POLITIK LUAR NEGERI
INDONESIA DALAM MENGHADAPI
ISU
TERORISME INTERNASIONAL
Terorisme
adalah suatu kejadian yang pada saatini bukanlah hal yang yang baru, melainkan
sebuah kejadian yang sudah sangat sering disebutkan. Hal tersebut dapat
terlihat ketika kita mengingat pada awalnya yang berkejadian pada Amerika
Serikat, ketika World Trade Centre (WTC) di serang pada 11
September 2001. Terorisme sendiri pun memiliki berasangkutan dengan
karakter-karakter agamis, yang mana jika ada sebuah kejidian yang bersangkutan
dengan terorisme, agama yang ditujukan dalam kejadian tersebut. Kejadian
terorisme tersebut memunculkan kebijakan yang bertujuan untuk memerangi
terorismeyang disebut Global War againts Terrorism.
Mengingat
kejadian-ejadian terorisme terutama yang terjadi pada tanggal 11 September 2001
tersebut, Indonesia sangat responsif dalam menanggapinya. Hal tersebut tertulis
ketika Presiden Indonesia Megawati Soekarno Putri mengirimkan surat kepada
Presiden Amerika Serikat George W. Bush atas duka cita Indonesia terhadap pa
yang terjadi di Amerika Serikat, dan juga selain duka cita, di dalam surat
tersebut Indonesia menuliskan tentang pengecaman Indonesia dengan mengutuk
serangan tersebut sebagai tindakan yang tidak berprikemanusiaan.
Pada kunjungan Preside Republik
Indonesia Megawati Soekarno Putri, ia juga mengatakan bahwa sesungguhnya belum menentukan
sikap tegasnya dalam kaitannya dengan kebijakan global AS untuk memerangi terorisme.
Namun, hal ini tidak berarti Indonesia bersikap pasif dalam merespons persoalan
terorisme. Lima belas hari setelah tragedi 9/11, Indonesia menandatangani
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pencegahan Sumber Finansial
Terorisme (International Convention for the Suppression of the Financing of
Terrorism 1999). Selain untuk memperkuat payung hukum isu terorisme di level
internasional, penandatangan tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sikap
Indonesia yang menghormati dan mengedepankan mekanisme multilateral dalam
memerangi terorisme daripada aksi unilateral AS.
Pada awalnya Indonesia tidak begitu
menghiraukan tentang isu-isu terorisme yang ada, hal tersebut disebabkan
Indonesia tidak merasakan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan terorisme.
Walaupun ada beberapa kegiatan seperti yang terjadi pada Papus dan Aceh, hal
tersebut di anggap bahwa kedua hal tersebut adalah sebuah permasalahan paling
fatal bagi isu keamanan negara, dan keduanya bukanlah termasuk dari terorisme.
Pernyataan tersebut juga sangat didukung oleh Wakil Presiden Indonesi pada saat
itu yaitu Hamzah Haz. Maka dari itu isu isu tentang terorisme bukanlah suata
ancaman bagi Indonesia.
Pada akhirnya Indonesia terkena
bencana terorisme yang menargetkan berbagi macam tempat penting yang berada di
tengah keramaian seperti Bom Hotel J. W. Marriot (2003), Bom Kedubes Australia
(2004), Bom Bali II (2005) dan Bom J.W.Marriot-Ritz Carlton (2009). Pengeboman
tersebut lah yang menguatkan tekad Indonesia bahwa isu terorisme sudah mulai
merambak di dalam negeri. Hal tersebut menyebabkan berbagai kebijakan Indonesia
pun muncul demi mencegah dan menanggulangi kejadian pengeboman yang disakutkan
dengan kasus terorisme.
Demi mencegah terjadinya kasus
terorisme yang adai di Indonesia, maka terbentuklah lembaga-lembaga yang
mengatasi hal berbau terorisme, seperti dibentuknya Densus 88 yang berdiri pada
tahun 2004 dan juga Badan Nasional Penaggulangan Terorisme yang dibentuk pada
tahun 2010. Pada beberapa tahun setelah terbentuknya BNPT tersebut, kepala BNPT
menyatakan bahwa BNPT ya diketuai olehnya telah menangkap lebih dari 500
terorisme yang ada di Indonesia. Kasus-asus terorisme yang ada di Indonesia
diperkirakan memiliki jaringan-jaringan terorisme dengan jaringan terorisme
yang ada di kalngan Internasional. Maka pada ASEAN pun Indonesia lebih
diperhatikan dan diawasi demi menjaga kelangsungan kedamaian dunia terutama di
daerah ASEAN.
