BAB I
Hukum
perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang
lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya
lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana,
yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian,
perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang
kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang
internasional ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi
(khususnya teknologi informasi), ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi
yang disebut dengan e-commerce.
Masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang
hukum ini. Hingga dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain
berbeda.
a. Definisi Schmitthoff
Definisi pertama
adalah definisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya
tahun 1966. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan
internasional sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship
of a private law nature involving different nations”. Dari definisi tersebut
dapat tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan
aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.
2) Aturan-aturan
hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.
Adapula
ruang lingkup kajian bidang hukum ini yang sifatnya adalah lintas batas atau
transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum
yang berbeda.
c. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lainnya
yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia Sanson. Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson
‘can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the
exchange of goods, services and technology between nations. Definisi di atas
sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang
hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya
menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para
pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek kajiannya,
Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi. Sanson membagi
hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum
perdagangan internasional publik (public interntional trade law) dan hukum
perdagangan internasional privat (private international trade law)
d. Definisi Hercules Booysen
Booysen sarjana
Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu
hukum sangatlah kompleks. . Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang
sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional.
(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan
hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan
perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari
aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap
perdagangan internasional secara umum.
Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan
antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait dengan
perdagangan internasional. Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk
membedakan kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk
kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal lebih banyak
mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy). Seangkan hukum perdagangan
internasional lebih menekankan kepada hubunganhubungan hukum yang dilakukan
oleh badan-badan hukum privat.
Adapula karakteristik lain dari hukum perdagangan
internasional ini adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat
memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak
bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Selain karakteristik hukum
Internasional, adapula rinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang
dikenal dalam hukum perdagangan internasional yang diperkenalkan oleh sarjana
hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn adalah :
1.
Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya
adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem
hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat
kontrak-kontrak dagang (internasional).
2.
Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
Pacta Sunt Servanda adalah prinsip yang
mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun
sifatnya universal.
3.
Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Arbitrase dalam perdagangan internasional
adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul
arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh
karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
4.
Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para
pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan
melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau
melalui sarana elektronik.
Smith menganggap perdagangan internasional sebagai salah
satu bagian dari keunggulan komparatif (principle of comparative advantage).
Teori beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam perdagangan,
faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi bagaimana memaksimalkan potensi.
Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan alam dan luas
wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan kekuatan manajemen
dalam perdagangan internasionalnya, negeri ini berhasil menjadikannya sebuah
negara yang paling penting di dunia dewasa ini.
Masyarakat internasional kemudian menyelenggarakan
konperensi Bretton Woods guna mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini.
Berdirinya ke-2 lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem
moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi pinjaman
jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca pembayaran yang disebabkan
oleh adanya defisit perdagangan ekspor-impor negara-negara. Krisis keuangan
internasional pada tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan
erat ini.
Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan
ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok perdagangan
baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecenderungan ini pun peran
perjanjian internasional menjadi semakin penting Semakin pentingnya peran
perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah
melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang
barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara.
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya adalah
:
(a) untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil
dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional
yang merugikan negara lainnya.
(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan
menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi
semua negara;
(c) meningkatkan standar hidup umat manusia.
(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e) untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral,
bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan
perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara.
(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia
dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.
Hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup
banyak kelemahan. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a) hukum perdagangan internasional sebagian besar
bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum
perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara
untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki
kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan
politisnya.
(b) Aturan-aturan hukum perdagangan internasional
bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa).
Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti
materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan
ke dalam 3 tahap, yakni:
(1)
Hukum perdagangan internasional dalam masa awal
pertumbuhan.
(2)
Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam
hukum nasional.
(3)
Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional
dan Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan
Internasional.
Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi
hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau
titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem
hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan). Dalam upaya unifikasi dan
harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan
diterapkannya. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi
dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya
dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif. Menurut
Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan
memberlakukan:
a)
Perjanjian atau Konvensi Internasional
Penerapan atau
pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling
banyak digunakan dalam mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk
memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem
hukum nasional. Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu
contoh.
b)
Hukum seragam (Uniform Laws)
Hukum seragam
tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam model
hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial
Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang
hendak menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Sifat hukum seragam tidak
mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau
penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara.
c. Aturan Seragam (Uniform Rules)
Aturan-aturan
seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk
aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau
kontrak baku. Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh
para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini
telah cukup serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization (WTO).
Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga
berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan
internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC atau
Kamar Dagang Internasional), dan International Law Association (ILA atau
Asosiasi Hukum Internasional).
