Sunday, August 19, 2018

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ISU TERORISME INTERNASIONAL


POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI
ISU TERORISME INTERNASIONAL
            Terorisme adalah suatu kejadian yang pada saatini bukanlah hal yang yang baru, melainkan sebuah kejadian yang sudah sangat sering disebutkan. Hal tersebut dapat terlihat ketika kita mengingat pada awalnya yang berkejadian pada Amerika Serikat, ketika World Trade Centre (WTC) di serang pada 11 September 2001. Terorisme sendiri pun memiliki berasangkutan dengan karakter-karakter agamis, yang mana jika ada sebuah kejidian yang bersangkutan dengan terorisme, agama yang ditujukan dalam kejadian tersebut. Kejadian terorisme tersebut memunculkan kebijakan yang bertujuan untuk memerangi terorismeyang disebut Global War againts Terrorism.
            Mengingat kejadian-ejadian terorisme terutama yang terjadi pada tanggal 11 September 2001 tersebut, Indonesia sangat responsif dalam menanggapinya. Hal tersebut tertulis ketika Presiden Indonesia Megawati Soekarno Putri mengirimkan surat kepada Presiden Amerika Serikat George W. Bush atas duka cita Indonesia terhadap pa yang terjadi di Amerika Serikat, dan juga selain duka cita, di dalam surat tersebut Indonesia menuliskan tentang pengecaman Indonesia dengan mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan yang tidak berprikemanusiaan.
            Pada kunjungan Preside Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, ia juga mengatakan bahwa sesungguhnya belum menentukan sikap tegasnya dalam kaitannya dengan kebijakan global AS untuk memerangi terorisme. Namun, hal ini tidak berarti Indonesia bersikap pasif dalam merespons persoalan terorisme. Lima belas hari setelah tragedi 9/11, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pencegahan Sumber Finansial Terorisme (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999). Selain untuk memperkuat payung hukum isu terorisme di level internasional, penandatangan tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sikap Indonesia yang menghormati dan mengedepankan mekanisme multilateral dalam memerangi terorisme daripada aksi unilateral AS.
            Pada awalnya Indonesia tidak begitu menghiraukan tentang isu-isu terorisme yang ada, hal tersebut disebabkan Indonesia tidak merasakan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan terorisme. Walaupun ada beberapa kegiatan seperti yang terjadi pada Papus dan Aceh, hal tersebut di anggap bahwa kedua hal tersebut adalah sebuah permasalahan paling fatal bagi isu keamanan negara, dan keduanya bukanlah termasuk dari terorisme. Pernyataan tersebut juga sangat didukung oleh Wakil Presiden Indonesi pada saat itu yaitu Hamzah Haz. Maka dari itu isu isu tentang terorisme bukanlah suata ancaman bagi Indonesia.
            Pada akhirnya Indonesia terkena bencana terorisme yang menargetkan berbagi macam tempat penting yang berada di tengah keramaian seperti Bom Hotel J. W. Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Bali II (2005) dan Bom J.W.Marriot-Ritz Carlton (2009). Pengeboman tersebut lah yang menguatkan tekad Indonesia bahwa isu terorisme sudah mulai merambak di dalam negeri. Hal tersebut menyebabkan berbagai kebijakan Indonesia pun muncul demi mencegah dan menanggulangi kejadian pengeboman yang disakutkan dengan kasus terorisme.
            Demi mencegah terjadinya kasus terorisme yang adai di Indonesia, maka terbentuklah lembaga-lembaga yang mengatasi hal berbau terorisme, seperti dibentuknya Densus 88 yang berdiri pada tahun 2004 dan juga Badan Nasional Penaggulangan Terorisme yang dibentuk pada tahun 2010. Pada beberapa tahun setelah terbentuknya BNPT tersebut, kepala BNPT menyatakan bahwa BNPT ya diketuai olehnya telah menangkap lebih dari 500 terorisme yang ada di Indonesia. Kasus-asus terorisme yang ada di Indonesia diperkirakan memiliki jaringan-jaringan terorisme dengan jaringan terorisme yang ada di kalngan Internasional. Maka pada ASEAN pun Indonesia lebih diperhatikan dan diawasi demi menjaga kelangsungan kedamaian dunia terutama di daerah ASEAN.
