Sunday, August 19, 2018

Membangun Kembali Peradaban Islam








Membangun Kembali Peradaban Islam
Secara Sinergis, simultan dan konsisten

Oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi



 Proyek besar yang telah lama digagas dan dirintis oleh para tokoh pemikir dan pembaharu Muslim baik di Timur Tengah mapun di belahan bumi seperti di anak benua Indo-Pakistan, di dunia Melayu, dan di dunia Barat adalah Membangun Kembali Peradaban Islam. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan dan keberhasilan yang dicapai oleh para pendahulu kita, kita berkewajiban untuk mengambil pelajaran dari mereka dan menyusun strategi baru bagi kelanjutan proyek tersebut.
Proyek ini semakin penting untuk dibahas kembali dan perlu terus direalisasikan secara perlahan-lahan. Sebab stigmatisasi masyarakat Barat terhadap Islam dan umat Islam dengan "fundamentalisme, terrorisme, ekslusifisme" dsb. yang marak akhir-akhir ini berangkat dari asumsi bahwa Islam hanyalah denominasi agama dan kepercayaan yang menghasilkan fanatisme. Akibat stigma ini umat Islam bersikap responsif dan reaktif sehingga cenderung hanyut ke dalam bahasa-bahasa peperangan psikis (psy-war) yang tidak produktif bagi dialog peradaban. Mereka seakan melupakan fakta bahwa Islam adalah sebuah agama yang telah terbukti mampu berkembang menjadi peradaban yang bermartabat yang kaya dengan konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama berabad-abad lamanya.
Masyarakat dunia kini memerlukan dialog dalam bahasa peradaban, bukan hanya dalam bahasa agama. Disini identitas masing-masing peradaban perlu diperkenalkan kembali, untuk kemudian ditemukan sisi perbedaan dan persamaan agar dapat ditentukan bentuk kerjasama dan batas-batas toleransi yang dapat dan harus dipegang.
Secara internal proyek pembangunan peradaban Islam merupakan jawaban konprehensif bagi berbagai persoalan yang menggelayuti kehidupan umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan pembahasan yang agak radikal (dari radiksnya), yaitu dengan merujuk konsep-konsep dasarnya di atas mana peradaban Islam pernah dibangun dan akan kita bangun kembali.

1. Makna Peradaban Islam
Islam yang diturunkan sebagai dÊn, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata dÊn itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil.[1] Artinya dalam istilah dÊn itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dÊn (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama MadÊnah.[2] Dari akar kata dÊn dan MadÊnah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.[3]
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku TÉrÊkh al-Tamaddun al-IslÉmÊ (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madÊnah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata haÌÉrah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhÊb.

a. Islam sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclitus untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun sawÉ') ditolak dengan halus, nabi hanya berkomentar pendek "sa uhÉjim al-rËm min uqri baitÊ" (Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ketangan Alexander the Great. Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 M – 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ketangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan Muslim.[4] Demitri Gutas dengan jelas mengakui:
…..pada tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.[5]
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh lima faktor: pertama di era kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh Lombards; ketiga penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam; keempat pemberontakan rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat. [6]
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan dan militer. Dan di antara faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang diplomatis itu nampaknya terbukti. Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam sebagai dÊn yang menghasilkan tamaddun yang dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Sebab Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non Arab karena universalitas ajarannya alias kekuatan pancaran pandangan hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru I, merobek-robek surat Nabi sambil berkata :”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku”, Nabi pun berkomentar pendek “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti bahwa sesudah itu putera Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan saja lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran Romawi, Nabi tidak keluar rumah untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran Persia. Nabi hanya menyerbarkan Islam yang memang merupakan peradaban yang memiliki konsep ketuhanan, kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.

b) Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umrÉn harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrÉn besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umrÉn bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawÍÊd), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).[7]
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.[8]
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam, Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah,sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.”[9] Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai “sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”.[10] Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup itu.[11] Dalam konteks sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn[12]. Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[13] Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur al-IslÉmÊ, al-mabda al-IslÉmÊ) itu.[14] Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut dÊn, yang di dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami NazariyÉt (Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahÉdah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia....secara menyeluruh”.[15] Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-taÎawwur al-IslÉmÊ, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.”[16] Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-IslÉmÊ yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal.[17] Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqÊdah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-IslÉm li al-wujËd).[18]
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqÊdah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[19] Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.



c). Tradisi intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur'an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep 'ilm yang dalam al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi.[20] Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut AsÍÉb al-Suffah.[21] Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.[22] Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya[23] tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.[24] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, 'Abd AllÉh ibn Mas'Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699M), Muhammad ibn al-×anafiyyah (w.81/700), Umar ibn 'Abd al-'AzÊz (w.102/720) Wahb ibn Munabbih (w.110,114/719,723), ×asan al-BaÎri (w.110/728), Ja'far al-ØÉdiq (w.148/765), AbË ×anÊfah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), AbË YËsuf (w.182/799), al-ShÉfi'i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme.[25] Dari konsep 'Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:
 ….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting berada.[26]
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi.[27] Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan intelektual.[28] Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam.[29] Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam.[30] Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam.[31] Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris (farÉÌ), geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.[32]
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi ('umrÉn) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban (haÌÉrah) menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.

2. Sumbangan Islam kepada Barat
Untuk melihat watak atau karakteristik peradaban Islam, ada baiknya jika dilihat dari apa yang disumbangkan Islam kepada peradaban lain, khususnya Barat. Atau dengan perkataan lain apa yang dimanfaatkan peradaban lain dari Islam telah menunjukkan karakter peradaban Islam itu sendiri. Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang Kristen tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic Culture.[33] Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropa Abad Pertengahan, tapi juga imaginasinya.[34] Maksudnya keingintahuan orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated) dan ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Dari perspektif teori terbentuknya pandangan hidup[35] kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan hidup mereka. Atau setidak-tidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada lima: pertama, melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh orang-orang Barat. Kedua, dengan cara kunjungan atau turisme, pada abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling berperadaban di Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam. Ketiga, waktu itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat, dengan cara menterjemahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri-monastri Eropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M memiliki ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah orang Islam untuk mereka terjemahkan. Kelima, untuk kelancaran proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah untuk para penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas jajahan Muslim itu.[36]
Namun, kebangkitan Barat tidak terjadi langsung sesudah proses tranformasi tersebut di atas. Sebab tidak ada peradaban yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba, sekurang-kurangnya diperlukan waktu satu abad lamanya bagi suatu peradaban untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat dianggap sebagai peradaban yang kuat pada abad ke 10 M, di saat mana para cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di antaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain-lain. Ini bukan sekedar sistematisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang diduga para orientalis,[37] tapi menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam bidang sains, sehingga hasilnya sains dalam Islam yang - dalam bahasa Willian McNeil - "went beyond anything known to these ancient preceptors".[38]  
Dengan datangnya Islam yang menyatukan kawasan-kawasan Timur Dekat kedalam kekhalifahan Islam, kepeloporan di bidang sains berpindah ketangan orang-orang Islam dan bertahan hingga abad ke 12. Namun, menurut Ahmad Y al-Hassan, professor sains di Universitas Toronto, sains Islam masih berkembang dan Muslim masih menjadi pelopor sains pada abad ke 13 hingga ke 16, khususnya di negara-negara Islam bagian Timur.[39] Sebab pada tahun 1259 di Maragha didirikan Observatorium astronomi dan terus beroperasi hingga tahun 1304. Observatorium ini memiliki perpustakaan dengan 400.000 judul buku, dan didukung oleh para saintis yang mumpuni di bawah pimpinan NaÎr al-DÊn al-TËsÊ. Mereka itu adalah QuÏb al-DÊn al-ShirÉzÊ, Mu’ayyid al-DÊn al-UrdÊ, MuÍyi al-DÊn al-MaghribÊ dan lain-lain. Lembaga ini bukan hanya institusi pengkajian dalam bidang astronomi, tapi juga merupakan sebuah akademi yang memberi kesempatan untuk kerjasama dengan lembaga lain dan bertukar pikiran dengan saintis lain.
Lebih canggih dari Maragha adalah observatorium yang didirikan di Samarqand. Sponsornya adalah Ulugh Beg putra mahkota yang juga saintis. Observatorium ini selesai dibangun pada tahun 1420 dan terus beroperasi hingga tahun 1470 an. Yang terlibat dalam pusat sains ini adalah ahli astronomi matematika terkenal GiyÉth al-DÊn JamshÊd al-KÉshÊ, QÉdizada al-RËmÊ dan ‘AlÊ ibn Muhammad al-QËshjÊ. Observatorium yang terakhir dalam Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595). Pendiri dan Direkturnya adalah TaqÊ al-DÊn Muhammad ibn Ma’rËf al-RashÊd al-DimashqÊ.
Pusat-pusat kajian sains tersebut tidak bertahan lama karena pada abad-abad ke 12 hingga ke 15 keadaan ekonomi dan politik ummat Islam mulai melemah sehingga kerja saintifik kehilangan momentumnya. Dukungan moral dari masyarakat pun semakin mengecil. Al-Hassan berasumsi bahwa jika ummat Islam tidak kehilangan kekuatannya, dan jika ekonomi ummat Islam tidak rusak dan jika stabilitas politik tidak terganggu dan jika para ilmuwan itu diberi waktu lebih lama lagi untuk berkreasi, maka mereka akan berhasil melebihi apa yang dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton. Sebab model planetarium Ibn ShÉÏir dan astronomer Muslim lainnya ternyata telah membuktikan adanya sistem heliosentris lebih dulu 200 tahun dari Cipernicus.
Sebaliknya Eropa yang pada waktu itu secara ekonomis mulai naik, bergiat mentransfer dan mengasimiliasi buku-buku filsafat dan sain dalam Islam. Oleh karena itu tidak heran jika karya-karya ilmuwan Eropa Abad Pertengahan tidak lepas dari karya-karya terjemahan dari bahasa Arab. Maka dari itu sejarawan mencatat bahwa perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan abad ke 13 merupakan kombinasi elemen yang dinamakan Greco-Arabic-Latin. Meskipun begitu di Eropa nama-nama saintis Muslim tidak menonjol bahkan tidak banyak mereka sebut secara eksplisit. Yang pasti setelah mereka mentransfer filsafat dan sains dari Islam Eropa pada akhir abad ke 15 konsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat dan sains di Barat. Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang menonjol,[40] dan Eropa mencatat peristiwa sejarah yang disebut Revolusi Sains (Scientific Revolution). Itulah sumbangan penting peradaban Islam terhadap peradaban Barat.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa karena konsep-konsep penting di dalam kebudayaan Barat itu hasil adapsi dari peradaban Islam, maka kita dapat mengambil kembali begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa proses. Sebab orang-orang Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang panjang yang pada akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi dapat dikenali konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam ketika mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David Hume, yang meniru konsep dan pandangan al-GhazzÉlÊ tentang hubungan kausalitas, ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari konsep al-Ghazzali sendiri.[41]
3. Kemunduran Peradaban Islam

Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal - berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20.[42] Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
1.       Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
2.      Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.”[43] Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir.[44] Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3.      Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.[45]
Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:

Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.[46]

Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.[47]
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:

…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.[48]

Lebih lanjut ia menyatakan:

Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.[49]

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.[50]
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.”[51] Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.[52]
Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.

4. Membangun Kembali peradaban Islam

Membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam dimasa lalu, kedua, memahami kondisi ummat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi ummat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Yang pertama telah kita bahas di atas, dimana telah digambarkan mengenai cara-cara bagaimana kejayaan peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan yang kedua akan kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa langkah-langkah strategis dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman. Artinya dengan konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun apresiatif terhadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam.

a. Kondisi Ummat Islam
Setelah perang dunia kedua banyak negara Islam yang telah merdeka dan kemudian mengembangkan kembali ekonomi mereka yang telah hancur. Dengan keterbatasan yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa ini masih berpotensi untuk bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn Khaldun ideal, kini negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak dan sumber alam lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan figur-figur pemimpin politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang sains seperti pakar nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf dunia, peraih hadiah noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an dan Hadith yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis:
Bangsa-bangsa datang dan pergi. Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan di sisi lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga? [53]

Jadi, secara optimistik sejatinya kondisi ummat Islam secara umum pada dekade ini tidaklah seburuk kondisi ummat Islam pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Namun, jika kita lebih bersikap introspektif maka akan kita temui bahwa umat Islam kini belum mampu berprestasi seperti, apalagi mengungguli, prestasi ummat Islam di zaman dulu. Muslim kini lebih banyak menguasai ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Berikut ini akan diidentifikasi apa akar masalah yang menggelayuti ummat Islam saat ini dan apa langkah-langkah yang perlu diprioritaskan untuk segera diambil dalam rangka membangun peradaban Islam.

b. Identifikasi Masalah Umat
Salah satu ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan.[54] Dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.
Jika digambarkan secara umum pemikiran pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka akan kita dapati beberapa kelompok. Pertama Kelompok cendekiawan yang berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha (1865-1935), Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha (1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu al-A’la al-Maududi dan sebagainya;
Kedua kelompok cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya. Di antara kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh) berkesimpulan bahwa kelemahan umat Islam adalah di bidang sains dan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini mereka tidak hanya menempuh jalur pendidikan, tapi menyarankan agar Muslim melakukan interpretasi ulang agama Islam dengan menekankan aspek intelektual agar ummat bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru yang ada di Barat.
Ketiga kelompok cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839) hingga ke Pasha Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Mereka menyadari pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan karena itu reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik untuk membangkitkan ummat Islam. Mereka malah menekankan bidang militer dan ilmu teknik, yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.[55]
Keempat, adalah kelompok cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi Islam dan bahkan di antaranya mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syariah dsb. di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dsb.
Keempat trend pembaharuan tersebut tidak dapat dipahami secara rigid, artinya kelompok yang menekankan politik dipastikan tidak memperhatikan pendidikan, dan kelompok yang menekankan pembenahan ekonomi tidak memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Ali misalnya, selain membenahi pendidikan ia juga mengembangkan ekonomi dan juga bergerak dalam bidang politik. Pengelompokan di atas hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa masing-masing kelompok memberi prioritas kepada bidang tertentu yang menjadi andalannya. Implikasinya akan dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil dari masing-masing kelompok. Ada yang bersifat praktis dengan target jangka pendek, ada pula yang strategis yang dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.
Tidak sepenuhnya berbeda dari kelompok-kelompok di atas, al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia menyatakan :

Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.[56]

Apa yang disimpulkan oleh al-Attas di atas adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin, maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.
Jadi tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan itu adalah derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan dijelaskan problem ekternal dan internal sekaligus.

c. Tantangan Pemikiran dan Dampaknya
Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa.[57] Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pemnbentukan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya.[58] John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim.[59] Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, [60] relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia. Untuk mempermudah gambaran tentang peradaban Barat modern dan postmodern berikut diagram tentang modernisme dan postmodernisme.


Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam (epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio - dalam pengertian reason bukan ‘aql – dalam memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.[61]
Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.[62]
Istilah-istilah yang digunakan adalah murrni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru). [63]
Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis.[64] Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.
Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.[65] Disini Nurcholish seakan akan ingin agar kehidupan dunia ini tidak dianggap hina dan rendah oleh ummat Islam sehingga lari dari padanya. Implikasinya tentu ia berharap agar kehidupan dunia ini dianggap mulia dan tinggi serta harus dihadapi. Tapi ternyata ia justru memisahkan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya memuliakan dan mennggikan kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam materi (disenchantment of nature). Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata, kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. 
Sekularisasi justru mendorong orang untuk tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.[66]
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.[67] Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisisme (secularizationism).[68]
Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Canada dengan thesis berjudul "Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh". Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya [69] yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan buku teks terutama dilingkungan IAIN.
Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman Abbasiya adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash'ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.[70]
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu pembuktian lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah berkuasa, peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baikdari al-Ma’mun pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:
But with his ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of science and scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh endowment. The best work of translation was done during his regn. He was generous patron of scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done under alk-Mutawakkil.[71] 
Kritiknya terhadap teologi Ash'ari yang hanya difokuskan pada qada dan qadar hanya menunjukkan pembelaan terhadap teologi Mu'tazilah saja. Dan ini lebih cenderung membatasi pemikiran Islam hanya pada diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini justru mempersempit Islam itu sendiri. Selain itu gagasan Islam Rasional tidak mendalam sampai kepada pembahasa tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam Islam dalam kaitannya dengan wahyu. Dalam salah sub bab dalam bukunya Islam Rasional yang berjudul :"Masalah Akal dan Akhlak" ia tidak menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang pentingnya berfikir rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama terdahulu dan kita hampir tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang hubungan keduanya secara teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya Harun masih dalam tingkat gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk disebut sebagai Neo-Mu'tazilah.
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persmaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi  framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan orientalis di Barat.
Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam dengan pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat.[72] Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam. Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.
Walhasil, Upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang menekuni khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadahi untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung mengkopi konsep-konsep Barat modern dan postmodern. Kerancuan di sana sini tidak dapat dihindarkan. Sebab makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu yang di miliki umat Islam itu tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Paham, ide, nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih menghadapi problem internalnya.
d. Problem pendidikan Islam
Selain problem keilmuan yang berasal dari masuknya konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing, secara internal ummat Islam juga memiliki problem yang tidak kalah seriusnya. Problem yang pertama adalah lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang mapan.
Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah, sehingga kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan hidup Islam.
Oleh sebab itu, klassifikasi ilmu yang dicanangkan al-Ghazzali yang berupa farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu farÌu 'ain dapat diartikan sebagai compulsory subject bagi mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya TafsÊr, hadÊth, syarÊ’ah, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu farÌu 'ain. Ilmu FarÌu KifÉyah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim, termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam dsb.[73] Pembagian ilmu faÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah ini tidak perlu difahami secara dikhotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif kesatuan integral atau tawÍÊdi, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang kedua.
Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan Islam, pengajaran ilmu-ilmu farÌu 'ayn yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia masih banyak disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).
Untuk mengidentifikasi problem ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, ada baiknya dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam.

Sistem pendidikan pesantren  
Pesantren di Indonesia terdiri dari dua sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai missi tafaqquh fÊ al-dÊn, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari agama. Pada pesantren tradisional missi ini dijabarkan secara kurikuler dalam bentuk kajian kitab kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut "ilmu pengetahuan umum". Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu farÌu 'ayn terpaksan mengorbankan ilmu farÌu kifÉyah dalam pengertian 'ulËm al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu farÌu 'ayn dengan kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu farÌu kifÉyah di lembaga pendidikan Islam lainnya atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren tradisional takhaÎÎuÎ pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku, sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardu ayn dan farÌu kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan mungkin tidak ada, kajian 'ulËm al-'aqliyyah seperti logika, filsafat, metafisika, kalÉm, kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah tidak nampak jelas, bahkan ilmu farÌu kifÉyah yang melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.
Pesantren modern yang memahami tafaqquh fi al-dÊn dalam bentuk gabungan ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah memang berhasil memberikan wawasan yang lebih luas dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan itu bukan merupakan hasil integrasi 'ulËm al-naqliyyah dan 'ulËm al-'aqilyyah yang didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah. Jadi, masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan dikhotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabÉdi' al-'ulËm (ilmu-ilmu kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asÉtidhah-nya.
Sistem Pendidikan Madrasah
Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus.[74] Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan tertentu yang memisahkan ilmu farÌu 'ayn dan ilmu farÌu kifÉyah dengan tanpa konsep yang jelas, peran madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang "ilmu-ilmu agama" masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren dan dalam bidang "ilmu-ilmu umum" pula mereka tidak bisa mengimbangi prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.

Sistem Perguruan tinggi Islam
Terlepas dari peran kemasyarakat yang dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional disebut khawÉÎ dan di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang, kalaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha untuk menghidupkan program Ma'had 'Óly sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.
Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas agama (farÌu 'ayn) tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas umum (farÌu kifÉyah), ia justru dimarjinalkan.


5. Membangkitkan tradisi keilmuan

Jika substansi peradaban Islam adalah pandangan hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual akan menjadi decision maker.
Memperkuat pandangan hidup Muslim artinya memberi solusi terhadap persoalan ummat secara fundamental dan integral. Pentingnya pandangan hidup Islam ditekankan al-Attas dalam berbagai tulisannya, dan bahkan dalam kontek pengembangan sains telah diformulasikan dengan baik oleh Prof. Alparslan Acikgenc.[75] Dengan pendekatan ini kita tidak perlu meletakkan dua pilihan yang saling bertolak belakang, atau meletakkan Islam vis a vis Barat dalam setting yang konfrontatif. Barat dan kebudayaan asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional, dalam artian bahwa disatu sisi Islam dapat "mengadapsi" atau meminjam konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak diperlukan, dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan manapun, termasuk Barat.

Untuk menggambarkan pentingnya pandangan hidup Islam atau framework Islam dalam menerima dan menolak konsep-konsep asing kita rujuk sinyalemen Professor Khurshid Ahmad, pakar Ekonomi Islam asal Pakistan dibawah ini:

The capitalist and the Socialits model can have no place as our ideal-types, although we would like to avail from all those experience of mankind which can be gainfully assimilated and integrated within the Islamic framework and can serve our own purpose wihtout in any way impairing out values and norms. But we must reject the archytype of capitalism and socialism. Both this model of development are incompatible with our value system; both are exploitative and unjust and fail to treat man as man, as God’s vicegerent (khalifah) on earth. Both have been unable to meet in their own realms the basis economic, social, political, and moral chalenges of our time and the real need of a humane society and a just economy.[76]

Terjemahan bebasnya adalah bahwa model [ekonomi] kapitalis dan sosialis tidak bisa menjadi tipe ideal kita, meskipun kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan diintegrasikan dengan  framework Islam, untuk dapat membantu mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita kita harus menolak model kapitalisme dan sosialisme. Kedua model pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita, keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai manusia, sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, sosial,politik, moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia mereka sendiri.
Konsep pembangunan dalam Islam tidak sama dengan konsep pembangunan kapitalis ataupun sosialis. Pembanguan ekonomi dalam literatur umum terdiri dari serangkaian kegiatan ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan dalam produktifitas eknomi secara keseluruhan dan produktifitas pekerja secara rata-rata, dan juga pertumbuhan rasio antara tenaga kerja dan keseluruhan penduduk.[77] Pembangunan ekonomi dalam Islam lebih luas dari itu, karena pembangunan ekonomi adalah bagian dari pengbangan manusia. Disini fungsi Islam sebagai agama dan pandangan hidup adalah memberi petunjuk bagi penembangan manusia sesuai dengan arah dan garis yang benar. Tetap mempertimbangkan aspek-aspek eknomi, tapi selalu dalam  framework pengembangan manusia seutuhnya.
Pernyataan Professor Khurshid di atas telah cukup jelas menunjukkan pentingnya pandangan hidup atau dalam istilahnya  framework Islam, dalam mengkaji ekonomi asing dan mengembangkan ekonomi Islam. Berdasarkan  framework itu maka pengembangan ekonomi Islam bersifat komprehensif yang meliputi aspek-aspek moral, spiritual dan material. Perkembangan merupakan tujuan dan aktivitas yang berorientasi pada nilai, diarahkan pada perkembangan manusia dari berbagai dimensi. Moral dan material, ekonomi dan sosial, spiritual dan fisikal tidak terpisahkan, demi meraih kesejahteraan hidup dunia dan akherat. Dalam Islam fokus dari upaya-upaya pembangunan adalah manusia. Pembangunan berearti pembangunan manusia secara fisik dan lingkungan sosial ekonominya.
Barat atau kebudayaan asing lainnya dengan secara terbuka seharusnya mengakui bahwa Islam memiliki pandangan hidup, filsafat dan kebudayaannya sendiri yang harus diterima apa adanya dan tidak ada jalan rekonsiliasi, meskipun tetap membangun sikap toleransi. Bagi mereka yang gagal memahami hal ini secara akademis, baik Orientalis maupun intelektual Muslim, akan menganggap bahwa penolakan konsep Barat dalam bentuk apapun akan selalu dihubungkan dengan kecemburuan kultural dan religius (cultural and religious prejudice), yang sebenarnya tidak perlu. Sementara bagi mereka yang benar-benar dapat memahami esensi pandangan hidup Islam dan juga Barat akan dapat mengidentifikasi lebih akurat perbedaan dan bahkan pertentangan pada keduanya dan dapat dengan secara kritis menentukan apakah suatu konsep asing diterima (diadapsi) atau ditolak sama sekali. Sesungguhnya, dalam suatu pandangan hidup dan peradaban proses 'meminjam' atau adapsi adalah hal yang alami dan ini telah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, tapi mengadopsi suatu konsep tanpa proses tranformasi yang utamanya melibatkan pengetahuan dan kesadaran akan pandangan hidup, tidak akan memajukan peradaban yang bersangkutan tapi justru menghancurkan.
Dengan pendekatan integral melalui konsep pandangan hidup Islam yang merujuk kepada tradisi intelektual Islam secara kritis dan kreatif akan menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat konseptual, integral dan memproyeksikan pandangan hidup Islam (worldview) yang dinamis, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai DÊn. Secara teoritis, pandangan hidup Islam tercipta dari adanya konsep ilmu pengetahuan dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistem metafisika Islam yang utamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan realitas yang Mutlak. Dalam perspektif pandangan hidup inilah kita dapat mengetahui apakah suatu pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang Diwahyukan (Revealed Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman yang tidak sejalan maka perlu dikoreksi ulang (IÎlÉÍ) dengan apa yang disebut dengan Perubahan Paradigma (paradigm shift), yang berarti perubahan pandangan hidup dan sistem metafisikanya.
Dalam tradisi pemikiran Islam aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid yang hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak selalu bisa difahami sebagai kembali kepada corak kehidupan dizaman Nabi, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau islah seperti yang didefinisikan al-Attas mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang benar. Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan sebutan Islamisasi. Dalam konteks zaman sekarang, proses ini memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup Islam yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang secara ijmÉ' dianggap ÎaÍÊÍ. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun 'memahami' tidak selalu berarti 'mengambil konsep'. Kita, misalnya tidak perlu mengambil konsep pembebasan dari pandangan hidup asing, sebab ia telah inheren dalam pemikiran Islam dan pembaharuan Islam. Proses pembaharuan atau Islamisasi yang merujuk kepada sumber asal ajaran Islam dan ulama yang memiliki otoritas dibidangnya menunjukkan pembaharuan dalam Islam tidak bersifat evolusioner tapi lebih bermakna devolusioner, dalam artian bahwa ia bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang terakhir lebih baik dari yang pertama, tapi suatu proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.
Sesungguhnya proses pembaharuan atau Islamisasi yang berulang-ulang dalam tradisi pemikiran Islam ini telah di ramalkan oleh Nabi sendiri dalam hadithnya tentang tajdid. (Sunan Abu Dawud). Namun proses Islamisasi tidak melulu berarti menyesuaikan unsur-unsur asing dengan Islam dan tidak pula bermakna bahwa ajaran asasi agama Islam itu usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang terus menerus berubah. Proses tajdid diperlukan karena pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam, dan bukan karena ajaran Islamnya, telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Perlu ditekankan disini bahwa dalam tradisi Islam (sunnah) setiap usaha pembaharuan (tajdid) pamahaman dan penafsiran Islam selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak yang termaktub dalam al-Qur’an. Ini sangat berbeda secara diametris dengan pemikiran dalam kebudayaan Barat yang sifatnya terus menerus mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti, sehingga pendapat atau pemahaman yang baru mesti menolak pendapat yang lama dan seterusnya. Pembaharuan dalam Islam bukan menolak atau menghapuskan pendapat lama atau konsep asalnya tapi merupakan rekonseptualisasi yang kreatif berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan tradisi dan otoritas.