BAB II
Dalam
aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang
berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Adapun
subyek hukum yang dapat tergolong ke dalam lingkup hukum perdagangan
internasional adalah sebagai berikut :
1.
Negara
Negara adalah
subyek hukum yang paling sempurna. Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang
memiliki kedaulatan. Dewasanya negara berperan baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan)
internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll. Negara juga
bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna
mengatur transaksi perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini
adalah perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman
modal bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll. Negara berperan
juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai pedagang.
2.
Organisasi Perdagangan Internasional
·
Pemerintah
Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih
ngara guna mencapai tujuan bersama. Di antara berbagai organisasi internasional
yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, seperti
UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi internasional yang berperan
cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan internasional.
·
Organisasi Internasional Non-Pemerintah
Di samping
organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek hukum
lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization)
swasta (non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM
internasional). NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau
asosiasi dagang.
Peran penting NGO dalam mengembangkan
aturan-aturan hukum perdagangan internasional tidak dapat dipandang dengan
sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of Commerce atau Kamar
Dagang Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai bidang
hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration
Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for
Documentary Credits (UCP).
3.
Individu
Individu atau
perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Adalah individu
yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan
internasional. individu adalah subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal
persons of a private law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam
kategori ini adalah :
(a) perusahaan
multinasional
(b) bank
BAB III
Sumber hukum perdagangan internasional atau yang
dikenal dalam lapangan ini, yaitu:
(1)
perjanjian internasional
perjanjian
internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral,
regional dan bilateral. Multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat
lebih dari dua pihak (negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional
(2)
hukum kebiasaan internasional
Sebagai
suatu sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang
dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum
perdagangan internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum
perdagangan internasional justru lahir dari adanya praktek-praktek para
pedagang yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan yang
berulang-ulang dengan waktu yang relatif lama tersebut menjadi mengikat.
Adapun suatu
praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a). Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan
diikuti oleh lebih dari dua pihak (praktek negara)
b). Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris
sive necessitatis).
(3) prinsip-prinsip hukum umum
Prinsip-prinsip
hukum umum belum ada pengertian yang menjabarkannya dan diterima secara luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini
lahir baik dari sistem hukum
nasional maupun hukum internasional. Sumber hukum ini akan mulai berfungsi manakala hukum perjanjian
(internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberi jawaban atas sesuatu persoalan.
(4) Putusan-putusan badan pengadilan dan
doktrin
Sumber
hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau
jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan
internasional). Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan
hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem
hukum Common Law (Anglo Saxon). Statusnya sedikit banyak sama seperti yang kita kenal dalam sistem hukum
kontinental (Civil Law). Bahwa putusan pengadilan
sebelumnya hanya untuk dipertimbangkan. Jadi ada semacam ‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan
untuk mempertimbangkan putusan- putusan
pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional).
(5) Kontrak
Sumber
utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Seperti kita dapat
pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang- undang’
bagi para pihak yang membuatnya. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang
ada unsur asingnya. Artinya, kontrak tersebut, meskipun di
bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu negara tertentu).
(6) Hukum Nasional
Peran
hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari
hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi (kewenangan)
negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan
itu tidak dapat diganggu gugat. Jurisdiksi atau
kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk mengatur segala
(a) Peristiwa hukum
(b)
Subyek hukum
(c)
Benda yang berada di dalam wilayahnya.
BAB IV
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947.
Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi
GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran
aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi
bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa
(GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan
yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs).
Tujuan
pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu iklim perdagangan internasional
yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan
liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim
perdagangan yang sehat. Ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:
1)
Meningkatkan taraf hidup umat manusia.
2)
Meningkatkan kesempatan kerja
3)
Meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia
4)
Meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Ada dua fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya:
(1)
Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral
yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negaranegara anggota
GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the ‘rules of the
road’ for trade).
(2)
Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di
sini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari
rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan).
GATT dibentuk sebagai suatu dasar (atau wadah)
yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran
masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di samping
Bank Dunia dan IMF. Pada waktu pembentukannya, negara-negara yang pertama kali menjadi anggota
adalah 23 negara. Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam
International Trade Organization (Organisasi Perdagangan Internasional) yang
pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.
Benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya
berawal dari pada waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter)
pada bulan Agustus 1941. Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan
suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada non-diskriminasi dan
kebebasan tukar menukar barang dan jasa. Ketentuan-ketentuan perdagangan yang membentuk suatu
sistem perdagangan multilateral yang terkandung dalam GATT, memiliki 3 ketentuan
utama :
Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu sendiri beserta
ke-38 pasalnya.