            Dalam lingkup kerja sama multilateral, Indonesia mendukung langkah-langkah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berperan aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional khususnya dalam rangka penegakan hukum, dan berbagai langkah pencegahan, penumpasan, pemberantasan terorisme serta keamanan internasional. Salah satu wujud dukungan itu antara lain dalam Counter-Terrorism Committee (CTC) yang dibentuk berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1373 Tahun 2001. Dalam rangka menindaklajuti pemenuhan kewajibannya sebagai bagian dari CTC, pemerintah Indonesia membuat laporan capaian upaya penanggulangan terorisme setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi 7 dari 16 konvensi internasional dan protokol dalam isu terorisme.
            Di dalam upaya penanggulangan terorisme di atas, kebijakan luar negeri Indonesia dilandaskan pada beberapa pilar strategi. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa di Symposium on International Counter-Terrorism Cooperation yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal PBB di New York pada 19 September 2011, pilar-pilar strategi tersebut adalah sebagai berikut: pertama, upaya nasional dan regional harus sejalan dengan upaya global; kedua, perang melawan terorisme harus diarahkan pada akar terorisme itu sendiri; ketiga, demi mencapai upaya jangka panjang, penggunaan soft power menjadi sangat esensial; dan keempat, upaya untuk menanggulangi terorisme harus sesuai dengan prinsip demokrasi.
Terorisme dalam Prespektif Teoritik Hubungan Internasional
            Tindakan terorisme sendiri dapat didefinisikan dari berbagaisegi, yaitu antara lain sebagai kriminalitas, sebagai kekerasan politik (political violence), sebagai bentuk strategi perang, sebagai bentuk komunikasi, dan sebagai perang suci berlandaskan agama. Sedangkan berdasarkan peristilahannya (etimologi), teror sendiri berasal dari bahasa Latin “terrere” yang berarti “menakut-nakuti” yang diserap ke dalam bahasa Prancis dan selanjutnya digunakan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1528.
            Pada saat itu, untuk menanggulangi ancaman kubu monarkis, Maximilien Robespierre memerintahkan eksekusi massal 17.000 tahanan untuk memberikan efek jera kepada lawan politiknya. Pemerintahan gaya Robespierre ini yang kemudian dikenal dengan “rejim teror”. Penggunaan istilah teror kemudian berkembang dengan dilekatkan pada kelompok nonnegara pada saat kelompok anarkis Perancis dan Rusia melakukan hal serupa dalam melawan pemerintah yang berkuasa. Karakteristik lainnya dari terorisme saat ini terkait erat dengan globalisasi. Selain kemudahan dalam akses dalam informasi dan teknologi, fenomena globalisasi identik dengan penyebaran nilai-nilai Barat yang liberal. Proses globalisasi yang melintasi batas-batas negara dan membawa konsekuensi politik dan ekonomi telah mendorong munculnya budaya pasar yang berorientasi pada kepentingan dan keuntungan pribadi yang koruptif sehingga meminggirkan komunitas-komunitas tradisional.
            Sementara pendapat dari Benjamin Barber terkait dengan persoalan keyakinan agama yang menjadi pendorong terorisme, dianggap merupakan persoalan keterasingan identitas yang berujung pada radikalisme. Amartya Sen berpendapat lain atas persoalan identitas tersebut dengan melihat problem kemiskinan dan mobilitas sosial sebagai akar radikalisme yang berkembang menjadi terorisme. Cornelia Beyer yang mengusung pendapat Johan Galtung tentang kekerasan sturuktural, menilai bahwa kekerasan struktural yang hadir dalam bentuk baru seperti “invasi” kultural dan interaksi yang tidak simetris dengan adanya intervensi politik yang tidak menghormati norma kedaulatan internasional menjadi sebab terorisme menjadi solusi bagi pelaku tindak teror.
            Penanganan terorisme internasional saat ini menunjukkan kebaruannya dengan mempertimbangkan adanya perubahan karakter konflik yang asimetris. Aktor yang saling berkonflik dalam konteks kekinian tidak selalu negara yang menjadi aktor utama seperti paradigma Realisme dalam studi Hubungan Internasional, namun juga melibatkan aktor non-negara, yaitu seperti teroris yang dalam versi AS adalah jaringan Al Qaeda. Sementara itu, dalam sudut pandang akademik dan norma hubungan internasional, isu terorisme mencuatkan kembali pertanyaan atas norma mendasar hubungan antara negara, yaitu kedaulatan. Selain itu, perkembangan isu terorisme internasional mutakhir membuka isu masih lemahnya rejim internasional dalam isu ini. Hal ini dapat dicermati dari kesulitan yang terjadi saat negara-negara yang secara normatif mengutuk aksi teroris untuk dapat bekerja sama secara multilateral. Hal itu dapat dilihat dari kesulitan upaya definisi hukum atas terorisme yang dapat dijadikan rujukan bersama oleh banyak negara.