6. Membangun individu melalui universitas

Untuk memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap ×ikmah IlÉhiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam.
Perlu dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu.[78] Bahkan, target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun universal (al-insÉn al-kulli atau al-insÉn al-kÉmil) dan mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing".[79] Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: "manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada".[80] Namun berbeda dengan Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran Barat mengenai suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.[81]
Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-JÉmi’ah, al-kulliyah)) harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling terkait.
Penyataan al-Attas dalam hal ini sangat jelas.
“Sebuah universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.[82]   
Karena universitas Islam modern yang berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat, maka orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas ulama dan taqlÊd. Padahal kekebasan akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr) berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. TaqlÊd bukan berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.
Pengertian ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan bidang masing-masing. IjtihÉd tidak berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.
Selain itu kurikulum di Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fard Ayn yang berupa AqÊdah, TawÍÊd atau UÎËluddÊn pada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard Ayn dapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam atau filsafat dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, alam, akhlaq dan tentang Din dikaji secara mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu farÌu kifÉyah. Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan dihilangkan.
Seharusnya ilmu farÌu ayn bagi seorang mahasiswa UÎËluddÊn, misalnya tidak sama dengan Ilmu farÌu 'ayn bagi siswa Madrasah 'Aliyah atau mahasiswa fakultas Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai ilmu farÌu 'ayn sesuai dengan bidangnya, maka pada dataran epistemologis ilmu FarÌu 'ayn ini pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk kedalam ilmu farÌu kifÉyah, seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban, bahasa dan lain sebagainya.

7. Sinegi Pembangunan Peradaban
Proyek membangun kembali peradaban Islam tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia merupakan proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk itu maka proyek ini perlu disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (farÌ 'ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas “Barangsiapa tidak perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian daripada mereka” (al-Hadith).
Jika kita menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad maka kita akan temui gerakan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan penterjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad: seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer, pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Dan yang terpenting, ia dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat dengan alat filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan tepat. [83]
Ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin diagram dibawah ini dapat menggambarkan konsep tersebut.

 

Oleh sebab itu sebagai implikasinya, jika ilmu memberi amunisi kepada seluruh pihak dari penguasa, pengusaha, pedagang, politisi, militer, dan sebaginya maka semua pihak yang memerlukan ilmu perlu menyokong proyek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun tidak dapat sepenuhnya mendapat dukungan seperti di zaman Abbasiyah, sekurang-kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya ilmu pengetahuan Islam untuk semua bidang kehidupan perlu ditanamkan. Masyarakat Muslim perlu terus menerus mendapat pengarahan akan pentingnya bidang ini.
Secara materiel, ssedekah, zakat, infaq, wakaf pribadi dan perusahaan-perusahaan Muslim perlu diarahkan bagi pengembangan asas peradaban Islam ini, yaitu ilmu pengetahuan Islam. Selama ini belum banyak zakat bagi aÎnÉf fÊ sabÊlillÉh yang diarahkan bagi pengkajian dan penelitian ilmu-ilmu Islam. Demikian pula wakaf masyarakat pada umumnya masih berupa tanah, dan masih langka sekali wakaf berupa buku-buku yang sangat menunjang bagi kegiatan keilmuan. Secara sosial, penghargaan terhadap ulama ataupun cendekiawan perlu dilakukan melalui berbagai event sosial, agar apresiasi masyarakat terhadap ilmu meningkat. Namun penghargaan perlu diberikan secara proporsional, artinya harus berdasarkan pada prestasi di bidang keilmuan, bukan hanya sekedar reputasi sosial yang seringkali diukur dengan standar jurnalistik.
Selanjutnya, karena spesialisasi dalam ilmu pengetahuan baik agama maupun sekuler begitu kental, maka seorang sarjana satu bidang tidak menguasai bidang yang lain. Dan yang lebih memprihatinkan lagi sarjana ilmu keislaman buta ilmu-ilmu umum (sekuler) dan sarjana ilmu umum tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun mereka adalah Muslim. Dalam situasi seperti ini diperlukan kerja bersinergi, dimana sarjana pakar ilmu syariah misalnya bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi dsb, demikian pula sarjana pakar bidang usuluddin atau pemikiran Islam berkolaborasi mengkaji sesuatu dengan pakar dibidang fisika, biologi dan matematika. Dari kerja yang bersinergi ini maka potensi ummat Islam akan dapat menghasilkan karya-karya yang dapat dimanfaatkan oleh ummat.
Jika dukungan masyarakat terhadap pembangunan ilmu pengetahuan Islam ini telah muncul dan kolaborasi para ilmuwan Muslim dapat terjalin, maka mekanisme penyebaran (desimination) ilmu ketengah-tengah masyarakat akan timbul. Artinya, dengan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu-ilmu Islam, produk dari kajian ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pusat studi Islam atau lembaga-lembaga pendidikan Islam memperoleh saluran penyebaran yang efektif. Media pendidikan formal, dan informal seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, ceramah-ceramah tokoh diharapkan dapat menjadi medium penyebaran ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam.
Jika masyarakat tidak mendukung gerakan pengkajian Islam tersebut, maka keadaan seperti yang kita saksikan sekarang. Hasil seminar, penelitian dosen, workshop, konferensi dan lain-lain hanya akan berhenti di tingkat elit saja dan tidak tersebar ke tengah masyarakat. Inilah yang sering disebut dengan intellectual mechanism.

7. Penutup
Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup Islam. Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Lebih penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam. Wallahu a’lam bissawab.

WassalÉmu 'alaikum waraÍmatullÉh wa barakÉtuh

Gontor, 22 Februari 2007











Biodata Penulis

Nama                : Hamid Fahmy Zarkasyi
TTL                  : Gontor, 13 Septermber 1958
Alamat              : Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Kampus Baru Siman – Ponorogo
Orang tua          : KH. Imam Zarkasyi (Putera ke 9).

I. Pendidikan:
  1. Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor, 1977.
  2. Fakultas Tarbiyah, Institut Pendidikan Darussalam (IPD), Pondok Modern Gontor, 1982. (BA)
  3. Institute of Education and Research (IER), University of the Punjab, Lahore Pakistan, 1986. (MA.Ed)
  4. Faculty of Art, Dept. Theology Unversity of Birmingham, United Kingdom, 1996-1998. (M.Phil)
  5. Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC-IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia, 2006 (Ph.D).

II. Pekerjaan:
  1. Pembantu Rektor III, Institut Studi Islam Darussalam, 1990-1996 / 2005-sekarang
  2. Direktur CIOS (Center for Islamic and Occidental Studies) ISID Gontor, 2006-
  3. Ketua Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, periode 2003-2008.
  4. Direktur dan peneliti INSISTS, (Institute for the Study of Islamic Thought and Civlization), Jl. Kalibata Utara II, 84,  Jakarta, 2002- sekarang
  5. Pemimpin Redaksi Majalah Ilmiyah ISLAMIA, Jakarta.
  6. Anggota Dewan Redaksi Jurnal al-INSAN, Gema Insani Press.

III. Karya Ilmiyah:
A. Buku:
  1. Pemikiran Pendidikan al-Ghazzali, Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1992.
  2. Reorientasi Filsafat Islam, Trimurti Press, Gontor, 1992.   
  3. Filsafat dan Praktek Pendidikan al-Attas, Mizan 2003 (terjemahan)
  4. Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi Di Dunia Islam, Penerbit Kyairul Bayan, Jakarta, 2004

B. Makalah:
1.    Antara Selly Oak dan ISTAC, journal al-Hikmah, edisi khusus, 2001
2.    Akal dan Wahyu, Dalam pandangan Ibn Rushd dan Ibn Taymiyyah, dalam Journal al-Hikmah, vol. 10, 2000
3.    Umat Islam Indonesia pasca Orba, Renungan dan Prediksi masa depan,  Makalah disampaikan pada Seminar Keislaman Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Indonesia, di   kampus Universiti Putera Malaysia (UPM), pada 20 Mei 2000.
  1. Pengembangan SDM gaya Malaysia, majalah Nebula, edisi,
  2. Kata Pengantar buku Islamic Invasion,  Robert Morey, terjemahan Sadu Suud,
  3. Pesantren dan tantangan Pemikiran, Majalah Sabili, vol. 10 (2003), 22 mei)

7.    Esensi Ukhuwwah Islamiyyah, Upaya pemahaman utuh dan dimensional, Makalah, Winter Gathering Keluarga Islam Britania Raya dan sekitarnya, di Birmingham,  1999.

8.       Paham Pluralisme Agama, disampaikan di Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami Jakarta, 15 Mei 2006

9.    Politik Pemikiran, Majalah Hidayatullah, edisi 3, XIX, juli 2006 dan edisi 4, XIX, Agustus 2006

  1. Mendudukkan Orientalis, Republika, Jumat, 21 Mei 2004
  2. Trend Pemikiran Islam Indonesia, journal Tsaqafah, Institut Studi Islam Darussalam, PM Gontor, vol.3. 2005
  3. Islam Sebagai pandangan Hidup, makalah disampaikan pada acara workshop Islamic Civilizational Studies, Unissula & ICMI Jateng, 24-26 Juli, 2006.
  4. Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari, diselenggarakan oleh Institute for the Study of Islamic Thought and Civlization (INSISTS), Jakarta, Hotel Sofyan Betawi, 1 Juli, 2006.
  5. Menguak Nilai dibalik Hermeneutika, Majalah ISLAMIA, I, th. I, 2004.
  6. Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Postmodern, ISLAMIA, no. 4, th. I, 2004.
  7. Worldview sebagai Asas Epistemologi, ISLAMIA, no. 5, th.II, 2005
17.  Framework Kajian Orientalis Dalam Filsafat Islam, ISLAMIA, no. 6, th. II, 2005
18.  Pandangan Hidup Islam, disampaikan dalam Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan IKPM, Cairo, Mesir, 1-3 Maret 2006.
19.  Sejarah Hermeneutika, disampaikan dalam Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan IKPM, Cairo, Mesir, 1-3 Maret 2006.
20.   Hutang bangsa pada pesantren, Majalah Sabili, No.09 Vol.11 2003.
21.  Tragedi Adopsi Peradaban Barat, Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan Cikini, diselenggarakan oleh Majalah ISLAMIA, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.