Kedua, yang dihasilkan dari perundingan putaran Tokyo (Tokyo
Round 1973-1979) adalah ketentuan-ketentuan yang mencakup anti-dumping, subsidi
dan ketentuan non-tarif atau masalah-masalah sektoral.
Ketiga adalah ketentuan mengenai “multi fibre arrangements”.
Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan GATT umumnya
terutama menyangkut tekstil dan pakaian.
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT
berpedoman pada 5 prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah:
1.
Prinsip most-favoured-nation
2.
Prinsip National Treatment.
3.
Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.
4.
Prinsip Perlindungan melalui Tarif.
5.
Prinsip Resiprositas.
GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya,
dari pasalpasal tersebut dibagi ke dalam 4 bagian:
Pertama mengandung dua pasal, yaitu:
·
Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip utama
GATT.
·
Pasal II berisi tentang penurunan tarif yang disepakati
berdasarkan penurunan tarif yang disepakati.
Kedua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal XXII.
·
Pasal III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya
lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk
melindungi produksi dalam negeri.
·
Pasal IV berada di bawah judul ketentuan-ketentuan khusus
mengenai film sinematografi (cinematograph film).
·
Pasal V mengatur kebebasan transit.
·
Pasal VI mengatur anti-dumping dan bea masuk tambahan.
·
Pasal VII (valuation for custom purposes atau penilaian
atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan).
·
Pasal VIII berada di bawah judul fees and formalities
(biaya-biaya dan formalitas-formalitas).
·
Pasal IX mengatur tanda asal (marks of origin).
·
Pasal X mengatur persyaratan publikasi dan administrasi
pengaturan-pengaturan perdagangan.
·
Pasal XI sampai XV mengatur restriksi atau pembatasan
kuantitatif.
·
Pasal XVI mengatur subsidi.
·
Pasal XVII mengatur perusahaan dagang negara (state
trading enterprises).
·
Pasal XVIII berada di bawah judul ‘governmental
assistance to economic development’ (bantuan pemerintah kepada pembangunan
ekonomi )
·
Pasal XIX mengatur tindakan darurat atas impor
produkproduk tertentu.
·
Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions).
·
Pasal XXI GATT membenarkan suatu negara untuk
menanggalkan kewajibannya berdasar GATT dengan alasan keamanan (security
exeption).
·
Pasal XXII dan XXIII mengatur penyelesaian sengketa di
dalam GATT.
Ketiga berisi 11 pasal.
·
Pasal XXIV mengatur bagaimana customs union and free
trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip
most-favored-nation.
·
Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh para pemerintah dari negara-negara anggota GATT.
·
Pasal XXVI sampai XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang
pemberlakuan GATT.
Keempat terdiri dari 3 pasal
· Pasal XXXVI menyadari adanya
kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara sedang Berkembang di bidang
perdagangan internasional.
· Pasal XXXVII mengatur komitmen negara-negara
(maju).
· Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh
para anggota untuk membantu perdagangan negara sedang berkembang.
BAB V
Perdagangan internasional terwujud karena
adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang mereka tuangkan dalam kontrak.
Dalam kontrak ini biasanya mereka juga cantumkan bagaimana cara, sistem atau
klausul pembayarannya. Sistem pembayaran ini merupakan salah satu hal yang
penting dalam transaksi perdagangan. Dalam transaksi dagang yang sifatnya
terbatas di mana penjual dan pembeli berada dalam wilayah atau tempat yang
sama, pembayaran dan penyerahan barang dapat dilakukan secara langsung. Lain
halnya dengan perdagangan internasional. Para pihak mungkin kurang begitu
saling kenal. Domisili mereka berjauhan. Berikut adalah sistem-sistem yang umum
digunakan:
1. Kredit berdokumen
(Documentary Credit)
Pembeli (importir) tidak mau membayar sebelum ia memiliki barangnya dan
memeriksa barangnya apakah barang tersebut sesuai dengan kontrak. Penjual
(eksportir) juga tidak akan mengirim barangnya selama ia belum mendapat
kepastian bahwa harga yang telah disepakati dalam kontrak dibayar. Karena jarak
kedua pihak, praktek perdagangan yang mungkin berbeda dan mungkin saja satu
sama lain tidak kenal, maka semua perbedaan ini dapat menjadi hambatan bagi
perdagangan internasional. Namun dengan lahirnya sistem kredit berdokumen
(documentary credits), yang juga dikenal dengan Letters of Credit (L/C),
perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani.