Isu Terorisme Global: Kebijakan Luar Negeri, Implementasi, dan Kendala
            Isu terorisme telah menjadi tantangan kebijakan luar negeri Indonesia terutama sejak muncul pertama kali menjadi isu global, yaitu setelah adanya tragedi penyerangan terhadap menara kembar World Trade Center dan gedung Pentagon di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Tantangan utamanya terletak pada penentuan pilihan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri yang seimbang di antara tekanan domestik dan internasional terkait isu terorisme internasional tanpa mengorbankankan kepentingan nasional. Peristiwa tersebut juga menandai lahirnya tatanan politik dunia yang bercirikan dengan meningkatnya ancaman keamanan nontradisional yaitu terorisme. Setelah peristiwa Bom Bali 2002 telah menjadi titik balik perspektif pemerintah Indonesia akan sekuritisasi isu terorisme yang sebelumnya terabaikan. Maraknya aksi-aksi terorisme yang terjadi di dalam negeri menegaskan akan realitas nyata ancaman terorisme bagi kepentingan nasional. Peristiwa tersebut terbukti memiliki dampak yang luas terhadap seluruh aspek kehidupan nasional. Tidak saja mengancam stabilitas sosial ekonomi dan politik keamanan dalam negeri, tetapi juga mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain.
            Citra negatif ini tentu merugikan kepentingan nasional Indonesia yang saat itu tengah berjuang untuk mendapatkan dukungan internasional atas upaya pemulihan ekonomi akibat imbas krisis moneter tahun 1997. Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar untuk menanggulangi ancaman terorisme. Isu terorisme yang sebelumnya tidak menjadi fokus dalam kebijakan luar negeri, pada akhirnya sejak peristiwa Bom Bali I 2002 menjadi salah satu agenda penting dalam hubungan luar negeri Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dalam pelaksanaan politik luar negerinya dengan terus menggunakan berbagai upaya kerja sama dengan negara-negara lain secara bilateral, regional dan multilateral untuk mengatasi ancaman terorisme.
Untuk memperkuat diplomasi anti terorisme tersebut, pemerintah Indonesia juga melakukan upaya-upaya penanggulangan terorisme di dalam negeri, yaitu dengan penguatan legal formal, institusional, dan praksis. Secara legal formal, Indonesia telah berupaya memperkuat regulasi nasional dengan membuat berbagai peraturan perundangan baru dan meratifikasi 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) konvenan internasional terkait terorisme. Sedangkan secara kelembagaan, Indonesia membentuk badan khusus untuk menanggulangi terorisme, yaitu antara lain Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain itu, Indonesia melakukan langkah-langkah praksis untuk melawan terorisme, yaitu melalui upaya penegakan hukum secara efektif terhadap para pelaku terorisme di dalam negeri. Mereka ditangkap, diproses di pengadilan dan dipenjarakan.
Indonesia secara bilateral melakukan kerja sama kontraterorisme dengan banyak negara dan salah satu diantaranya adalah dengan AS dan Australia. Kerja sama tersebut dapat dikatakan cukup unik dibandingkan dengan kerja sama bilateral lainnya yang digalang Indonesia dalam pemberantasan terorisme. Hal ini karena Indonesia, AS dan Australia merupakan ketiga negara yang sama-sama pernah menjadi korban aksi-aksi terorisme. Dalam rangka kerja sama bilateral dengan AS dan Australia di atas, Indonesia sering kali secara keras berhadapan pada tekanan domestik dan internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negeri-nya. Hanya saja, tekanan domestik ini terlihat lebih terasa pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia (RI) Megawati Soekarnoputri dibandingkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berbagai bentuk kerja sama bilateral Indonesia dengan Australia dan AS dalam memerangi terorisme pada gilirannya menumbuhkan rasa saling percaya dan meningkatkan intensitas hubungan mereka. Kedua negara tersebut semakin menaruh perhatian kepada Indonesia dalam upayanya melawan terorisme. Ini terlihat dari kebijakan kedua negara untuk memberi bantuan-bantuan yang sifatnya teknis, seperti kerja sama di bidang pertukaran informasi dan intelijen, di bidang pendidikan dan pelatihan, dan kerja sama di bidang pembangunan kapasitas kelembagaan.