[1] Al-Attas, Islam, Religion and Morality, dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, ISTAC, 1995, hal. 43-4
[2] Sebelumnya kota Madinah dikenal dengan nama Yathrib.
[3] Ibn ManÐËr. LisÉn al-‘Arab al-MuÍÊÏ. (Beirut: DÉr al-Jayl & DÉr LisÉn al-'Arab, 1988) jilid13; hal. 402
[4] William R Cook dan Ronald B Herzman, The Medieval Worldview, New York – Oxford, Oxford University Press, 1983, hal. 119-120
[5] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, London, Routledge, 1988, hal. 13
[6] Edward Gibbon, The Decline and The Fall of Roman Impire, Abridged and Illustrated London, United Kingdom, Bison Books Ltd. 1979, hal. 1.
[7] Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi November-Desember, 1983, hal. 38-42.
[8] Ibid
[9] Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner's sons, n.d). 1-2.
[10] Aslinya: An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence, Lihat Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, hal. 532.
[11] Aslinya: The foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1996, jilid1. Nomor 1&2, 6.
[12] Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, jilid2, no 2 (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970, hal. 24.
[13] Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California, Wardsworth, 1997) hal. 340, 355, 368, 370.
[14] Prof. Alparslan menyimpulkan bahwa suatu pandangan hidup umumnya memiliki 5 struktur konsep atau pandangan yang terdiri dari 1) struktur konsep tentang ilmu, 2) tentang alam semesta, 3) tentang manusia, 4) tentang kehidupan, dan 5) tentang nilai moralitas. Alparslan Acikgence, Scientific Thought And Its Burdens, An Essay in the History and Philosophy of Science, Fatih University Publications, 2000, hal. 78.
[15] Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) hal. 14, 41.
[16] M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslÉmÊ, DÉr al-ShurËq, tt. Hal. 41
[17] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, Beirut, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ, 1989, hal. 13.
[18] S.M.N, al-Attas dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, hal. 2
[19] Ibn KhaldËn, 'Abd al-RaÍmÉn Ibn MuÍammad, The Muqaddimah: an Introduction to history, Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978), hal. 54-57.
[20] Rosenthal mencatat lebih dari seratus definisi 'ilm dalam tradisi intelektual Islam, dan mengkategorikannya menjadi dua belas kategori, Rosenthal, F, Knowledge the Triumphant, Leiden, E.J.Brill, 1970, hal. 52-69.
[21] Khalifah melaporkan catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya' al-'Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, jilid1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn Isma'il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad Ali al-Subayh, tt. Lihat Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah, 1/104.;  lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, hal. 81.
[22] Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuan dan materi yang dikaji, Lihat AbË Nuaym Abu Nu'aym, Ahmad ibn 'Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya', 10 jilid, Mesir: al-Sa'adah Press, 1357, 1/339, hal. 341.
[23] Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Lihat AbË Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha'ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2 jilid (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fu'ad 'Abd al-BÉqÊ, (Kairo: DÉr IÍyÉ' al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953, jilid 2, hal. 70.
[24] AbË Nu'aym mencatat bahwa Sa'Êd ibn 'Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar.  Ibid, jilid 1, hal. 341.
[25] Alparslan Acikgence, Scientific Thought, hal. 87
[26] Oliver Leaman, "Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History", dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in association with The Institute of Ismaili Studies, 2000, hal. 34.
[27] Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, jilid. II, Low Price Publication, Delhi, 1995, hal.1349.
[28] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10 centuries), Routledge, London-New York, 1998, hal.191.
[29] Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985, hal. 6.
[30] Thomas Brown, The Transformation of the Roman Mediterranean, 400-900, dalam George Holmes, The Oxford History of Medieval Europe, hal.50-51. He also noted that the remarkable success and the strength of Islam was due mainly to their ability "to evolve an original and durable synthesis". They took over the more effective and appealing tenets of other faiths and retained viable elements of Graeco-Roman administration and urban culture while maintaining the distinctiveness and vitality of their own culture. Lihat Ibid., hal. 11.
[31] Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” dalam The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948, hal.239.
[32] Ibn KhaldËn, Muqaddimah, hal. 343-400
[33] Mozarab asal katanya dari bahasa Sepanyol yang diambil dari Bahasa Arab musta'rab yang berarti terarabkan ('arabized'), or menjadi ke Arab-Araban, tapi istilah ini dipakai untuk mengecap seseorang yang mengaku-ngaku sebagai Arab tanpa menjadi Arab betulan. Menurut Mikel istilah ini adalah aslinya dalah kata pejoratif  yang diarahkan kepada orang Kristen Arab yang hidup pada kekaisaran Kristen  Abad Pertengahan, khususnya di Toledo. Namun istilah ini juga merujuk kepada peserta kebaktian Kristen di Spanyol yang masih mempertahankan bentuk agama mereka yang telah dimodifikasi setelah datangnya Muslim. Lihat Mikel De Eplaza, “Mozarab, An Emblematic Christian Minority in Islamic Andalus”, dalam Salma Khadra Jayyusi, "The legacy of Muslim Spain", E.J.Brill, Leiden, 1992, 149-170. Bandingkan Webster Comprehensive Dictionary, Trident Press International, 1996, hal. 833
[34] Morris, Rosemary, Northern Europe invades the Mediterranean, 900-1200, dalam George   Holmes, The Oxford,  Ibid., hal. 194-195
[35] Alparsalan menyatakan bahwa worldview itu terbentuk dalam pikiran manusia menurut ide-ide cultural, saintifik, keagamaan dan spekulatif, melalui pendidikan, atau upaya-upya-upaya yang sadar untuk memperoleh ilmu atau keduanya sekaligus. Alparslan Acikgenc, Islamic Science, hal. 15
[36] Salma Khadra Jayyusi, The Legacy of Muslim Spain, Ibid, hal.1059-1060; Toledo adalah tempat aktifitas terpenting tapi dalam skala yang lebih kecil dilakukan di Salerno, Salamanca dan Venice. Lihat William McNeill, Ibid., 548-550; Untuk lebih detail tentang proses transformasi melalui kegiatan penterjemahan lihat Myers, Eugene A, Arabic Thought and The Western World, (New York: Frederick Ungar Publishing co., 1964), hal. 78-130.
[37] Lihat misalnya, O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963. hal. viii.
[38] William McNeill, Ibid., hal. 418
[39] Ahmad Y al-Hassan, “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth Centurydalam Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 351
[40] Myers, Eugene A, Arabic Thought,  hal.132.
[41] Cemil Akdogan, “Ghazzzali, Descartes, and Hume: The Geneology of Some Philosophical Ideas” dalam Islamic Studies, vol. 42, Autumn 2003, Nomer: 3, hal. 498; David Humes (1711-1776) bersentuhan dengan konsep kausalitas al-Ghazzali melalui Malebranche (1638-1715) yang membaca TahÉfut TahÉfut Ibn Rushd melalui tulisan Fonseca, Ruvio dan Suarez. Lihat J.F.Naify, Arabic and European Occasionalism: A Comparison of al-GhazzÉlÊ’s Occasionalism and its critique by Averroes with Malebranche’s Occasionalism and its critique in the Cartesian Tradition, Ph.D. Diss., University of California, San Diego, 1975, hal. 196-198.
[42] Ahmad Y al-Hassan, “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth Century, hal. 366-384.
[43] Bernard Lewis, The Arab in History, London, 1977, hal.150.
[44] Catatan sejarah tentang serangan Hulagu ke Mesir Lihat Ibn Kathir, al-BidÉyah wa al-NihÉyah, Beirut, 1982, jilid 13, hal. 200.
[45] Intervensi Barat kedalam rumah tangga umat Islam bukan hal baru. Ketika itu Muhammad Ali berkuasa di Mesir (tahun 1805) menyadari bahwa kelemahan Muslim adalah ketergantungannya kepada bangsa Eropah ia mencanangkan modernisasi ekonomi Mesir, dengan meningkatkan ekspor kapas, dan menetapkan ekspor menjadi memonopoli negara. Ia juga menolak regulasi perdagangan yang diterapkan Barat ke Turkey Uthmani. Dari situ ia mengembangkan industri tekstil, pakaian, kertas, gula, kimia, kulit, kaca, alat-alat industri, pompa, senjata, amunisi dan lain sebagainya. Ia bahkan mendirikan industri kapal laut setelah ia mengirimkan kader-kadernya belajar ke Eropah dan bahkan menyewa teknisi asing untuk industri tertentu. Sekolah dan perguruan tinggi untuk bidang kedokteran, kedokteran hewan, tehnik, bahasa, sekolah administrasi, sekolah dinas ketentaraan dan lain-lain didirikan. Lebih dari 10.000 mahasiswa yang terdafdar disitu mendapatkan biasiswa, tempat tinggal dan makan. Muhammad Ali kemudian mendirikan persatuan negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir Syria, Saudi dan Sudan. Barat ternyata tidak tahan melihat sepak terjang Muhammad Ali ini. Inggeris khususnya menganggap Muhammad Ali sebagai ancaman yang berbahaya. Pimpinan negara Perancis waktu itu, Palmerston,  menulis kepada duta besarnya:” Saya membenci Muhammad Ali yang bagi saya tidak lebih baik dari barbarian. Saya yakin dia adalah tiran dan penindas yang besar.” Negara-negara Barat seperti Inggeris, Perancis, Prussia, Austria dan Russia bersatu menekan Muhammad Ali. Itulah cara-cara Barat menghadapi kekuatan Islam yang akan bangkit. Dikutip oleh Ahmad Y al-Hassan, dalam “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth Century, hal. 383-384.
[46] Lihat Economic of Ibn Khaldun,: Revisited, www.Uwplatt.edu/-Soofi/Khaldun2, hal 16
[47] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 238-239
[48] Ibid, hal. 286
[49] Ibid, 289.
[50] Mehdi, Soltanzadeh, “Factor Affecting a Siciety’s Life Span, According to Ibn Khaldun”, a paper disampaikan pada International Conference:Ibn Khaldun’s Legacy and Its Contemporary Significance, 20th-22th November, 2006, ITAC-IIUM, Kuala Lumpur, hal.3-7 
[51] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal, jld. 2, hal. 431.
[52] Ibid, hal. 434
[53] Grunbaum, G.E. von, “Pluralism in the Islamic World” dalam Islamic Studies, jilid 5, hal. 2:37-59.
[54]Lihat, misalnya, Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E. J. Brill, 1970); A. L. Tibawi, “Philosophy of Muslim Education,” Islamic Quarterly, jilid 10, no. 2, Juli 1957, hal. 82.; Gustave von Grunebaum, Medieval Islam: A Vital Study of Islam at its Zenith, edisi ke 2 (Chicago: Phoenix Books/Univ. of Chicago Press, 1962), hal. 234-250.
[55] Bernard Lewis, Emergence of Modern Turkey, edisi ke 2 (London: Oxford University Press, 1968), bab. 3 dan 4; Ghulam Nabi Saqib, Modernization of Muslim Education in Egypt, Pakistan, and Turkey: A Comparative Study (Lahore: Islamic Urdu Service, 1983), hal. 79-80.
[56] Al-Attas, SMN, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur, 2001, para. 51, hal. 129. Cf. Surat kepada Sekretariat Islam tanggal 15 Mei 1973, berbunyi “permasalahan inti yang menjadi penyebab semua permasalahan yang lain adalah permasalahan ilmu.” seperti dikutip Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, ISTAC, Kuala Lumpur, 1998, 71.
[57] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, ISTAC, 1993, hlm 134.
[58] Lihat Troger Garaudy, Janji-Janji Islam, terjemahan (Jakarta, Bulan Bintang, 1982, 222-223; juga Maryam Jemeelah, Islam and Modernism, (Lahore: Muhammad Yusuf Khan, 1975), hal. 15.
[59] Sekularisme moderat menganggap agama sebagai urusan pribadi dan rohani manusia dan karena itu tidak boleh dicampur aduk dengan urusan keduniaan yang berupa ilmu, politik, pertanian dll., sedangkan sekularisme ekstrim menganggap agama sebagai musuh masyarakat, tapi yang jelas keduanya menolak agama dalam kehidupan. Muhammad al-Bahi, Penentangan Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, terjemahan bahasa Malaysia (kuala Lumpur, Penerbit Hizbi, 1985) hal.52.
[60] Relativisme dan nihilisme adalah doktrin tentang nilai yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama. Programnya adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan merduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolute oleh agama dan masyarakat. Menurut Heidegger (1889-1976) nihilisme adalah “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi [kebenaran] yang tersisa. Bagi Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, religious ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine). Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan foundasi pemikiran dan nilai, dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, kata Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolah kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain (to do away with one is to do away with other too). Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas sebagai serangan agama sebagai asas bagi moralitas. Lihat Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19, 167; Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idol, terjemahan. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968), hal. 41. dalam karyanya Will To Power, ia menyatakan bahwa “Truth is the kind of error”, lihat Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, lihat section 493.
[61] Fazlur Rahman, "Islam:Legacy and Comtemporary Challenge" seperti yang dikutip oleh Abdul Rahman Haji Abdullah dalam Pemikiran Islam di Malaysia, sejarah dan aliran, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka & USM, Pinang, 1988, hal. 11.
[62] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung , Penerbit Mizan, cetakan ke VIII, 1995, hal. 172.
[63] Libat, Muhammad ‘Ali al-Juzu, Shaykh, MafhËm al-‘Aql wa al-Qalb, DÉral-‘Ilm Lil-Malayin, Beirut, 1983, khususnya Bab 2, hal. 55-78
[64] Ibid, hal 207.
[65] Ibid., hal. 217-218.
[66] Al-Attas, Islam, hal. 38-40.
[67] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 219-220.
[68] Al-Attas, Islam, hal. 48. Sekalipun judul buku al-Attas adalah Islam dan Sekularisme, namun makna Sekularisme bukan sekedar idiologi secular seperti komunisme, sosialisme dan bentuknya yang beragam, namun juga termasuk pandangan hidup sekular yang diproyeksikan oleh sekularisasi, yang intinya adalah relativisme historis sekular, dan inilah makna dari sekularisisme.
[69] Seperti misalnya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Teologi Islam (1977), Filsafat Agama (1978), Filsafat dan Mistik dalam Islam (1978), Aliran modern dalam Islam (1980), Muhammad Abduh dan Teologi Mu'tazilah (1987)
[70] Harun Nasution , Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Penerbit Mizan, ed. Saiful Muzani, Bandung, Penerbit Mizan 1996, cetakan ke IV, hal 154-155.
[71] Al-Hassan, “Factor”, hal. 363-364
[72] Bandingkan misalnya Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996; dan juga Atho Mudzhar, H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
[73] Untuk pemabahsan lebih detail lihat Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational Philosophy, hal. 71.

MEMBANGUN PERADABAN ISLAM
YANG BERMARTABAT
 
 PE
 



 



Oleh :

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi







Disampaikan dalam
Workshop Pemikiran Ideologis
Forum Ukhuwwah Islamiyah
Daerah Istimewa Yogyakarta
15 April 2007

 

 

                                                          
Daftar Isi

1. Makna Peradaban Islam
a. Islam sebagai Peradaban
b. Substansi Peradaban Islam
c. Tradisi intelektual Islam
2. Sumbangan Islam kepada Barat
3. Kemunduran peradaban Islam
4. Membangun kembali peradaban Islam
a.   Kondisi Ummat Islam
b.  Identifikasi Masalah Umat
c.   Problem Pembaharuan Pemikiran
d.  Problem pendidikan Islam (Sistem pendidikan pesantren, madrasah dan perguruan tinggi)
5. Membangkitkan tradisi intelektual
6. Membangun individu melalui universitas
7. Sinergi Pembangunan Peradaban
Penutup
·         Biodata Penulis








Membangun Kembali Peradaban Islam
Secara Sinergis, simultan dan konsisten

Oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi



 Proyek besar yang telah lama digagas dan dirintis oleh para tokoh pemikir dan pembaharu Muslim baik di Timur Tengah mapun di belahan bumi seperti di anak benua Indo-Pakistan, di dunia Melayu, dan di dunia Barat adalah Membangun Kembali Peradaban Islam. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan dan keberhasilan yang dicapai oleh para pendahulu kita, kita berkewajiban untuk mengambil pelajaran dari mereka dan menyusun strategi baru bagi kelanjutan proyek tersebut.
Proyek ini semakin penting untuk dibahas kembali dan perlu terus direalisasikan secara perlahan-lahan. Sebab stigmatisasi masyarakat Barat terhadap Islam dan umat Islam dengan "fundamentalisme, terrorisme, ekslusifisme" dsb. yang marak akhir-akhir ini berangkat dari asumsi bahwa Islam hanyalah denominasi agama dan kepercayaan yang menghasilkan fanatisme. Akibat stigma ini umat Islam bersikap responsif dan reaktif sehingga cenderung hanyut ke dalam bahasa-bahasa peperangan psikis (psy-war) yang tidak produktif bagi dialog peradaban. Mereka seakan melupakan fakta bahwa Islam adalah sebuah agama yang telah terbukti mampu berkembang menjadi peradaban yang bermartabat yang kaya dengan konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama berabad-abad lamanya.
Masyarakat dunia kini memerlukan dialog dalam bahasa peradaban, bukan hanya dalam bahasa agama. Disini identitas masing-masing peradaban perlu diperkenalkan kembali, untuk kemudian ditemukan sisi perbedaan dan persamaan agar dapat ditentukan bentuk kerjasama dan batas-batas toleransi yang dapat dan harus dipegang.
Secara internal proyek pembangunan peradaban Islam merupakan jawaban konprehensif bagi berbagai persoalan yang menggelayuti kehidupan umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan pembahasan yang agak radikal (dari radiksnya), yaitu dengan merujuk konsep-konsep dasarnya di atas mana peradaban Islam pernah dibangun dan akan kita bangun kembali.

