak kenal, maka semua perbedaan ini dapat menjadi hambatan bagi perdagangan internasional. Namun dengan lahirnya sistem kredit berdokumen (documentary credits), yang juga dikenal dengan Letters of Credit (L/C), perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani.

Pengadilan Inggris memandang Letters of Credit sebagai “the life blood of international commerce.”Peran tersebut adalah:

(1) Memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor

(2) Mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang impor.

(3) Menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.

Persiapan yang harus ada untuk terbitnya Letters of Credit adalah kesepakatan antara Seller dan Buyer untuk membuat dan menandatangani sebuah sales contract (kontrak penjualan). Yang mendasari terbitnya sebuah Letters of Credit adalah kontrak jual beli atau sales contract yang sudah disepakati bersama dan kemudian disahkan dengan penandatanganan oleh masing-masing pihak antara penjual dan pembeli.

Pada umumnya, para pihak yang terlibat dalam pembukaan transaksi Letters of Credit adalah:

(1)   Applicant (buyer atau pembeli)

(2)   Penerima (Beneficiary)

(3)   Bank penerbit (Opening Bank atau issuing bank)

(4)   Bank penerus

Data-data yang harus tercantum dalam formulir aplikasi terdiri dari:

(1) Nama dan alamat Beneficiary

(2) Nama dan alamat pembeli/pemohon

(3) Nilai Letters of Credit yang dibuka dengan shipping terms yang talah disetujui (FOB/CIF/C&F)

(4) Jenis Letters of Credit (Revocable/Irrevocable)

(5) Syarat pembayaran (Sight/Usance)

(6) Uraian barang

(7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik jenis maupun jumlahnya

(8) Masa berlakunya Letters of Credit (Validity of the Credit) dengan menetapkan “expire date”

(9) Tanggal pengapalan terakhir

(10) Pelabuhan bongkar muat

(11) Persyaratan barang yang harus dikirim oleh penjual

(12) Ketentuan-ketentuan khusus yang diperlukan (misalnya: boleh tidaknya penggantian kapal

(13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau teleks, dan sebagainya

            Letters of Credit yang dibuka oleh suatu bank harus memenuhi syarat-syarat umum yaitu:

(1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan pemohon dengan jelas

(2) Menyebutkan masa berlakunya Letters of Credit

(3) Mencantumkan nama bank penerus (advising bank) yang dituju

(4) Mencantumkan dengan tegas jenis Letters of Credit

(5) Uraian barang harus jelas dan tegas

(6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat dalam Letters of Credit harus jelas tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan hal-hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary)

(7) Menyatakan bahwa Letters of Credit tunduk pada UCPDC dengan mencantumkan klausul yang berbunyi“This credit is subject to Uniform Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC Publication 500.”

Aturan hukum yang mengatur kredit berdokumen ini adalah:

(1)   Ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Internasional.

(2)   The Uniform Customs and Practice (UCP).

Selain aturan dan syarat syarat, Letters of Credit juga memiliki beberapa jenis yaitu :

(1)   Revocable Letters of Credit.

(2)   Irrevocable Letters of Credit.

(3)   Irrevocable Confirmed Letters of Credit.

(4)   Sight (Payment) Letters of Credit.

(5)   Acceptance Letters of Credit.

2. Kredit komersial jangka pendek, menengah dan panjang (Short, Medium and Long term commercial credit)

3. Bentuk-bentuk pembiayaan khusus (Particular financing techniques)

Bentuk Khusus Kredit Berdokumen

(1)   Standby Letters of Credit.

(2)   Transferable Letters of Credit.

(3)   Back to Back Letters of Credit.

(4)   Revolving Letters of Credit.

(5)   Red Clause Letters of Credit.

4.      Jaminan Bank (Bank Guarantee atau Auotonomous Guarantee)





BAB VI

UNCITRAL telah menempuh suatu pendekatan fungsional dalam Model Law. UNCITRAL tidak menempuh upaya menyusun kembali aturanaturan yang ada untuk mengakomodasi e-commerce. Namun yang dilakukan UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit penyesuaian). Misalnya, masalah integritas dan keaslian (authenticity) dari suatu pesan data dari tanda tangan elektronis telah diselesaikan dengan penggunaan metode cryptography. Di samping penggunaan cryptography, sebenarnya apa yang Model Law sumbangkan secara signifikan adalah pengakuan hukum terhadap pesan data.51 Endeshaw mentakan bahwa Model Law ini semata-mata menetapkan “legal recognition of data message transmitted via electronic or other form.”

Oleh karena itulah mengapa beberapa negara telah membuat rancangan UU-nya mengenai perdagangan secara e-commerce ini dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan dari Model Law ini. Termasuk antara lain Amerika Serikat dalam 'Uniform Commercial Code'-nya, the Illinois Electronic Commerce Security Act, dan the Danish Bill for an Act on Digital Signature. Malaysia telah mengundangkan perundang-undangannya mengenai electronic commerce dan tanda tangan digital. Negaranegara lainnya telah pula mempertimbangkan UU nasionalnya untuk bidang electronic commerce dan tanda tangan digital ini. Sejak bulan Oktober 1997, Inggris telah memperkenalkan perdagangan elektronik-nya di pasar modalnya (Stock Exchange). Di Jerman telah pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada tahun 1997 (mulai berlaku pada tanggal 1 November 1997).

Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah menyikapi hadirnya e-commerce ini. Sebenarnya masalah utamanya adalah sederhana, aturan hukum RI hanya perlu mengakui keabsahan transaksi-transaksi melalui e-commerce. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengakuan terhadap data elektronik sebagai alat bukti di hadapan pengadilan. Alat bukti yang diakui hukum Indonesia adalah:

(1) Bukti tulisan

(2) Bukti saksi-saksi

(3) Persangkaan-persangkaan

(4) Pengakuan

(5) Bukti sumpah

Sebagai perbandingan, negara berkembang lainnya adalah Cina. Pada bulan Maret 1999, Cina mengeluarkan hukum kontrak yaitu the Contract Law of the People’s Republic of China. UU tahun 1999 ini menyatakan bahwa tulisan dapat berupa berbagai wujud atau bentuk, termasuk tulisan-tulisan yang ‘disimpan secara visual’ (‘visually recorded’). Dalam pengertian tersebut yang tercakup ke dalamnya adalah kontrak-kontrak elektronik. Karena kontrak-kontrak tersebut dapat ‘dilihat’, maka kontrak demikian sah menurut hukum kontrak Cina.



BAB VII

Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya antara

1. Pedagang dan pedagang

2. Pedagang dan negara asing.

Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional :

1.      Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

2.      Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa

3.      Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

4.      Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

5.      Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Negosiasi

Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut:

Pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi)

kedua, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi)



2.      Mediasi

Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasiinformasi yang diberikan oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya.

3.      Konsiliasi

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.

Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).

4.      Arbitrase

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:

(1)   penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan.

(2)   kerahasiaannya.

(3)   Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak.

(4)   Dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan.

(5)   Putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.

Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC). 

5.      Pengadilan (Nasional dan Internasional)

Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara anggota WTO. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice).

Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum. Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:

 (1) Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang

 (2) Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak

 (3) Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang)

(4) Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.

Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tersebut adalah:

(1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex causae)

(2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law)

Telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy). Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum dikenal adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah: 

(1) Tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum

(2) Kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik

(3) Hanya berlaku untuk hubungan dagang

(4) Hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang)

(5) Tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah

(6) Tidak untuk menyelundupkan hukum.


RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...