Pengadilan Inggris memandang Letters of Credit sebagai “the life blood of
international commerce.”Peran tersebut adalah:
(1) Memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor
(2) Mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang impor.
(3) Menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.
Persiapan yang harus ada untuk terbitnya Letters of Credit adalah
kesepakatan antara Seller dan Buyer untuk membuat dan menandatangani sebuah
sales contract (kontrak penjualan). Yang mendasari terbitnya sebuah Letters of Credit
adalah kontrak jual beli atau sales contract yang sudah disepakati bersama dan
kemudian disahkan dengan penandatanganan oleh masing-masing pihak antara
penjual dan pembeli.
Pada umumnya, para pihak yang terlibat dalam pembukaan transaksi Letters of
Credit adalah:
(1) Applicant
(buyer atau pembeli)
(2) Penerima
(Beneficiary)
(3) Bank penerbit
(Opening Bank atau issuing bank)
(4) Bank penerus
Data-data yang harus tercantum dalam formulir
aplikasi terdiri dari:
(1) Nama dan alamat Beneficiary
(2) Nama dan alamat pembeli/pemohon
(3) Nilai Letters of Credit yang dibuka dengan
shipping terms yang talah disetujui (FOB/CIF/C&F)
(4) Jenis Letters of Credit (Revocable/Irrevocable)
(5) Syarat pembayaran (Sight/Usance)
(6) Uraian barang
(7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik
jenis maupun jumlahnya
(8) Masa berlakunya Letters of Credit
(Validity of the Credit) dengan menetapkan “expire date”
(9) Tanggal pengapalan terakhir
(10) Pelabuhan bongkar muat
(11) Persyaratan barang yang harus dikirim
oleh penjual
(12) Ketentuan-ketentuan khusus yang
diperlukan (misalnya: boleh tidaknya penggantian kapal
(13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau
teleks, dan sebagainya
Letters
of Credit yang dibuka oleh suatu bank harus memenuhi syarat-syarat umum yaitu:
(1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan
pemohon dengan jelas
(2) Menyebutkan masa berlakunya Letters of Credit
(3) Mencantumkan nama bank penerus (advising
bank) yang dituju
(4) Mencantumkan dengan tegas jenis Letters of
Credit
(5) Uraian barang harus jelas dan tegas
(6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat
dalam Letters of Credit harus jelas tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan
hal-hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary)
(7) Menyatakan bahwa Letters of Credit tunduk
pada UCPDC dengan mencantumkan klausul yang berbunyi“This credit is subject to
Uniform Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC
Publication 500.”
Aturan hukum yang mengatur kredit berdokumen
ini adalah:
(1) Ketentuan-ketentuan
Hukum Perdata Internasional.
(2) The Uniform
Customs and Practice (UCP).
Selain aturan dan syarat syarat, Letters of
Credit juga memiliki beberapa jenis yaitu :
(1) Revocable Letters
of Credit.
(2) Irrevocable Letters
of Credit.
(3) Irrevocable
Confirmed Letters of Credit.
(4) Sight (Payment)
Letters of Credit.
(5) Acceptance Letters
of Credit.
2. Kredit komersial jangka pendek, menengah
dan panjang (Short, Medium and Long term commercial credit)
3. Bentuk-bentuk pembiayaan khusus (Particular
financing techniques)
Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
(1) Standby Letters
of Credit.
(2) Transferable
Letters of Credit.
(3) Back to Back
Letters of Credit.
(4) Revolving
Letters of Credit.
(5) Red Clause
Letters of Credit.
4.
Jaminan Bank (Bank Guarantee atau Auotonomous
Guarantee)
BAB VI
UNCITRAL telah menempuh suatu pendekatan
fungsional dalam Model Law. UNCITRAL tidak menempuh upaya menyusun kembali
aturanaturan yang ada untuk mengakomodasi e-commerce. Namun yang dilakukan
UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit penyesuaian). Misalnya,
masalah integritas dan keaslian (authenticity) dari suatu pesan data dari tanda
tangan elektronis telah diselesaikan dengan penggunaan metode cryptography. Di samping
penggunaan cryptography, sebenarnya apa yang Model Law sumbangkan secara
signifikan adalah pengakuan hukum terhadap pesan data.51 Endeshaw mentakan
bahwa Model Law ini semata-mata menetapkan “legal recognition of data message
transmitted via electronic or other form.”