1. Makna Peradaban Islam
Islam yang diturunkan sebagai dÊn, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata dÊn itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil.[1] Artinya dalam istilah dÊn itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dÊn (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama MadÊnah.[2] Dari akar kata dÊn dan MadÊnah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.[3]
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku TÉrÊkh al-Tamaddun al-IslÉmÊ (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madÊnah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata haÌÉrah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhÊb.

a. Islam sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclitus untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun sawÉ') ditolak dengan halus, nabi hanya berkomentar pendek "sa uhÉjim al-rËm min uqri baitÊ" (Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ketangan Alexander the Great. Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 M – 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ketangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan Muslim.[4] Demitri Gutas dengan jelas mengakui:
…..pada tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.[5]
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh lima faktor: pertama di era kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh Lombards; ketiga penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam; keempat pemberontakan rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat. [6]
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan dan militer. Dan di antara faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang diplomatis itu nampaknya terbukti. Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam sebagai dÊn yang menghasilkan tamaddun yang dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Sebab Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non Arab karena universalitas ajarannya alias kekuatan pancaran pandangan hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru I, merobek-robek surat Nabi sambil berkata :”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku”, Nabi pun berkomentar pendek “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti bahwa sesudah itu putera Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan saja lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran Romawi, Nabi tidak keluar rumah untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran Persia. Nabi hanya menyerbarkan Islam yang memang merupakan peradaban yang memiliki konsep ketuhanan, kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.

b) Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umrÉn harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrÉn besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umrÉn bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawÍÊd), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).[7]
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.[8]
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam, Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah,sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.”[9] Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai “sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”.[10] Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup itu.[11] Dalam konteks sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn[12]. Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[13] Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur al-IslÉmÊ, al-mabda al-IslÉmÊ) itu.[14] Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut dÊn, yang di dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami NazariyÉt (Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahÉdah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia....secara menyeluruh”.[15] Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-taÎawwur al-IslÉmÊ, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.”[16] Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-IslÉmÊ yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal.[17] Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqÊdah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-IslÉm li al-wujËd).[18]
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqÊdah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[19] Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.



c). Tradisi intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur'an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep 'ilm yang dalam al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi.[20] Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut AsÍÉb al-Suffah.[21] Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.[22] Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya[23] tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.[24] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, 'Abd AllÉh ibn Mas'Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699M), Muhammad ibn al-×anafiyyah (w.81/700), Umar ibn 'Abd al-'AzÊz (w.102/720) Wahb ibn Munabbih (w.110,114/719,723), ×asan al-BaÎri (w.110/728), Ja'far al-ØÉdiq (w.148/765), AbË ×anÊfah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), AbË YËsuf (w.182/799), al-ShÉfi'i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme.[25] Dari konsep 'Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:
 ….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting berada.[26]
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi.[27] Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan intelektual.[28] Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam.[29] Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam.[30] Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam.[31] Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris (farÉÌ), geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.[32]
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi ('umrÉn) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban (haÌÉrah) menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.

2. Sumbangan Islam kepada Barat
Untuk melihat watak atau karakteristik peradaban Islam, ada baiknya jika dilihat dari apa yang disumbangkan Islam kepada peradaban lain, khususnya Barat. Atau dengan perkataan lain apa yang dimanfaatkan peradaban lain dari Islam telah menunjukkan karakter peradaban Islam itu sendiri. Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang Kristen tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic Culture.[33] Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropa Abad Pertengahan, tapi juga imaginasinya.[34] Maksudnya keingintahuan orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated) dan ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Dari perspektif teori terbentuknya pandangan hidup[35] kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan hidup mereka. Atau setidak-tidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada lima: pertama, melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh orang-orang Barat. Kedua, dengan cara kunjungan atau turisme, pada abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling berperadaban di Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam. Ketiga, waktu itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat, dengan cara menterjemahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri-monastri Eropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M memiliki ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah orang Islam untuk mereka terjemahkan. Kelima, untuk kelancaran proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah untuk para penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas jajahan Muslim itu.[36]
Namun, kebangkitan Barat tidak terjadi langsung sesudah proses tranformasi tersebut di atas. Sebab tidak ada peradaban yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba, sekurang-kurangnya diperlukan waktu satu abad lamanya bagi suatu peradaban untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat dianggap sebagai peradaban yang kuat pada abad ke 10 M, di saat mana para cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di antaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain-lain. Ini bukan sekedar sistematisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang diduga para orientalis,[37] tapi menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam bidang sains, sehingga hasilnya sains dalam Islam yang - dalam bahasa Willian McNeil - "went beyond anything known to these ancient preceptors".[38]  
Dengan datangnya Islam yang menyatukan kawasan-kawasan Timur Dekat kedalam kekhalifahan Islam, kepeloporan di bidang sains berpindah ketangan orang-orang Islam dan bertahan hingga abad ke 12. Namun, menurut Ahmad Y al-Hassan, professor sains di Universitas Toronto, sains Islam masih berkembang dan Muslim masih menjadi pelopor sains pada abad ke 13 hingga ke 16, khususnya di negara-negara Islam bagian Timur.[39] Sebab pada tahun 1259 di Maragha didirikan Observatorium astronomi dan terus beroperasi hingga tahun 1304. Observatorium ini memiliki perpustakaan dengan 400.000 judul buku, dan didukung oleh para saintis yang mumpuni di bawah pimpinan NaÎr al-DÊn al-TËsÊ. Mereka itu adalah QuÏb al-DÊn al-ShirÉzÊ, Mu’ayyid al-DÊn al-UrdÊ, MuÍyi al-DÊn al-MaghribÊ dan lain-lain. Lembaga ini bukan hanya institusi pengkajian dalam bidang astronomi, tapi juga merupakan sebuah akademi yang memberi kesempatan untuk kerjasama dengan lembaga lain dan bertukar pikiran dengan saintis lain.
Lebih canggih dari Maragha adalah observatorium yang didirikan di Samarqand. Sponsornya adalah Ulugh Beg putra mahkota yang juga saintis. Observatorium ini selesai dibangun pada tahun 1420 dan terus beroperasi hingga tahun 1470 an. Yang terlibat dalam pusat sains ini adalah ahli astronomi matematika terkenal GiyÉth al-DÊn JamshÊd al-KÉshÊ, QÉdizada al-RËmÊ dan ‘AlÊ ibn Muhammad al-QËshjÊ. Observatorium yang terakhir dalam Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595). Pendiri dan Direkturnya adalah TaqÊ al-DÊn Muhammad ibn Ma’rËf al-RashÊd al-DimashqÊ.
Pusat-pusat kajian sains tersebut tidak bertahan lama karena pada abad-abad ke 12 hingga ke 15 keadaan ekonomi dan politik ummat Islam mulai melemah sehingga kerja saintifik kehilangan momentumnya. Dukungan moral dari masyarakat pun semakin mengecil. Al-Hassan berasumsi bahwa jika ummat Islam tidak kehilangan kekuatannya, dan jika ekonomi ummat Islam tidak rusak dan jika stabilitas politik tidak terganggu dan jika para ilmuwan itu diberi waktu lebih lama lagi untuk berkreasi, maka mereka akan berhasil melebihi apa yang dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton. Sebab model planetarium Ibn ShÉÏir dan astronomer Muslim lainnya ternyata telah membuktikan adanya sistem heliosentris lebih dulu 200 tahun dari Cipernicus.
Sebaliknya Eropa yang pada waktu itu secara ekonomis mulai naik, bergiat mentransfer dan mengasimiliasi buku-buku filsafat dan sain dalam Islam. Oleh karena itu tidak heran jika karya-karya ilmuwan Eropa Abad Pertengahan tidak lepas dari karya-karya terjemahan dari bahasa Arab. Maka dari itu sejarawan mencatat bahwa perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan abad ke 13 merupakan kombinasi elemen yang dinamakan Greco-Arabic-Latin. Meskipun begitu di Eropa nama-nama saintis Muslim tidak menonjol bahkan tidak banyak mereka sebut secara eksplisit. Yang pasti setelah mereka mentransfer filsafat dan sains dari Islam Eropa pada akhir abad ke 15 konsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat dan sains di Barat. Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang menonjol,[40] dan Eropa mencatat peristiwa sejarah yang disebut Revolusi Sains (Scientific Revolution). Itulah sumbangan penting peradaban Islam terhadap peradaban Barat.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa karena konsep-konsep penting di dalam kebudayaan Barat itu hasil adapsi dari peradaban Islam, maka kita dapat mengambil kembali begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa proses. Sebab orang-orang Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang panjang yang pada akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi dapat dikenali konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam ketika mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David Hume, yang meniru konsep dan pandangan al-GhazzÉlÊ tentang hubungan kausalitas, ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari konsep al-Ghazzali sendiri.[41]
3. Kemunduran Peradaban Islam

Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal - berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20.[42] Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
1.       Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
2.      Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.”[43] Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir.[44] Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3.      Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.[45]
Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:

Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.[46]

Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.[47]
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:

…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.[48]

Lebih lanjut ia menyatakan:

Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.[49]

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.[50]
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.”[51] Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.[52]
Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.

4. Membangun Kembali peradaban Islam

Membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam dimasa lalu, kedua, memahami kondisi ummat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi ummat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Yang pertama telah kita bahas di atas, dimana telah digambarkan mengenai cara-cara bagaimana kejayaan peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan yang kedua akan kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa langkah-langkah strategis dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman. Artinya dengan konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun apresiatif terhadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam.

a. Kondisi Ummat Islam
Setelah perang dunia kedua banyak negara Islam yang telah merdeka dan kemudian mengembangkan kembali ekonomi mereka yang telah hancur. Dengan keterbatasan yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa ini masih berpotensi untuk bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn Khaldun ideal, kini negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak dan sumber alam lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan figur-figur pemimpin politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang sains seperti pakar nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf dunia, peraih hadiah noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an dan Hadith yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis:
Bangsa-bangsa datang dan pergi. Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan di sisi lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga? [53]

Jadi, secara optimistik sejatinya kondisi ummat Islam secara umum pada dekade ini tidaklah seburuk kondisi ummat Islam pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Namun, jika kita lebih bersikap introspektif maka akan kita temui bahwa umat Islam kini belum mampu berprestasi seperti, apalagi mengungguli, prestasi ummat Islam di zaman dulu. Muslim kini lebih banyak menguasai ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Berikut ini akan diidentifikasi apa akar masalah yang menggelayuti ummat Islam saat ini dan apa langkah-langkah yang perlu diprioritaskan untuk segera diambil dalam rangka membangun peradaban Islam.

b. Identifikasi Masalah Umat
Salah satu ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan.[54] Dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.
Jika digambarkan secara umum pemikiran pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka akan kita dapati beberapa kelompok. Pertama Kelompok cendekiawan yang berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha (1865-1935), Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha (1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu al-A’la al-Maududi dan sebagainya;
Kedua kelompok cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya. Di antara kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh) berkesimpulan bahwa kelemahan umat Islam adalah di bidang sains dan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini mereka tidak hanya menempuh jalur pendidikan, tapi menyarankan agar Muslim melakukan interpretasi ulang agama Islam dengan menekankan aspek intelektual agar ummat bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru yang ada di Barat.
Ketiga kelompok cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839) hingga ke Pasha Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Mereka menyadari pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan karena itu reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik untuk membangkitkan ummat Islam. Mereka malah menekankan bidang militer dan ilmu teknik, yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.[55]
Keempat, adalah kelompok cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi Islam dan bahkan di antaranya mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syariah dsb. di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dsb.
Keempat trend pembaharuan tersebut tidak dapat dipahami secara rigid, artinya kelompok yang menekankan politik dipastikan tidak memperhatikan pendidikan, dan kelompok yang menekankan pembenahan ekonomi tidak memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Ali misalnya, selain membenahi pendidikan ia juga mengembangkan ekonomi dan juga bergerak dalam bidang politik. Pengelompokan di atas hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa masing-masing kelompok memberi prioritas kepada bidang tertentu yang menjadi andalannya. Implikasinya akan dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil dari masing-masing kelompok. Ada yang bersifat praktis dengan target jangka pendek, ada pula yang strategis yang dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.
Tidak sepenuhnya berbeda dari kelompok-kelompok di atas, al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia menyatakan :

Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.[56]

Apa yang disimpulkan oleh al-Attas di atas adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin, maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.
Jadi tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan itu adalah derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan dijelaskan problem ekternal dan internal sekaligus.

c. Tantangan Pemikiran dan Dampaknya
Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa.[57] Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pemnbentukan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya.[58] John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim.[59] Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, [60] relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia. Untuk mempermudah gambaran tentang peradaban Barat modern dan postmodern berikut diagram tentang modernisme dan postmodernisme.


Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam (epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio - dalam pengertian reason bukan ‘aql – dalam memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.[61]
Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.[62]
Istilah-istilah yang digunakan adalah murrni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru). [63]
Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis.[64] Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.
Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian.[65] Disini Nurcholish seakan akan ingin agar kehidupan dunia ini tidak dianggap hina dan rendah oleh ummat Islam sehingga lari dari padanya. Implikasinya tentu ia berharap agar kehidupan dunia ini dianggap mulia dan tinggi serta harus dihadapi. Tapi ternyata ia justru memisahkan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya memuliakan dan mennggikan kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam materi (disenchantment of nature). Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata, kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. 
Sekularisasi justru mendorong orang untuk tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.[66]
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.[67] Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisisme (secularizationism).[68]
Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Canada dengan thesis berjudul "Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh". Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya [69] yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan buku teks terutama dilingkungan IAIN.
Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman Abbasiya adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash'ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.[70]
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu pembuktian lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah berkuasa, peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baikdari al-Ma’mun pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:
But with his ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of science and scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh endowment. The best work of translation was done during his regn. He was generous patron of scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done under alk-Mutawakkil.[71] 
Kritiknya terhadap teologi Ash'ari yang hanya difokuskan pada qada dan qadar hanya menunjukkan pembelaan terhadap teologi Mu'tazilah saja. Dan ini lebih cenderung membatasi pemikiran Islam hanya pada diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini justru mempersempit Islam itu sendiri. Selain itu gagasan Islam Rasional tidak mendalam sampai kepada pembahasa tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam Islam dalam kaitannya dengan wahyu. Dalam salah sub bab dalam bukunya Islam Rasional yang berjudul :"Masalah Akal dan Akhlak" ia tidak menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang pentingnya berfikir rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama terdahulu dan kita hampir tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang hubungan keduanya secara teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya Harun masih dalam tingkat gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk disebut sebagai Neo-Mu'tazilah.
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persmaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi  framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan orientalis di Barat.
Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam dengan pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat.[72] Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam. Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.
Walhasil, Upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang menekuni khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadahi untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung mengkopi konsep-konsep Barat modern dan postmodern. Kerancuan di sana sini tidak dapat dihindarkan. Sebab makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu yang di miliki umat Islam itu tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Paham, ide, nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih menghadapi problem internalnya.
d. Problem pendidikan Islam
Selain problem keilmuan yang berasal dari masuknya konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing, secara internal ummat Islam juga memiliki problem yang tidak kalah seriusnya. Problem yang pertama adalah lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang mapan.
Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah, sehingga kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan hidup Islam.
Oleh sebab itu, klassifikasi ilmu yang dicanangkan al-Ghazzali yang berupa farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu farÌu 'ain dapat diartikan sebagai compulsory subject bagi mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya TafsÊr, hadÊth, syarÊ’ah, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu farÌu 'ain. Ilmu FarÌu KifÉyah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim, termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam dsb.[73] Pembagian ilmu faÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah ini tidak perlu difahami secara dikhotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif kesatuan integral atau tawÍÊdi, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang kedua.
Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan Islam, pengajaran ilmu-ilmu farÌu 'ayn yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia masih banyak disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).
Untuk mengidentifikasi problem ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, ada baiknya dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam.

Sistem pendidikan pesantren  
Pesantren di Indonesia terdiri dari dua sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai missi tafaqquh fÊ al-dÊn, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari agama. Pada pesantren tradisional missi ini dijabarkan secara kurikuler dalam bentuk kajian kitab kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut "ilmu pengetahuan umum". Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu farÌu 'ayn terpaksan mengorbankan ilmu farÌu kifÉyah dalam pengertian 'ulËm al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu farÌu 'ayn dengan kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu farÌu kifÉyah di lembaga pendidikan Islam lainnya atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren tradisional takhaÎÎuÎ pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku, sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardu ayn dan farÌu kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan mungkin tidak ada, kajian 'ulËm al-'aqliyyah seperti logika, filsafat, metafisika, kalÉm, kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah tidak nampak jelas, bahkan ilmu farÌu kifÉyah yang melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.
Pesantren modern yang memahami tafaqquh fi al-dÊn dalam bentuk gabungan ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah memang berhasil memberikan wawasan yang lebih luas dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan itu bukan merupakan hasil integrasi 'ulËm al-naqliyyah dan 'ulËm al-'aqilyyah yang didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu farÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah. Jadi, masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan dikhotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabÉdi' al-'ulËm (ilmu-ilmu kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asÉtidhah-nya.
Sistem Pendidikan Madrasah
Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus.[74] Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan tertentu yang memisahkan ilmu farÌu 'ayn dan ilmu farÌu kifÉyah dengan tanpa konsep yang jelas, peran madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang "ilmu-ilmu agama" masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren dan dalam bidang "ilmu-ilmu umum" pula mereka tidak bisa mengimbangi prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.

Sistem Perguruan tinggi Islam
Terlepas dari peran kemasyarakat yang dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional disebut khawÉÎ dan di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang, kalaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha untuk menghidupkan program Ma'had 'Óly sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.
Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas agama (farÌu 'ayn) tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas umum (farÌu kifÉyah), ia justru dimarjinalkan.


5. Membangkitkan tradisi keilmuan

Jika substansi peradaban Islam adalah pandangan hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual akan menjadi decision maker.
Memperkuat pandangan hidup Muslim artinya memberi solusi terhadap persoalan ummat secara fundamental dan integral. Pentingnya pandangan hidup Islam ditekankan al-Attas dalam berbagai tulisannya, dan bahkan dalam kontek pengembangan sains telah diformulasikan dengan baik oleh Prof. Alparslan Acikgenc.[75] Dengan pendekatan ini kita tidak perlu meletakkan dua pilihan yang saling bertolak belakang, atau meletakkan Islam vis a vis Barat dalam setting yang konfrontatif. Barat dan kebudayaan asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional, dalam artian bahwa disatu sisi Islam dapat "mengadapsi" atau meminjam konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak diperlukan, dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan manapun, termasuk Barat.

Untuk menggambarkan pentingnya pandangan hidup Islam atau framework Islam dalam menerima dan menolak konsep-konsep asing kita rujuk sinyalemen Professor Khurshid Ahmad, pakar Ekonomi Islam asal Pakistan dibawah ini:

The capitalist and the Socialits model can have no place as our ideal-types, although we would like to avail from all those experience of mankind which can be gainfully assimilated and integrated within the Islamic framework and can serve our own purpose wihtout in any way impairing out values and norms. But we must reject the archytype of capitalism and socialism. Both this model of development are incompatible with our value system; both are exploitative and unjust and fail to treat man as man, as God’s vicegerent (khalifah) on earth. Both have been unable to meet in their own realms the basis economic, social, political, and moral chalenges of our time and the real need of a humane society and a just economy.[76]

Terjemahan bebasnya adalah bahwa model [ekonomi] kapitalis dan sosialis tidak bisa menjadi tipe ideal kita, meskipun kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan diintegrasikan dengan  framework Islam, untuk dapat membantu mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita kita harus menolak model kapitalisme dan sosialisme. Kedua model pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita, keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai manusia, sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, sosial,politik, moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia mereka sendiri.
Konsep pembangunan dalam Islam tidak sama dengan konsep pembangunan kapitalis ataupun sosialis. Pembanguan ekonomi dalam literatur umum terdiri dari serangkaian kegiatan ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan dalam produktifitas eknomi secara keseluruhan dan produktifitas pekerja secara rata-rata, dan juga pertumbuhan rasio antara tenaga kerja dan keseluruhan penduduk.[77] Pembangunan ekonomi dalam Islam lebih luas dari itu, karena pembangunan ekonomi adalah bagian dari pengbangan manusia. Disini fungsi Islam sebagai agama dan pandangan hidup adalah memberi petunjuk bagi penembangan manusia sesuai dengan arah dan garis yang benar. Tetap mempertimbangkan aspek-aspek eknomi, tapi selalu dalam  framework pengembangan manusia seutuhnya.
Pernyataan Professor Khurshid di atas telah cukup jelas menunjukkan pentingnya pandangan hidup atau dalam istilahnya  framework Islam, dalam mengkaji ekonomi asing dan mengembangkan ekonomi Islam. Berdasarkan  framework itu maka pengembangan ekonomi Islam bersifat komprehensif yang meliputi aspek-aspek moral, spiritual dan material. Perkembangan merupakan tujuan dan aktivitas yang berorientasi pada nilai, diarahkan pada perkembangan manusia dari berbagai dimensi. Moral dan material, ekonomi dan sosial, spiritual dan fisikal tidak terpisahkan, demi meraih kesejahteraan hidup dunia dan akherat. Dalam Islam fokus dari upaya-upaya pembangunan adalah manusia. Pembangunan berearti pembangunan manusia secara fisik dan lingkungan sosial ekonominya.
Barat atau kebudayaan asing lainnya dengan secara terbuka seharusnya mengakui bahwa Islam memiliki pandangan hidup, filsafat dan kebudayaannya sendiri yang harus diterima apa adanya dan tidak ada jalan rekonsiliasi, meskipun tetap membangun sikap toleransi. Bagi mereka yang gagal memahami hal ini secara akademis, baik Orientalis maupun intelektual Muslim, akan menganggap bahwa penolakan konsep Barat dalam bentuk apapun akan selalu dihubungkan dengan kecemburuan kultural dan religius (cultural and religious prejudice), yang sebenarnya tidak perlu. Sementara bagi mereka yang benar-benar dapat memahami esensi pandangan hidup Islam dan juga Barat akan dapat mengidentifikasi lebih akurat perbedaan dan bahkan pertentangan pada keduanya dan dapat dengan secara kritis menentukan apakah suatu konsep asing diterima (diadapsi) atau ditolak sama sekali. Sesungguhnya, dalam suatu pandangan hidup dan peradaban proses 'meminjam' atau adapsi adalah hal yang alami dan ini telah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, tapi mengadopsi suatu konsep tanpa proses tranformasi yang utamanya melibatkan pengetahuan dan kesadaran akan pandangan hidup, tidak akan memajukan peradaban yang bersangkutan tapi justru menghancurkan.
Dengan pendekatan integral melalui konsep pandangan hidup Islam yang merujuk kepada tradisi intelektual Islam secara kritis dan kreatif akan menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat konseptual, integral dan memproyeksikan pandangan hidup Islam (worldview) yang dinamis, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai DÊn. Secara teoritis, pandangan hidup Islam tercipta dari adanya konsep ilmu pengetahuan dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistem metafisika Islam yang utamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan realitas yang Mutlak. Dalam perspektif pandangan hidup inilah kita dapat mengetahui apakah suatu pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang Diwahyukan (Revealed Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman yang tidak sejalan maka perlu dikoreksi ulang (IÎlÉÍ) dengan apa yang disebut dengan Perubahan Paradigma (paradigm shift), yang berarti perubahan pandangan hidup dan sistem metafisikanya.
Dalam tradisi pemikiran Islam aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid yang hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak selalu bisa difahami sebagai kembali kepada corak kehidupan dizaman Nabi, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau islah seperti yang didefinisikan al-Attas mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang benar. Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan sebutan Islamisasi. Dalam konteks zaman sekarang, proses ini memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup Islam yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang secara ijmÉ' dianggap ÎaÍÊÍ. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun 'memahami' tidak selalu berarti 'mengambil konsep'. Kita, misalnya tidak perlu mengambil konsep pembebasan dari pandangan hidup asing, sebab ia telah inheren dalam pemikiran Islam dan pembaharuan Islam. Proses pembaharuan atau Islamisasi yang merujuk kepada sumber asal ajaran Islam dan ulama yang memiliki otoritas dibidangnya menunjukkan pembaharuan dalam Islam tidak bersifat evolusioner tapi lebih bermakna devolusioner, dalam artian bahwa ia bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang terakhir lebih baik dari yang pertama, tapi suatu proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.
Sesungguhnya proses pembaharuan atau Islamisasi yang berulang-ulang dalam tradisi pemikiran Islam ini telah di ramalkan oleh Nabi sendiri dalam hadithnya tentang tajdid. (Sunan Abu Dawud). Namun proses Islamisasi tidak melulu berarti menyesuaikan unsur-unsur asing dengan Islam dan tidak pula bermakna bahwa ajaran asasi agama Islam itu usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang terus menerus berubah. Proses tajdid diperlukan karena pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam, dan bukan karena ajaran Islamnya, telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Perlu ditekankan disini bahwa dalam tradisi Islam (sunnah) setiap usaha pembaharuan (tajdid) pamahaman dan penafsiran Islam selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak yang termaktub dalam al-Qur’an. Ini sangat berbeda secara diametris dengan pemikiran dalam kebudayaan Barat yang sifatnya terus menerus mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti, sehingga pendapat atau pemahaman yang baru mesti menolak pendapat yang lama dan seterusnya. Pembaharuan dalam Islam bukan menolak atau menghapuskan pendapat lama atau konsep asalnya tapi merupakan rekonseptualisasi yang kreatif berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan tradisi dan otoritas.


6. Membangun individu melalui universitas

Untuk memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap ×ikmah IlÉhiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam.
Perlu dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu.[78] Bahkan, target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun universal (al-insÉn al-kulli atau al-insÉn al-kÉmil) dan mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing".[79] Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: "manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada".[80] Namun berbeda dengan Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran Barat mengenai suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.[81]
Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-JÉmi’ah, al-kulliyah)) harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling terkait.
Penyataan al-Attas dalam hal ini sangat jelas.
“Sebuah universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.[82]   
Karena universitas Islam modern yang berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat, maka orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas ulama dan taqlÊd. Padahal kekebasan akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr) berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. TaqlÊd bukan berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.
Pengertian ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan bidang masing-masing. IjtihÉd tidak berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.
Selain itu kurikulum di Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fard Ayn yang berupa AqÊdah, TawÍÊd atau UÎËluddÊn pada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard Ayn dapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam atau filsafat dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, alam, akhlaq dan tentang Din dikaji secara mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu farÌu kifÉyah. Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan dihilangkan.
Seharusnya ilmu farÌu ayn bagi seorang mahasiswa UÎËluddÊn, misalnya tidak sama dengan Ilmu farÌu 'ayn bagi siswa Madrasah 'Aliyah atau mahasiswa fakultas Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai ilmu farÌu 'ayn sesuai dengan bidangnya, maka pada dataran epistemologis ilmu FarÌu 'ayn ini pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk kedalam ilmu farÌu kifÉyah, seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban, bahasa dan lain sebagainya.

7. Sinegi Pembangunan Peradaban
Proyek membangun kembali peradaban Islam tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia merupakan proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk itu maka proyek ini perlu disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (farÌ 'ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas “Barangsiapa tidak perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian daripada mereka” (al-Hadith).
Jika kita menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad maka kita akan temui gerakan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan penterjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad: seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer, pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Dan yang terpenting, ia dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat dengan alat filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan tepat. [83]
Ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin diagram dibawah ini dapat menggambarkan konsep tersebut.