Dalam lingkup kerja sama
multilateral, Indonesia mendukung langkah-langkah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan berperan aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga
internasional khususnya dalam rangka penegakan hukum, dan berbagai langkah pencegahan,
penumpasan, pemberantasan terorisme serta keamanan internasional. Salah satu
wujud dukungan itu antara lain dalam Counter-Terrorism Committee (CTC) yang dibentuk
berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1373 Tahun 2001. Dalam rangka menindaklajuti pemenuhan
kewajibannya sebagai bagian dari CTC, pemerintah Indonesia membuat laporan capaian
upaya penanggulangan terorisme setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia telah
meratifikasi 7 dari 16 konvensi internasional dan protokol dalam isu terorisme.
Di
dalam upaya penanggulangan terorisme di atas, kebijakan luar negeri Indonesia dilandaskan
pada beberapa pilar strategi. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri
RI Marty Natalegawa di Symposium on International Counter-Terrorism Cooperation
yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal PBB di New York pada 19 September
2011, pilar-pilar strategi tersebut adalah sebagai berikut: pertama, upaya
nasional dan regional harus sejalan dengan upaya global; kedua, perang melawan
terorisme harus diarahkan pada akar terorisme itu sendiri; ketiga, demi
mencapai upaya jangka panjang, penggunaan soft power menjadi sangat esensial;
dan keempat, upaya untuk menanggulangi terorisme harus sesuai dengan prinsip
demokrasi.
Terorisme
dalam Prespektif Teoritik Hubungan Internasional
Tindakan
terorisme sendiri dapat didefinisikan dari berbagaisegi, yaitu antara lain sebagai
kriminalitas, sebagai kekerasan politik (political violence), sebagai bentuk
strategi perang, sebagai bentuk komunikasi, dan sebagai perang suci berlandaskan
agama. Sedangkan berdasarkan peristilahannya (etimologi), teror sendiri berasal
dari bahasa Latin “terrere” yang berarti “menakut-nakuti” yang diserap ke dalam
bahasa Prancis dan selanjutnya digunakan pertama kali dalam bahasa Inggris pada
tahun 1528.
Pada saat itu, untuk menanggulangi
ancaman kubu monarkis, Maximilien Robespierre memerintahkan eksekusi massal
17.000 tahanan untuk memberikan efek jera kepada lawan politiknya. Pemerintahan
gaya Robespierre ini yang kemudian dikenal dengan “rejim teror”. Penggunaan
istilah teror kemudian berkembang dengan dilekatkan pada kelompok nonnegara
pada saat kelompok anarkis Perancis dan Rusia melakukan hal serupa dalam
melawan pemerintah yang berkuasa. Karakteristik lainnya dari terorisme saat ini
terkait erat dengan globalisasi. Selain kemudahan dalam akses dalam informasi
dan teknologi, fenomena globalisasi identik dengan penyebaran nilai-nilai Barat
yang liberal. Proses globalisasi yang melintasi batas-batas negara dan membawa
konsekuensi politik dan ekonomi telah mendorong munculnya budaya pasar yang berorientasi
pada kepentingan dan keuntungan pribadi yang koruptif sehingga meminggirkan komunitas-komunitas
tradisional.
Sementara pendapat dari Benjamin
Barber terkait dengan persoalan keyakinan agama yang menjadi pendorong
terorisme, dianggap merupakan persoalan keterasingan identitas yang berujung
pada radikalisme. Amartya Sen berpendapat lain atas persoalan identitas tersebut
dengan melihat problem kemiskinan dan mobilitas sosial sebagai akar radikalisme
yang berkembang menjadi terorisme. Cornelia Beyer yang mengusung pendapat Johan
Galtung tentang kekerasan sturuktural, menilai bahwa kekerasan struktural yang
hadir dalam bentuk baru seperti “invasi” kultural dan interaksi yang tidak
simetris dengan adanya intervensi politik yang tidak menghormati norma
kedaulatan internasional menjadi sebab terorisme menjadi solusi bagi pelaku
tindak teror.
Penanganan terorisme internasional saat
ini menunjukkan kebaruannya dengan mempertimbangkan adanya perubahan karakter konflik
yang asimetris. Aktor yang saling berkonflik dalam konteks kekinian tidak
selalu negara yang menjadi aktor utama seperti paradigma Realisme dalam studi
Hubungan Internasional, namun juga melibatkan aktor non-negara, yaitu seperti
teroris yang dalam versi AS adalah jaringan Al Qaeda. Sementara itu, dalam
sudut pandang akademik dan norma hubungan internasional, isu terorisme
mencuatkan kembali pertanyaan atas norma mendasar hubungan antara negara, yaitu
kedaulatan. Selain itu, perkembangan isu terorisme internasional mutakhir
membuka isu masih lemahnya rejim internasional dalam isu ini. Hal ini dapat
dicermati dari kesulitan yang terjadi saat negara-negara yang secara normatif mengutuk
aksi teroris untuk dapat bekerja sama secara multilateral. Hal itu dapat
dilihat dari kesulitan upaya definisi hukum atas terorisme yang dapat dijadikan
rujukan bersama oleh banyak negara.