Oleh karena itulah mengapa beberapa negara
telah membuat rancangan UU-nya mengenai perdagangan secara e-commerce ini
dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan dari Model Law ini.
Termasuk antara lain Amerika Serikat dalam 'Uniform Commercial Code'-nya, the
Illinois Electronic Commerce Security Act, dan the Danish Bill for an Act on Digital
Signature. Malaysia telah mengundangkan perundang-undangannya mengenai
electronic commerce dan tanda tangan digital. Negaranegara lainnya telah pula
mempertimbangkan UU nasionalnya untuk bidang electronic commerce dan tanda
tangan digital ini. Sejak bulan Oktober 1997, Inggris telah memperkenalkan
perdagangan elektronik-nya di pasar modalnya (Stock Exchange). Di Jerman telah
pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada tahun 1997 (mulai
berlaku pada tanggal 1 November 1997).
Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia
adalah menyikapi hadirnya e-commerce ini. Sebenarnya masalah utamanya adalah
sederhana, aturan hukum RI hanya perlu mengakui keabsahan transaksi-transaksi
melalui e-commerce. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengakuan terhadap
data elektronik sebagai alat bukti di hadapan pengadilan. Alat bukti yang
diakui hukum Indonesia adalah:
(1) Bukti tulisan
(2) Bukti saksi-saksi
(3) Persangkaan-persangkaan
(4) Pengakuan
(5) Bukti sumpah
Sebagai perbandingan, negara berkembang lainnya
adalah Cina. Pada bulan Maret 1999, Cina mengeluarkan hukum kontrak yaitu the
Contract Law of the People’s Republic of China. UU tahun 1999 ini menyatakan
bahwa tulisan dapat berupa berbagai wujud atau bentuk, termasuk tulisan-tulisan
yang ‘disimpan secara visual’ (‘visually recorded’). Dalam pengertian tersebut
yang tercakup ke dalamnya adalah kontrak-kontrak elektronik. Karena
kontrak-kontrak tersebut dapat ‘dilihat’, maka kontrak demikian sah menurut
hukum kontrak Cina.
BAB VII
Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah
lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya antara
1. Pedagang dan pedagang
2. Pedagang dan negara asing.
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan
di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan
internasional :
1. Prinsip
Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2. Prinsip
Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3. Prinsip
Kebebasan Memilih Hukum
4. Prinsip Itikad
Baik (Good Faith)
5. Prinsip
Exhaustion of Local Remedies
Forum penyelesaian sengketa dalam hukum
perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal
dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Negosiasi
Mengenai pelaksanaan negosiasi,
prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut:
Pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa
belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi)
kedua, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa
telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa
oleh para pihak (dalam arti negosiasi)
2. Mediasi
Mediator ikut serta secara aktif dalam proses
negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa
mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Usulah-usulan
penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini
dibuat berdasarkan informasiinformasi yang diberikan oleh para pihak, bukan
atas penyelidikannya.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi.
Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya
secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali
digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua
istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga
adalah badan yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for
Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).
4. Arbitrase
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara
sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Adapun alasan utama mengapa badan
arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
(1) penyelesaiannya
yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan.
(2) kerahasiaannya.
(3) Pemilihan
arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak.
(4) Dimungkinkannya
para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan.
(5) Putusan
arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan
apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.
Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya
lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut
misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court
of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the
Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).
5. Pengadilan
(Nasional dan Internasional)
Penyelesaian sengketa dagang melalui badan
peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Salah satu
badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO.
Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara
anggota WTO. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional
(International Court of Justice).
Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum
(choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu
negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara
otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang terakhir ini disebut
juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak sama
dengan choice of forum. Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan
digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:
(1) Menentukan
keabsahan suatu kontrak dagang
(2) Menafsirkan
suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak
(3) Menentukan
telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu
kontrak dagang)
(4) Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya
pelanggaran terhadap kontrak.
Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup
beberapa macam hukum. Hukum-hukum tersebut adalah:
(1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok
sengketa (applicable substantive law atau lex causae)
(2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan
(procedural law)
Telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum
yang akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang
didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian atau kesepakatan
(party autonomy). Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae)
sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum dikenal adalah bahwa
kebebasan memilih hukum tersebut adalah:
(1) Tidak bertentangan dengan UU atau
ketertiban umum
(2) Kebebasan tersebut harus dilaksanakan
dengan itikad baik
(3) Hanya berlaku untuk hubungan dagang
(4) Hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak
(dagang)
(5) Tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa
tanah
(6) Tidak untuk menyelundupkan hukum.