Tuesday, August 21, 2018

SEJARAH GATT SAMPAI BERTRANSFORMASI MENJADI WTO


Pada akhir Perang Dunia II, dunia perekomian internasional berubah menjadi suatu entitas yang makin luas dan kompleks.Hal ini disebabkan oleh semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan liberalisme perdagangan yang mulai diterapkan oleh beberapa negara maju untuk saling menjalin kerjasama perdagangan antar satu dan lainnya.Kompleksitas dan makin dinamisnya perdagangan dan moneter internasional membentuk suatu gagasan pendirian suatu organisasi perekonomian yang mendaulati terbentuknya International Monetary Fund (IMF).IMF kemudian membentuk suau badan khusus yakni General Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang berfokus menyelesaikan dan mengatur persoalan perdagangan. Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan International Trade Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3 (tiga) kerangka Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank. GATT sebenarnya hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi isi dari Havana Charter mengenai pembentukan International Trade Organization (ITO) pada tahun 1947, yaitu Chapter IV: Commercial Policy. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah sebagai suatu persetujuan internasional yang mengatur mengenai tarif tarif perdagangan yang dirumuskan di Jenewa, Swiss. GATT ini didirikan pada tahun 1948.Pembentukan GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai perdagangan internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran serta diskriminasi dalam perdagangan internasional tersebut.Namun, GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa yang terjadi saat itu.Hal ini disebabkan oleh sifat ad-hoc yang diusung oleh rezim tersebut. Namun, dibalik kelemahan rezim tersebut terdapat adanya perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade serta rezim mengusung transparansi dan kompetitifitas yang mewajibkan setiap negara untuk mengetahui kebijakan negara lain. Karena rezim ini berprinsip most favored nations (MFN). Namun International Trade Organization (ITO) tidak berhasil didirikan, walaupun Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani oleh 53 negara pada Maret 1948.Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat menolak untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika Serikat khawatir wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat semakin berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai perjanjian sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application sampai Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai badan pelaksana GATT adalah Committee-ITO/GATT yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. 

Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin agar negara-negara peserta (Contracting parties) GATT mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang pembentukan suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi fungsi sistem GATT ini adalah:
 • Meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh contracting parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan internasional. • Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang menangani masalah perdagangan
• Meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan keuangan. Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan lebih dari 120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994, disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO. Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO, dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal 9-14 November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama menjadi WTO tahun 1995. Disebapkan rezim GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa, pada tahun 1955 para anggota rezim tersebut menginginkan adanya perubahan dalam rezim tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade secara resmi berubah menjadi WTO atau World Trade Organization yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral dalamUruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO atau World Trade Organization ini diharapkan mampu memperlancar arus perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para negara anggota rezim tersebut.Namun, dalam rezim WTO atau World Trade Organization ini, negara – negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena rezim ini didominasi oleh negara – negara barat yang mampu merealisasikan interest mereka dalam rezim ini.Hegemoni Amerika Serikat tak dapat dipungkiri sebagai aktor dibalik perubahan rezim tersebut (Ford 2002). Berikut ini beberapa hal yang kemudian menjadi kelemahan GATT sehingga posisinya digantikan oleh WTO: 
Ø Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya berfokus pada arus jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau pada perdagangan jasa yang sama- sama termasuk ke dalam aktifitas perdagangan. 
Ø GATT tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu. 
Ø Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh GATT tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota. 