Isu
Terorisme Global: Kebijakan Luar Negeri, Implementasi, dan Kendala
Isu
terorisme telah menjadi tantangan kebijakan luar negeri Indonesia terutama
sejak muncul pertama kali menjadi isu global, yaitu setelah adanya tragedi
penyerangan terhadap menara kembar World Trade Center dan gedung Pentagon di
Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Tantangan utamanya terletak pada
penentuan pilihan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri yang seimbang di antara
tekanan domestik dan internasional terkait isu terorisme internasional tanpa
mengorbankankan kepentingan nasional. Peristiwa tersebut juga menandai lahirnya
tatanan politik dunia yang bercirikan dengan meningkatnya ancaman keamanan
nontradisional yaitu terorisme. Setelah peristiwa Bom Bali 2002 telah menjadi
titik balik perspektif pemerintah Indonesia akan sekuritisasi isu terorisme yang
sebelumnya terabaikan. Maraknya aksi-aksi terorisme yang terjadi di dalam
negeri menegaskan akan realitas nyata ancaman terorisme bagi kepentingan
nasional. Peristiwa tersebut terbukti memiliki dampak yang luas terhadap
seluruh aspek kehidupan nasional. Tidak saja mengancam stabilitas sosial ekonomi
dan politik keamanan dalam negeri, tetapi juga mempengaruhi hubungan Indonesia dengan
negara-negara lain.
Citra negatif ini tentu merugikan
kepentingan nasional Indonesia yang saat itu tengah berjuang untuk mendapatkan
dukungan internasional atas upaya pemulihan ekonomi akibat imbas krisis moneter
tahun 1997. Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar
untuk menanggulangi ancaman terorisme. Isu terorisme yang sebelumnya tidak
menjadi fokus dalam kebijakan luar negeri, pada akhirnya sejak peristiwa Bom
Bali I 2002 menjadi salah satu agenda penting dalam hubungan luar negeri
Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dalam pelaksanaan politik luar negerinya
dengan terus menggunakan berbagai upaya kerja sama dengan negara-negara lain
secara bilateral, regional dan multilateral untuk mengatasi ancaman terorisme.
Untuk
memperkuat diplomasi anti terorisme tersebut, pemerintah Indonesia juga
melakukan upaya-upaya penanggulangan terorisme di dalam negeri, yaitu dengan
penguatan legal formal, institusional, dan praksis. Secara legal formal,
Indonesia telah berupaya memperkuat regulasi nasional dengan membuat berbagai peraturan
perundangan baru dan meratifikasi 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) konvenan internasional
terkait terorisme. Sedangkan secara kelembagaan, Indonesia membentuk badan
khusus untuk menanggulangi terorisme, yaitu antara lain Densus 88 dan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain itu, Indonesia melakukan
langkah-langkah praksis untuk melawan terorisme, yaitu melalui upaya penegakan
hukum secara efektif terhadap para pelaku terorisme di dalam negeri. Mereka
ditangkap, diproses di pengadilan dan dipenjarakan.
Indonesia
secara bilateral melakukan kerja sama kontraterorisme dengan banyak negara dan
salah satu diantaranya adalah dengan AS dan Australia. Kerja sama tersebut
dapat dikatakan cukup unik dibandingkan dengan kerja sama bilateral lainnya yang
digalang Indonesia dalam pemberantasan terorisme. Hal ini karena Indonesia, AS
dan Australia merupakan ketiga negara yang sama-sama pernah menjadi korban
aksi-aksi terorisme. Dalam rangka kerja sama bilateral dengan AS dan Australia
di atas, Indonesia sering kali secara keras berhadapan pada tekanan domestik
dan internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negeri-nya. Hanya saja,
tekanan domestik ini terlihat lebih terasa pada masa pemerintahan Presiden
Republik Indonesia (RI) Megawati Soekarnoputri dibandingkan pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berbagai bentuk kerja sama
bilateral Indonesia dengan Australia dan AS dalam memerangi terorisme pada
gilirannya menumbuhkan rasa saling percaya dan meningkatkan intensitas hubungan
mereka. Kedua negara tersebut semakin menaruh perhatian kepada Indonesia dalam
upayanya melawan terorisme. Ini terlihat dari kebijakan kedua negara untuk
memberi bantuan-bantuan yang sifatnya teknis, seperti kerja sama di bidang
pertukaran informasi dan intelijen, di bidang pendidikan dan pelatihan, dan
kerja sama di bidang pembangunan kapasitas kelembagaan.