Berbeda dengan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap AS dalam soal kontraterorisme di atas, tekanan internal dan eksternal dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Australia terkait dengan kontra terorisme tidak begitu kuat. Yang terjadi adalah Australia yang dianggap sebagai sekutu kuat AS justru menjadi sasaran dalam berbagai serangan bom di tanah air. Kerja sama antara Indonesia dan Australia dilakukan baik pada masa Megawati dan SBY. Dalam konteks kerja sama regional, pemerintah Indonesia telah menempatkan ASEAN sebagai bagian penting dalam upaya penanggulangannya terhadap ancaman terorisme. Terorisme sebenarnya bukan merupakan isu baru di kawasan Asia Tenggara. Persoalan ini pada awalnya hanya dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional, seperti halnya penyelundupan obat-obatan dan penjualan senjata ilegal. Namun, dua isu yang terakhir tersebut selama ini dipandang sebagai persoalan yang lebih krusial bagi negara-negara di Asia Tenggara dibandingkan isu terorisme. Pandangan tersebut pada akhirnya berubah total sejak tragedi 9/11 dan Bom Bom I 2002, dimana isu terorisme ini mulai menjadi perhatian negara-negara di kawasan.
Sekalipun ada komitmen bersama di ASEAN untuk menanggulangi terorisme melalui kerja sama regional, faktanya ASEAN masih memiliki sejumlah kendala dalam pelaksanaan kerja sama tersebut. Salah satunya adalah ketiadaan  definisi yang disepakati bersama mengenai terorisme. Setiap negara anggota ASEAN memiliki perspektif masing-masing terhadap terorisme. Kondisi ini mungkin sebagai akibat dari perbedaan latar belakang pengalaman yang mempengaruhi cara pandang masing-masing negara anggota dalam memahami terorisme. Kendala lain dalam kerja sama regional ASEAN untuk penanggulangan terorisme terletak pada belum efektifnya mekanisme Komunitas Politik Keamanan ASEAN sebagai bagian dari pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Selain itu, kendala dalam kerja sama regional ASEAN untuk penanggulangan terorisme terletak pada karakteristik kerja sama regional yang lebih bersifat teknis dan fungsional serta bukan norm-setting. Prinsip-prinsip dan substansi yang digunakan dalam kerja sama regional ASEAN dalam penanggulangan terorisme ini harus selalu mengacu pada kesepakatan di tingkat internasional.
Dalam lingkup kerja sama multilateral, kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanggulangan terorisme tidak lepas dari dinamika yang terjadi akibat diadopsinya Resolusi 1269 (1999) dan Resolusi 1373 (2001) yang menggerakkan banyak negara untuk menjadi penandatangan. Indonesia terus mendukung langkah-langkah PBB dan berperan aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional khususnya dalam rangka pencegahan, penumpasan, dan pemberantasan terorisme. Salah satu wujud dukungan itu antara lain keanggotaan Indonesia dalam Komite Kontra Terorisme (Counter Terrorism Committee/CTC) yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001. Hal lain yang penting untuk dicatat dalam kerja sama multilateral di atas, Indonesia mendukung penuh peran Majelis Umum (MU) yang secara kelembagaan merupakan norm-setting PBB.
Penutup
            Kesungguhan dan kerja keras pemerintah dalam upaya mengatasi ancaman dan bahaya terorisme telah membuahkan hasil yang positif. Hal ini ditandai dengan adanya apresiasi tinggi dari masyarakat internasional terhadap Indonesia, yang antara lain ditunjang oleh pihak keamanan Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam kiprahnya menangani terorisme tersebut mampu memperkuat postur politik luar negeri Republik Indonesia. Penguatan postur tersebut digunakan Indonesia untuk didalam meningkatkan daya tawar dalam hubungannya dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Selain itu, kiprah aktif Indonesia membuktikan bahwa mekanisme kerja sama bilateral, regional dan multilateral yang telah ditata sebelumnya melalui proses diplomasi ternyata telah mendatangkan manfaat yang besar.


No comments:

Post a Comment

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...