Akan tetapi berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan dalam rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan perdagangan antara lain: 1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya sejak PD II berakhir, negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat menginginkan adanya suatu bentuk sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan komprehensif untuk membangun ekonomi dunia yang hancur akibat perang. Pada tahun 1947 di Geneva diadakan perundingan perumusan perjanjian GATT yang menetapkan penurunan 45.000 jenis tarif dengan nilai 10 miliar dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara. 2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang lebih dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini, telah disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33 negara. 3. 1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi 5,500 jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara. 4. 1955-1956: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Jenewa” yang diselenggarakan di Kota Jenewa di mana disepakati untuk meratifikasi sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 2,5 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 5. 1960-1961: Pada periode ini berlangsung Perundingan yang lebih dikenal sebagai “Putaran Dillon”, yang diselenggarakan di Kota Jenewa, putaran GATT kali ini diikuti oleh 45 negara yang menghasilkan kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara.
6. 1964-1967: Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran Kennedy”, yang diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati penurunan sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40 miliar dolar AS dan kesepakatan anti-dumping yang diikuti 48 negara.
7. 1973-1979: Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”, Jepang dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155 miliar dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara.
8. 1986-1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan perundingan di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este. Perundingan kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan non-tarif sejumlah komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa dalam perdagangan dunia. Di tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan aktifnya dalam putaran GATT ini dengan ditariknya suatu konklusi bahwa Indonesia harus mengubah haluan dari orientasi yang berbasis impor ke arah strategi orientasi ekspor.
9. 1988: Pada bulan Desember tahun 1988 di Montreal, Kanada telah diadakan pertemuan tingkat meneteri yang dikenal sebagai Mid-Term Ministerial Meetinguntuk mereview kembali beberapa poin yang telah dicapai dalam perundingan sebelumnya. Pada sidang tersebut telah dicapai kemajuan pada 11 bidang kecuali pertanian. Dalam periode ini, Indonesia mulai memainkan peranan aktifnya dalam Putaran Uruguay.
10. 1989: Perundingan ini diselenggarakan pada April 1989 untuk meneruskan kembali kemaetan perundingan pada putaran sebelumnya yang deadlock pada masalah pertanian.  
11. 1990: Pada bulan Desember 1990 di Brussel, telah diselenggarakan sidang tingkat menteri. Namun, kali ini tidak dihasilkan kesepakatan apapun, karena Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai negara utama menolak untuk meratitikasi bidang pertaniannya. Dengan demikian, perundingan pada semua bidang mencapai deadlock.
12. 1991: Pada bulan Desember 1991, Direktorat Jenderal GATT selalu ketua Trade Negotiations Committee (TNC) pada tingkat pejabat tinggi telah menyerahkan Draft Final Act sebagai hasil akhir dari Uruguay Round.
13. 1992-1993: Pada tanggal Januari 1992, TNC bersidang untuk menampung reaksi negara-negara peserta dan menentukan langkah selanjutnya dalam perundingan. Negara-negara perserta menyatakan kesulitannya untuk menerapkan DFA pada berbagai bidang termasuk kewajiban menghapus subsidi pertanian dan sistem proteksi atas beberapa jenis komoditas. Dalam perundingan yang berlangsung di Jenewa ini, telah dilakukan pembahasan antara lain; tariff dan non-tarif, perdagangan jasa, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta), komoditas tekstil, serta pertanian. Dalam periode ini juga telah disepakati untuk membentuk kerangka kerja WTO yang merupakan kelanjutan dari GATT. Pada tanggal 14 Desember 1993, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mulai membuka akses pasar secara bertahap pada sector telekomunikasi, industri, angkutan laut, turisme dan jasa keuangan.
14. 1994: Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh tercapai kesepakatan mengenai hasil perundingan dari Putaran Uruguay sebagai suatu paket yang ditandatangani oleh Negara peserta yang kemudian melahirkan WTO. Sementara dalam tahun yang sama, Indonesia telah menyelesaikan prosedur ratifikasi dengan DPR pada bulan Oktober 1994. Sehingga Indonesia siap memberlakukan kewajiban perjanjian sesuai ketentuan dalam perjanjian tersebut, antara lain; perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, perdagangan jasa, turisme, telekomunikasi, dan beberapa sektor lain. Perubahan GATT menjadi WTO membawa fase baru.WTO menjadi suatu badan yang mengurusi perdagangan dunia lebih kompleks dan efektif dibanding GATT.WTO memberikan fokus yang besar bagi perdagangan seluruh sektor, termasuk barang dan jasa. Selain itu WTO juga terdiri dari anggota yang tetap , dimana keanggotaan suau negara melibatkan keputusan dari parlemen negara bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan status WTO yang sebagai organisasi internasional.Sebagai suatu organisasi internasional, WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk dipatuhi.Hal ini kemudian mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh negara- negara anggota serta perdagangan internasional. Dalam stuktur organisasinya, WTO terdiri dari direktur jendral, deputi direktur jendral, dan sekretariat yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet, 2003). Aktivitas WTO sendiri, meliputi pengadaan pertemuan antara perwakilan negara anggota dengan agenda meregulasi kembali sistem perdagangan yang ada. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO disini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya. (Peet, 2003).Sikap netral yang dipegang oleh WTO, membuat WTO sebagai suatu forum yang tidak memiliki kapasitas lebih dalam memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi negara-negara.