 

Oleh sebab itu sebagai implikasinya, jika ilmu memberi amunisi kepada seluruh pihak dari penguasa, pengusaha, pedagang, politisi, militer, dan sebaginya maka semua pihak yang memerlukan ilmu perlu menyokong proyek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun tidak dapat sepenuhnya mendapat dukungan seperti di zaman Abbasiyah, sekurang-kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya ilmu pengetahuan Islam untuk semua bidang kehidupan perlu ditanamkan. Masyarakat Muslim perlu terus menerus mendapat pengarahan akan pentingnya bidang ini.
Secara materiel, ssedekah, zakat, infaq, wakaf pribadi dan perusahaan-perusahaan Muslim perlu diarahkan bagi pengembangan asas peradaban Islam ini, yaitu ilmu pengetahuan Islam. Selama ini belum banyak zakat bagi aÎnÉf fÊ sabÊlillÉh yang diarahkan bagi pengkajian dan penelitian ilmu-ilmu Islam. Demikian pula wakaf masyarakat pada umumnya masih berupa tanah, dan masih langka sekali wakaf berupa buku-buku yang sangat menunjang bagi kegiatan keilmuan. Secara sosial, penghargaan terhadap ulama ataupun cendekiawan perlu dilakukan melalui berbagai event sosial, agar apresiasi masyarakat terhadap ilmu meningkat. Namun penghargaan perlu diberikan secara proporsional, artinya harus berdasarkan pada prestasi di bidang keilmuan, bukan hanya sekedar reputasi sosial yang seringkali diukur dengan standar jurnalistik.
Selanjutnya, karena spesialisasi dalam ilmu pengetahuan baik agama maupun sekuler begitu kental, maka seorang sarjana satu bidang tidak menguasai bidang yang lain. Dan yang lebih memprihatinkan lagi sarjana ilmu keislaman buta ilmu-ilmu umum (sekuler) dan sarjana ilmu umum tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun mereka adalah Muslim. Dalam situasi seperti ini diperlukan kerja bersinergi, dimana sarjana pakar ilmu syariah misalnya bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi dsb, demikian pula sarjana pakar bidang usuluddin atau pemikiran Islam berkolaborasi mengkaji sesuatu dengan pakar dibidang fisika, biologi dan matematika. Dari kerja yang bersinergi ini maka potensi ummat Islam akan dapat menghasilkan karya-karya yang dapat dimanfaatkan oleh ummat.
Jika dukungan masyarakat terhadap pembangunan ilmu pengetahuan Islam ini telah muncul dan kolaborasi para ilmuwan Muslim dapat terjalin, maka mekanisme penyebaran (desimination) ilmu ketengah-tengah masyarakat akan timbul. Artinya, dengan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu-ilmu Islam, produk dari kajian ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pusat studi Islam atau lembaga-lembaga pendidikan Islam memperoleh saluran penyebaran yang efektif. Media pendidikan formal, dan informal seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, ceramah-ceramah tokoh diharapkan dapat menjadi medium penyebaran ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam.
Jika masyarakat tidak mendukung gerakan pengkajian Islam tersebut, maka keadaan seperti yang kita saksikan sekarang. Hasil seminar, penelitian dosen, workshop, konferensi dan lain-lain hanya akan berhenti di tingkat elit saja dan tidak tersebar ke tengah masyarakat. Inilah yang sering disebut dengan intellectual mechanism.

7. Penutup
Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup Islam. Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Lebih penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam. Wallahu a’lam bissawab.

WassalÉmu 'alaikum waraÍmatullÉh wa barakÉtuh

Gontor, 22 Februari 2007











Biodata Penulis

Nama                : Hamid Fahmy Zarkasyi
TTL                  : Gontor, 13 Septermber 1958
Alamat              : Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Kampus Baru Siman – Ponorogo
Orang tua          : KH. Imam Zarkasyi (Putera ke 9).

I. Pendidikan:
  1. Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor, 1977.
  2. Fakultas Tarbiyah, Institut Pendidikan Darussalam (IPD), Pondok Modern Gontor, 1982. (BA)
  3. Institute of Education and Research (IER), University of the Punjab, Lahore Pakistan, 1986. (MA.Ed)
  4. Faculty of Art, Dept. Theology Unversity of Birmingham, United Kingdom, 1996-1998. (M.Phil)
  5. Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC-IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia, 2006 (Ph.D).

II. Pekerjaan:
  1. Pembantu Rektor III, Institut Studi Islam Darussalam, 1990-1996 / 2005-sekarang
  2. Direktur CIOS (Center for Islamic and Occidental Studies) ISID Gontor, 2006-
  3. Ketua Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, periode 2003-2008.
  4. Direktur dan peneliti INSISTS, (Institute for the Study of Islamic Thought and Civlization), Jl. Kalibata Utara II, 84,  Jakarta, 2002- sekarang
  5. Pemimpin Redaksi Majalah Ilmiyah ISLAMIA, Jakarta.
  6. Anggota Dewan Redaksi Jurnal al-INSAN, Gema Insani Press.

III. Karya Ilmiyah:
A. Buku:
  1. Pemikiran Pendidikan al-Ghazzali, Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1992.
  2. Reorientasi Filsafat Islam, Trimurti Press, Gontor, 1992.   
  3. Filsafat dan Praktek Pendidikan al-Attas, Mizan 2003 (terjemahan)
  4. Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi Di Dunia Islam, Penerbit Kyairul Bayan, Jakarta, 2004

B. Makalah:
1.    Antara Selly Oak dan ISTAC, journal al-Hikmah, edisi khusus, 2001
2.    Akal dan Wahyu, Dalam pandangan Ibn Rushd dan Ibn Taymiyyah, dalam Journal al-Hikmah, vol. 10, 2000
3.    Umat Islam Indonesia pasca Orba, Renungan dan Prediksi masa depan,  Makalah disampaikan pada Seminar Keislaman Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Indonesia, di   kampus Universiti Putera Malaysia (UPM), pada 20 Mei 2000.
  1. Pengembangan SDM gaya Malaysia, majalah Nebula, edisi,
  2. Kata Pengantar buku Islamic Invasion,  Robert Morey, terjemahan Sadu Suud,
  3. Pesantren dan tantangan Pemikiran, Majalah Sabili, vol. 10 (2003), 22 mei)

7.    Esensi Ukhuwwah Islamiyyah, Upaya pemahaman utuh dan dimensional, Makalah, Winter Gathering Keluarga Islam Britania Raya dan sekitarnya, di Birmingham,  1999.

8.       Paham Pluralisme Agama, disampaikan di Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami Jakarta, 15 Mei 2006

9.    Politik Pemikiran, Majalah Hidayatullah, edisi 3, XIX, juli 2006 dan edisi 4, XIX, Agustus 2006

  1. Mendudukkan Orientalis, Republika, Jumat, 21 Mei 2004
  2. Trend Pemikiran Islam Indonesia, journal Tsaqafah, Institut Studi Islam Darussalam, PM Gontor, vol.3. 2005
  3. Islam Sebagai pandangan Hidup, makalah disampaikan pada acara workshop Islamic Civilizational Studies, Unissula & ICMI Jateng, 24-26 Juli, 2006.
  4. Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari, diselenggarakan oleh Institute for the Study of Islamic Thought and Civlization (INSISTS), Jakarta, Hotel Sofyan Betawi, 1 Juli, 2006.
  5. Menguak Nilai dibalik Hermeneutika, Majalah ISLAMIA, I, th. I, 2004.
  6. Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Postmodern, ISLAMIA, no. 4, th. I, 2004.
  7. Worldview sebagai Asas Epistemologi, ISLAMIA, no. 5, th.II, 2005
17.  Framework Kajian Orientalis Dalam Filsafat Islam, ISLAMIA, no. 6, th. II, 2005
18.  Pandangan Hidup Islam, disampaikan dalam Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan IKPM, Cairo, Mesir, 1-3 Maret 2006.
19.  Sejarah Hermeneutika, disampaikan dalam Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan IKPM, Cairo, Mesir, 1-3 Maret 2006.
20.   Hutang bangsa pada pesantren, Majalah Sabili, No.09 Vol.11 2003.
21.  Tragedi Adopsi Peradaban Barat, Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan Cikini, diselenggarakan oleh Majalah ISLAMIA, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.