Berbeda
dengan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap AS dalam soal kontraterorisme di
atas, tekanan internal dan eksternal dalam kebijakan luar negeri Indonesia
terhadap Australia terkait dengan kontra terorisme tidak begitu kuat. Yang
terjadi adalah Australia yang dianggap sebagai sekutu kuat AS justru menjadi sasaran
dalam berbagai serangan bom di tanah air. Kerja sama antara Indonesia dan
Australia dilakukan baik pada masa Megawati dan SBY. Dalam konteks kerja sama
regional, pemerintah Indonesia telah menempatkan ASEAN sebagai bagian penting
dalam upaya penanggulangannya terhadap ancaman terorisme. Terorisme sebenarnya
bukan merupakan isu baru di kawasan Asia Tenggara. Persoalan ini pada awalnya
hanya dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional, seperti
halnya penyelundupan obat-obatan dan penjualan senjata ilegal. Namun, dua isu
yang terakhir tersebut selama ini dipandang sebagai persoalan yang lebih
krusial bagi negara-negara di Asia Tenggara dibandingkan isu terorisme. Pandangan
tersebut pada akhirnya berubah total sejak tragedi 9/11 dan Bom Bom I 2002, dimana
isu terorisme ini mulai menjadi perhatian negara-negara di kawasan.
Sekalipun
ada komitmen bersama di ASEAN untuk menanggulangi terorisme melalui kerja sama
regional, faktanya ASEAN masih memiliki sejumlah kendala dalam pelaksanaan
kerja sama tersebut. Salah satunya adalah ketiadaan definisi yang disepakati bersama mengenai terorisme.
Setiap negara anggota ASEAN memiliki perspektif masing-masing terhadap terorisme.
Kondisi ini mungkin sebagai akibat dari perbedaan latar belakang pengalaman yang
mempengaruhi cara pandang masing-masing negara anggota dalam memahami terorisme.
Kendala lain dalam kerja sama regional ASEAN untuk penanggulangan terorisme
terletak pada belum efektifnya mekanisme Komunitas Politik Keamanan ASEAN
sebagai bagian dari pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Selain itu, kendala dalam
kerja sama regional ASEAN untuk penanggulangan terorisme terletak pada
karakteristik kerja sama regional yang lebih bersifat teknis dan fungsional
serta bukan norm-setting. Prinsip-prinsip dan substansi yang digunakan dalam
kerja sama regional ASEAN dalam penanggulangan terorisme ini harus selalu
mengacu pada kesepakatan di tingkat internasional.
Dalam lingkup kerja sama
multilateral, kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanggulangan terorisme
tidak lepas dari dinamika yang terjadi akibat diadopsinya Resolusi 1269 (1999)
dan Resolusi 1373 (2001) yang menggerakkan banyak negara untuk menjadi
penandatangan. Indonesia terus mendukung langkah-langkah PBB dan berperan aktif
dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional khususnya
dalam rangka pencegahan, penumpasan, dan pemberantasan terorisme. Salah satu
wujud dukungan itu antara lain keanggotaan Indonesia dalam Komite Kontra Terorisme
(Counter Terrorism Committee/CTC) yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
PBB Nomor 1373 Tahun 2001. Hal lain yang penting untuk dicatat dalam kerja sama
multilateral di atas, Indonesia mendukung penuh peran Majelis Umum (MU) yang
secara kelembagaan merupakan norm-setting PBB.
Penutup
Kesungguhan
dan kerja keras pemerintah dalam upaya mengatasi ancaman dan bahaya terorisme telah
membuahkan hasil yang positif. Hal ini ditandai dengan adanya apresiasi tinggi
dari masyarakat internasional terhadap Indonesia, yang antara lain ditunjang
oleh pihak keamanan Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam kiprahnya menangani
terorisme tersebut mampu memperkuat postur politik luar negeri Republik Indonesia.
Penguatan postur tersebut digunakan Indonesia untuk didalam meningkatkan daya tawar
dalam hubungannya dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Selain itu, kiprah aktif Indonesia membuktikan
bahwa mekanisme kerja sama bilateral, regional dan multilateral yang telah ditata
sebelumnya melalui proses diplomasi ternyata telah mendatangkan manfaat yang
besar.
No comments:
Post a Comment