[1] Al-Attas, Islam, Religion and Morality, dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, ISTAC, 1995, hal. 43-4
[2] Sebelumnya kota Madinah dikenal dengan nama Yathrib.
[3] Ibn ManÐËr. LisÉn al-‘Arab al-MuÍÊÏ. (Beirut: DÉr al-Jayl & DÉr LisÉn al-'Arab, 1988) jilid13; hal. 402
[4] William R Cook dan Ronald B Herzman, The Medieval Worldview, New York – Oxford, Oxford University Press, 1983, hal. 119-120
[5] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, London, Routledge, 1988, hal. 13
[6] Edward Gibbon, The Decline and The Fall of Roman Impire, Abridged and Illustrated London, United Kingdom, Bison Books Ltd. 1979, hal. 1.
[7] Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi November-Desember, 1983, hal. 38-42.
[8] Ibid
[9] Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner's sons, n.d). 1-2.
[10] Aslinya: An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence, Lihat Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, hal. 532.
[11] Aslinya: The foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1996, jilid1. Nomor 1&2, 6.
[12] Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, jilid2, no 2 (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970, hal. 24.
[13] Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California, Wardsworth, 1997) hal. 340, 355, 368, 370.
[14] Prof. Alparslan menyimpulkan bahwa suatu pandangan hidup umumnya memiliki 5 struktur konsep atau pandangan yang terdiri dari 1) struktur konsep tentang ilmu, 2) tentang alam semesta, 3) tentang manusia, 4) tentang kehidupan, dan 5) tentang nilai moralitas. Alparslan Acikgence, Scientific Thought And Its Burdens, An Essay in the History and Philosophy of Science, Fatih University Publications, 2000, hal. 78.
[15] Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) hal. 14, 41.
[16] M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslÉmÊ, DÉr al-ShurËq, tt. Hal. 41
[17] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, Beirut, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ, 1989, hal. 13.
[18] S.M.N, al-Attas dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, hal. 2
[19] Ibn KhaldËn, 'Abd al-RaÍmÉn Ibn MuÍammad, The Muqaddimah: an Introduction to history, Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978), hal. 54-57.
[20] Rosenthal mencatat lebih dari seratus definisi 'ilm dalam tradisi intelektual Islam, dan mengkategorikannya menjadi dua belas kategori, Rosenthal, F, Knowledge the Triumphant, Leiden, E.J.Brill, 1970, hal. 52-69.
[21] Khalifah melaporkan catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya' al-'Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, jilid1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn Isma'il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad Ali al-Subayh, tt. Lihat Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah, 1/104.;  lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, hal. 81.
[22] Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuan dan materi yang dikaji, Lihat AbË Nuaym Abu Nu'aym, Ahmad ibn 'Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya', 10 jilid, Mesir: al-Sa'adah Press, 1357, 1/339, hal. 341.
[23] Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Lihat AbË Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha'ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2 jilid (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fu'ad 'Abd al-BÉqÊ, (Kairo: DÉr IÍyÉ' al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953, jilid 2, hal. 70.
[24] AbË Nu'aym mencatat bahwa Sa'Êd ibn 'Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar.  Ibid, jilid 1, hal. 341.
[25] Alparslan Acikgence, Scientific Thought, hal. 87
[26] Oliver Leaman, "Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History", dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in association with The Institute of Ismaili Studies, 2000, hal. 34.
[27] Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, jilid. II, Low Price Publication, Delhi, 1995, hal.1349.
[28] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10 centuries), Routledge, London-New York, 1998, hal.191.
[29] Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985, hal. 6.
[30] Thomas Brown, The Transformation of the Roman Mediterranean, 400-900, dalam George Holmes, The Oxford History of Medieval Europe, hal.50-51. He also noted that the remarkable success and the strength of Islam was due mainly to their ability "to evolve an original and durable synthesis". They took over the more effective and appealing tenets of other faiths and retained viable elements of Graeco-Roman administration and urban culture while maintaining the distinctiveness and vitality of their own culture. Lihat Ibid., hal. 11.
[31] Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” dalam The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948, hal.239.
[32] Ibn KhaldËn, Muqaddimah, hal. 343-400
[33] Mozarab asal katanya dari bahasa Sepanyol yang diambil dari Bahasa Arab musta'rab yang berarti terarabkan ('arabized'), or menjadi ke Arab-Araban, tapi istilah ini dipakai untuk mengecap seseorang yang mengaku-ngaku sebagai Arab tanpa menjadi Arab betulan. Menurut Mikel istilah ini adalah aslinya dalah kata pejoratif  yang diarahkan kepada orang Kristen Arab yang hidup pada kekaisaran Kristen  Abad Pertengahan, khususnya di Toledo. Namun istilah ini juga merujuk kepada peserta kebaktian Kristen di Spanyol yang masih mempertahankan bentuk agama mereka yang telah dimodifikasi setelah datangnya Muslim. Lihat Mikel De Eplaza, “Mozarab, An Emblematic Christian Minority in Islamic Andalus”, dalam Salma Khadra Jayyusi, "The legacy of Muslim Spain", E.J.Brill, Leiden, 1992, 149-170. Bandingkan Webster Comprehensive Dictionary, Trident Press International, 1996, hal. 833
[34] Morris, Rosemary, Northern Europe invades the Mediterranean, 900-1200, dalam George   Holmes, The Oxford,  Ibid., hal. 194-195
[35] Alparsalan menyatakan bahwa worldview itu terbentuk dalam pikiran manusia menurut ide-ide cultural, saintifik, keagamaan dan spekulatif, melalui pendidikan, atau upaya-upya-upaya yang sadar untuk memperoleh ilmu atau keduanya sekaligus. Alparslan Acikgenc, Islamic Science, hal. 15
[36] Salma Khadra Jayyusi, The Legacy of Muslim Spain, Ibid, hal.1059-1060; Toledo adalah tempat aktifitas terpenting tapi dalam skala yang lebih kecil dilakukan di Salerno, Salamanca dan Venice. Lihat William McNeill, Ibid., 548-550; Untuk lebih detail tentang proses transformasi melalui kegiatan penterjemahan lihat Myers, Eugene A, Arabic Thought and The Western World, (New York: Frederick Ungar Publishing co., 1964), hal. 78-130.
[37] Lihat misalnya, O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963. hal. viii.
[38] William McNeill, Ibid., hal. 418
[39] Ahmad Y al-Hassan, “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth Centurydalam Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 351
[40] Myers, Eugene A, Arabic Thought,  hal.132.
[41] Cemil Akdogan, “Ghazzzali, Descartes, and Hume: The Geneology of Some Philosophical Ideas” dalam Islamic Studies, vol. 42, Autumn 2003, Nomer: 3, hal. 498; David Humes (1711-1776) bersentuhan dengan konsep kausalitas al-Ghazzali melalui Malebranche (1638-1715) yang membaca TahÉfut TahÉfut Ibn Rushd melalui tulisan Fonseca, Ruvio dan Suarez. Lihat J.F.Naify, Arabic and European Occasionalism: A Comparison of al-GhazzÉlÊ’s Occasionalism and its critique by Averroes with Malebranche’s Occasionalism and its critique in the Cartesian Tradition, Ph.D. Diss., University of California, San Diego, 1975, hal. 196-198.
[42] Ahmad Y al-Hassan, “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth Century, hal. 366-384.
[43] Bernard Lewis, The Arab in History, London, 1977, hal.150.
[44] Catatan sejarah tentang serangan Hulagu ke Mesir Lihat Ibn Kathir, al-BidÉyah wa al-NihÉyah, Beirut, 1982, jilid 13, hal. 200.
[45] Intervensi Barat kedalam rumah tangga umat Islam bukan hal baru. Ketika itu Muhammad Ali berkuasa di Mesir (tahun 1805) menyadari bahwa kelemahan Muslim adalah ketergantungannya kepada bangsa Eropah ia mencanangkan modernisasi ekonomi Mesir, dengan meningkatkan ekspor kapas, dan menetapkan ekspor menjadi memonopoli negara. Ia juga menolak regulasi perdagangan yang diterapkan Barat ke Turkey Uthmani. Dari situ ia mengembangkan industri tekstil, pakaian, kertas, gula, kimia, kulit, kaca, alat-alat industri, pompa, senjata, amunisi dan lain sebagainya. Ia bahkan mendirikan industri kapal laut setelah ia mengirimkan kader-kadernya belajar ke Eropah dan bahkan menyewa teknisi asing untuk industri tertentu. Sekolah dan perguruan tinggi untuk bidang kedokteran, kedokteran hewan, tehnik, bahasa, sekolah administrasi, sekolah dinas ketentaraan dan lain-lain didirikan. Lebih dari 10.000 mahasiswa yang terdafdar disitu mendapatkan biasiswa, tempat tinggal dan makan. Muhammad Ali kemudian mendirikan persatuan negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir Syria, Saudi dan Sudan. Barat ternyata tidak tahan melihat sepak terjang Muhammad Ali ini. Inggeris khususnya menganggap Muhammad Ali sebagai ancaman yang berbahaya. Pimpinan negara Perancis waktu itu, Palmerston,  menulis kepada duta besarnya:” Saya membenci Muhammad Ali yang bagi saya tidak lebih baik dari barbarian. Saya yakin dia adalah tiran dan penindas yang besar.” Negara-negara Barat seperti Inggeris, Perancis, Prussia, Austria dan Russia bersatu menekan Muhammad Ali. Itulah cara-cara Barat menghadapi kekuatan Islam yang akan bangkit. Dikutip oleh Ahmad Y al-Hassan, dalam “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth Century, hal. 383-384.
[46] Lihat Economic of Ibn Khaldun,: Revisited, www.Uwplatt.edu/-Soofi/Khaldun2, hal 16
[47] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 238-239
[48] Ibid, hal. 286
[49] Ibid, 289.
[50] Mehdi, Soltanzadeh, “Factor Affecting a Siciety’s Life Span, According to Ibn Khaldun”, a paper disampaikan pada International Conference:Ibn Khaldun’s Legacy and Its Contemporary Significance, 20th-22th November, 2006, ITAC-IIUM, Kuala Lumpur, hal.3-7 
[51] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal, jld. 2, hal. 431.
[52] Ibid, hal. 434
[53] Grunbaum, G.E. von, “Pluralism in the Islamic World” dalam Islamic Studies, jilid 5, hal. 2:37-59.
[54]Lihat, misalnya, Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E. J. Brill, 1970); A. L. Tibawi, “Philosophy of Muslim Education,” Islamic Quarterly, jilid 10, no. 2, Juli 1957, hal. 82.; Gustave von Grunebaum, Medieval Islam: A Vital Study of Islam at its Zenith, edisi ke 2 (Chicago: Phoenix Books/Univ. of Chicago Press, 1962), hal. 234-250.
[55] Bernard Lewis, Emergence of Modern Turkey, edisi ke 2 (London: Oxford University Press, 1968), bab. 3 dan 4; Ghulam Nabi Saqib, Modernization of Muslim Education in Egypt, Pakistan, and Turkey: A Comparative Study (Lahore: Islamic Urdu Service, 1983), hal. 79-80.
[56] Al-Attas, SMN, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur, 2001, para. 51, hal. 129. Cf. Surat kepada Sekretariat Islam tanggal 15 Mei 1973, berbunyi “permasalahan inti yang menjadi penyebab semua permasalahan yang lain adalah permasalahan ilmu.” seperti dikutip Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, ISTAC, Kuala Lumpur, 1998, 71.
[57] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, ISTAC, 1993, hlm 134.
[58] Lihat Troger Garaudy, Janji-Janji Islam, terjemahan (Jakarta, Bulan Bintang, 1982, 222-223; juga Maryam Jemeelah, Islam and Modernism, (Lahore: Muhammad Yusuf Khan, 1975), hal. 15.
[59] Sekularisme moderat menganggap agama sebagai urusan pribadi dan rohani manusia dan karena itu tidak boleh dicampur aduk dengan urusan keduniaan yang berupa ilmu, politik, pertanian dll., sedangkan sekularisme ekstrim menganggap agama sebagai musuh masyarakat, tapi yang jelas keduanya menolak agama dalam kehidupan. Muhammad al-Bahi, Penentangan Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, terjemahan bahasa Malaysia (kuala Lumpur, Penerbit Hizbi, 1985) hal.52.
[60] Relativisme dan nihilisme adalah doktrin tentang nilai yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama. Programnya adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan merduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolute oleh agama dan masyarakat. Menurut Heidegger (1889-1976) nihilisme adalah “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi [kebenaran] yang tersisa. Bagi Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, religious ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine). Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan foundasi pemikiran dan nilai, dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, kata Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolah kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain (to do away with one is to do away with other too). Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas sebagai serangan agama sebagai asas bagi moralitas. Lihat Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19, 167; Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idol, terjemahan. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968), hal. 41. dalam karyanya Will To Power, ia menyatakan bahwa “Truth is the kind of error”, lihat Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, lihat section 493.
[61] Fazlur Rahman, "Islam:Legacy and Comtemporary Challenge" seperti yang dikutip oleh Abdul Rahman Haji Abdullah dalam Pemikiran Islam di Malaysia, sejarah dan aliran, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka & USM, Pinang, 1988, hal. 11.
[62] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung , Penerbit Mizan, cetakan ke VIII, 1995, hal. 172.
[63] Libat, Muhammad ‘Ali al-Juzu, Shaykh, MafhËm al-‘Aql wa al-Qalb, DÉral-‘Ilm Lil-Malayin, Beirut, 1983, khususnya Bab 2, hal. 55-78
[64] Ibid, hal 207.
[65] Ibid., hal. 217-218.
[66] Al-Attas, Islam, hal. 38-40.
[67] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 219-220.
[68] Al-Attas, Islam, hal. 48. Sekalipun judul buku al-Attas adalah Islam dan Sekularisme, namun makna Sekularisme bukan sekedar idiologi secular seperti komunisme, sosialisme dan bentuknya yang beragam, namun juga termasuk pandangan hidup sekular yang diproyeksikan oleh sekularisasi, yang intinya adalah relativisme historis sekular, dan inilah makna dari sekularisisme.
[69] Seperti misalnya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Teologi Islam (1977), Filsafat Agama (1978), Filsafat dan Mistik dalam Islam (1978), Aliran modern dalam Islam (1980), Muhammad Abduh dan Teologi Mu'tazilah (1987)
[70] Harun Nasution , Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Penerbit Mizan, ed. Saiful Muzani, Bandung, Penerbit Mizan 1996, cetakan ke IV, hal 154-155.
[71] Al-Hassan, “Factor”, hal. 363-364
[72] Bandingkan misalnya Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996; dan juga Atho Mudzhar, H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
[73] Untuk pemabahsan lebih detail lihat Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational Philosophy, hal. 71.
[74] Dalam konteks Islam, sebenarnya tidak ada istilah ‘ilmu-ilmu umum,’ sebab Islam menjadikan semua aspek, keperluan dan aktifitas kehidupan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dipakainya istilah ilmu-ilmu umum dalam tulisan ini adalah semata-mata merujuk kepada penggunaannya yang sudah begitu populer di Indonesia.
[75] Untuk penjelasan tentang lahir dan berkembangnya pandangan hidup Islam, lihat karya Alparslan Acikgenc, Islamic Science toward definition, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995.
[76] Khurshid Ahmad, “Economic Development in an Islamic Development”, dalam Khurshid Ahmad (ed), Studies in Islamic Economic, International Centre for Research in Islamic Economic, King Abudl Aziz University, Jeddah and The Islamic Foundation, UK 1981, hal. 175
[77] Alfred Bonne, Studies in Economic Development, London, Routledge and Kegan Paul, 1960, hal. 250.
[78] Kajian Tibawi, misalnya menunjukkan bahwa ternyata Ikhwa al-Safa tidak tertarik untuk membahas bayi dan anak laki-laki sebelum berusia 15 tahun dalam praktek sistem pendidikan Islam. Abdul Latif Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical, Educational and Literary Studies (London: Luzac & Co., 1974), hal. 181.
[79] Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal. 39–40; Ikhwan al-Safa (muncul pada 373 Hijrah) dalam risalahnya (Rasail) menekankan bahwa setelah proses pendidikan bentuk kehalusan budi (tahdhÊb), pensucian diri (ta'thir), peningkatan sampai akhir (tatmim), dan penyempurnaan (takmil), maka proses yang terakhir harus pada tingkat manusia sempurna (Insan Kamil). Lihat juga Tibawi, Arabic and Islamic Themes, hal. 185.
[80] Lihat sebagai contoh, James L. Jarrett, Educational Philosophy of the Sophists (New York:  Teachers College-Columbia University Press, 1965); juga lihat Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, cetakan ulang edisi 1949 (New York: The Wisdom Library, 1957).
[81] Lihat Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, 3 vols. diterjemahkan oleh Gilbert Highet.   Edisi 2 (New York/Oxford: Oxford University Press, 1945), 1: xxii–xxiv; juga lihat J. H. Randall Jr., The Making of the Modern Mind, 50th Anniversary Edition. Kata Pengantar oleh Jacques Barzun (New York: Columbia University Press, 1976), hal. 135–136; juga lihat Paul Nash, Andreas M. Kazamias dan Henry J. Perkinson, The Educated Man: Studies in the History of Educational Thought (Malabar, Florida: Robert E. Krieger, 1970), baca Pendahuluan.
[82] Surat al-Attas kepada kepada Sekretariat Konferensi Islam tanggal, 15 May 1973, hal. 1–2; seperti dikutip Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 172.
[83] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, hal.2-3[75] Untuk penjelasan tentang lahir dan berkembangnya pandangan hidup Islam, lihat karya Alparslan Acikgenc, Islamic Science toward definition, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995.
[76] Khurshid Ahmad, “Economic Development in an Islamic Development”, dalam Khurshid Ahmad (ed), Studies in Islamic Economic, International Centre for Research in Islamic Economic, King Abudl Aziz University, Jeddah and The Islamic Foundation, UK 1981, hal. 175
[77] Alfred Bonne, Studies in Economic Development, London, Routledge and Kegan Paul, 1960, hal. 250.
[78] Kajian Tibawi, misalnya menunjukkan bahwa ternyata Ikhwa al-Safa tidak tertarik untuk membahas bayi dan anak laki-laki sebelum berusia 15 tahun dalam praktek sistem pendidikan Islam. Abdul Latif Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical, Educational and Literary Studies (London: Luzac & Co., 1974), hal. 181.
[79] Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal. 39–40; Ikhwan al-Safa (muncul pada 373 Hijrah) dalam risalahnya (Rasail) menekankan bahwa setelah proses pendidikan bentuk kehalusan budi (tahdhÊb), pensucian diri (ta'thir), peningkatan sampai akhir (tatmim), dan penyempurnaan (takmil), maka proses yang terakhir harus pada tingkat manusia sempurna (Insan Kamil). Lihat juga Tibawi, Arabic and Islamic Themes, hal. 185.
[80] Lihat sebagai contoh, James L. Jarrett, Educational Philosophy of the Sophists (New York:  Teachers College-Columbia University Press, 1965); juga lihat Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, cetakan ulang edisi 1949 (New York: The Wisdom Library, 1957).
[81] Lihat Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, 3 vols. diterjemahkan oleh Gilbert Highet.   Edisi 2 (New York/Oxford: Oxford University Press, 1945), 1: xxii–xxiv; juga lihat J. H. Randall Jr., The Making of the Modern Mind, 50th Anniversary Edition. Kata Pengantar oleh Jacques Barzun (New York: Columbia University Press, 1976), hal. 135–136; juga lihat Paul Nash, Andreas M. Kazamias dan Henry J. Perkinson, The Educated Man: Studies in the History of Educational Thought (Malabar, Florida: Robert E. Krieger, 1970), baca Pendahuluan.
[82] Surat al-Attas kepada kepada Sekretariat Konferensi Islam tanggal, 15 May 1973, hal. 1–2; seperti dikutip Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 172.
[83] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, hal.2-3

No comments:

Post a Comment

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...