WTO merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia dalam membicarakan perdagangan internasional, dan juga memberikan bantuan internasional untuk meningkatkan kemajuan perdagangan negara-negara anggotanya. Hingga saat ini WTO beranggotakan 160 negara.Jumlah ini telah mewakili sebanyak 97% perdagangan yang ada di dunia.Dua pertiga dari jumlah keseluruhan negara anggota WTO terdiri dari negara berkembang.Status negara berkembang sendiri ditentukkan oleh masing- masing negara bukan oleh WTO ataupun negara anggota lainnya.Proporsi ini kemudian berkaitan dengan sistem pemngutan suara yang diterapkan oleh WTO. WTO menerapkan prinsip konsensus, melalui pemungutan suara atau voting. Sistem voting yang ada didasrkan pada persentase keikutsertaan suatu negara dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh, adalah Amerika Serikat yang memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara (Peet, 2003). Dalam sejarah terbentuknya, WTO terus menerus mengundang pro dan kontra dari dunia internasional. Banyak negara beranggapan bahwa WTO merupakan organisasi bentukan barat yang setuju akan aliran perekonomian kapitalis dan membawa negara berkembang tertindas dalam lingkaran kapitalisme barat. Prinsip dasar WTO yang mendukung liberalisme perdagangan dianggap para kaum kritik sebagai keberpihakan pada negara- negara maju saja, dan tidak menghiraukan negara berkembang. Prinsip keadilan perdagangan (fair-trade) dinilai hanya adil bagi negara maju saja, tidak bagi negara miskin dan berkembang. Keadilan berlaku bagi negara- negara yang menerapkan perekonomian bebas, seperti yang tercantum dalam asas liberalisme ekonomi. Kritik lain juga menyebutkan mengenai ketidaksesuaian aturan yang dikeluarkan oleh WTO dengan kenyataan kondisi dunia internasional. Hal ini terjadi pada Meksiko, dimana keuntungan yang diraih oleh negaranya tidak sebanyak perdagangan yang dilakukan.Namun berbeda dengan Taiwan yang mendapatkan banyak keuntungan walaupun sedikit melakukan kegiatan perdagangan dan tidak mendapat investasi asing yang begitu besar. Perubahan dalam rezim perdagangan internasional tersebut dapat dipaahami melalui beberapa pendekatan.Pertama, pendekatan tradisional.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim adalah alat negara dan kekuatan kelas.Rezim tersebut dapat membantu negara dalam merealisasikan kepentingan negara tersebut serta menjadi penengah dalam fenomena rezim tersebut.Karena didasari oleh materi, hal ini menyebabkan peran negara bermateri kuat tersebut lebih besar dibanding dengan negara bermateri lemah.Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menjelaskan peran negara berkembang dalam memperkuat rezim perdagangan internasional multirateral tersebut.Serta pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa semua terjadinya perubahan turut serta berpengaruh dalam perubahan agen melalui tindakan dan struktur interaksi yang didasari oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai aktor (Ford 2002).Kedua, pendekatan strukturalis.Pendekatan ini berpendapat bahwa negara hegemon memiliki kekuatan besar dalam perubahan rezim.Pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh neorealis dan neomarxis.Neorealis mengungkapkan bahwa perubahan rezim merupakan alat bagi negara hegemon untuk mencapai kepentingan nasional serta keuntungan ekonomi.Sementara neomarxis mengungkapkan bahwa kapitalisme global sebagai pendukung rezim perdagangan internasional. Negara hegemon berusaha mati-matian untuk memperoleh kepentingan mereka, namun ia mengorbankan negara lain dengan kedok kemaslahatan bersama atau universal. Inilah yang menjadi kelemahan pendekatan strukturalis.Ketiga, pendekatan neoliberalisme.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim sebagai alat negara dan sebagai ekspresi dari kepentingan negara tersebut.Kepentingan negara yang dimaksud oleh pendekatan neoliberalisme adalah kepentingan Negara-negara yang menciptakan rezim tersebut. Sehingga rezim digunakan sebagai perwujudan norma yang memfasilitasi kerja sama, menyediakan informasi, dan lain-lain. Sehingga negara anggota rezim yang tidak termasuk dalam rezim tersebut kurang terealisasikan kepentingan nasionalnya. Jadi, rezim perdagangan internasional adalah sebuah distribusi ide secara kolektif mengenai perdagangan internasional yang mengatur mengenai perilaku dalam perdagangan bebas tersebut serta menjelaskan mengenai peran negara sebagai aktor (Ford 2002). Perubahan dari rezim perdagangan internasional dari GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade, menjadi WTO atau World Trade Organization menunjukkan bahwa perdagangan internasional berkembang secara pesat sehingga distribusi barang-barang ke berbagai negara dapat dilaksanakan dengan mudah. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisa perubahan dalam rezim internasional tersebut pasti memiliki kelemahan.Karena setiap pendekatan dalam Hubungan Internasional bersifat pelengkap kekurangan dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada sebelumnya dengan sudut pandang yang dimiliki oleh para pemikir pendekatan tersebut sehingga menyebabkan keragaman dalam pendekatan dalam Hubungan Internasional. Pada tahun 1995Sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay, maka pada tanggal 1 Januari 1995 di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues, antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related investment measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komiditas tekstil, produk pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO, yaitu: 
(1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, 
(2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, 
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan; 
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan 
(5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. 

Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO memiliki alat untuk memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya. Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan GATT 1948 sampai terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8 (delapan) putaran perundingan perdagangan multilateral yakni Jenewa 1 Januari 1995, Singapura, 9 - 13 Desember 1996, Jenewa, 18 - 20 Mei 1998, Seattle, 30 November - 3 Desember 1999, Doha, 9 - 13 November 2001, Cancun, 10 - 14 September 2003, Jenewa, 30 November - 2 Desember 2009, Jenewa, 15-17 Desember 2011 dimana putaran perundingan kali ini, yaitu Doha Development Agenda (DDA) atau Doha Round prosesnya memakan waktu paling lama, dan sampai saat ini belum berhasil diselesaikan. Putaran Uruguay yang dipandang paling luas cakupannya bisa diselesaikan dalam waktu sekitar 9 (sembilan) tahun. Perjalanan panjang dalam menata sistem perdagangan multilateral sejak 1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi hambatan perdagangan melalui sejumlah ketentuan yang diperlukan.Pada waktu Putaran Kennedy, disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan hambatan tariff. Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan sejumlah ketentuan GATT dengan adanya ketentuan mengenai Technical Barriers to Trade; Anti Dumping; Subsidies and Countervailing Measures; Import Licensing; dan Customs Valuation. Pada saat itu pula Government Procurement pertama kali dibahas dalam GATT. Pada Putaran Uruguay 1994, selain dihasilkan ketentuan-ketentuan yang mencakup perdagangan barang, juga disepakati persetujuan-persetujuan perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual Property Rights, penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan mengenai perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade Organization (WTO). 

Putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya menyangkut upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi dibidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya. Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia - tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011. Selain itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara matang; sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya. Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari pentingnya keberadaan dan peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi Perdagangan Indonesia tertuang dalam Kebijaksanaan Nasional Sektor Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri salah satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional. Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama perdagangan internasional dan melaksanakan hasil-hasil Putaran Uruguay. Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat Program Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan nasional dalam WTO. Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya: dibidang HAKI, ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal terjadinya praktek negara mitra dagang yang tidak fair, mempersengketakan kebijakan negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO, menyempurnakan peraturan nasional dibidang perdagangan misalnya tata niaga ekspor-impor, menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai proses pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya mengintegrasikan perekonomian nasional kedalam perekonomian global telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak terbentuknya WTO.

Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan pada RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa Strategi Pembangunan yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas selama periode tersebut, antara lain adalah Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan, dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan nasional. Selanjutnya terdapat Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor yang didukung oleh Kegiatan Prioritas sebagai tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas tersebut dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional dan Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum internasional. Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack Trade Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Salah satu bentuk diplomasi perdagangan multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena merupakan bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa Indonesia memandang sangat penting masalah penyelesaian perundingan DDA. Kurun waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya, namun justru untuk lebih menggambarkan peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan. Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum WTO.Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya. Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional termasuk perundingan DDA.Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian pula dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha, kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal.

Namun demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA dengan sukses juga tergantung dari negara anggota WTO lainnya. Mengacu pada harapan Dirjen WTO tentang indikasi waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada bulan Desember 2011, maka waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tidaklah terlalu panjang. Kalau penyelesaian perundingan DDA merupakan Strategi Utama dalam Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih keras untuk menyelesaikannya. Menyusun posisi nasional tentunya tidak terlepas dari situasi dan kondisi pada waktu menyusun posisi dimaksud.Dari sudut pandang tersebut, tentunya kita perlu mengkaji ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada saat perundingan DDA dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun posisi runding kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia - meskipun masih banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang sebagai salah satu ‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat dari waktu kewaktu, anggota G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, peringkat daya saing yang meningkat, banyak menjalin kerjasama dalam persetujuan perdagangan bebas ditingkat bilateral maupun regional dan sebagainya. Kondisi tersebut tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri sebagai dasar dalam menyusun posisi runding.Posisi runding yang selama ini terasa defensif hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif. Ini merupakan waktu yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali posisi Indonesia dalam perundingan DDA selama ini, termasuk pada ‘political level’.Tahun ini Indonesia adalah Ketua ASEAN, kita juga menghadapi pertemuan para pemimpin APEC di Amerika Serikat dan G-20 di Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam proses perundingan DDA hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011. Semakin cepat perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih banyak masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan iklim, krisis pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001. Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali.Kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota. 


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvc-yp76l6JphDhM5Quy4d3NcyGjmO4ZWBnguEs2IerssLJ8DCuymPdN12lLcAXL3jmU5CvsDGR8rj1NDZWGRxlyGkqJeJWatcdXgDnhE0vfgB8yWaIoKtKXpwDeCoYmqY1bftbkw6MPXS/s320/WTO-globalvoices.org_.au_.png


Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA.Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007.Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa.Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral.Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka. Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha, pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya, seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada. Pada bulan Desember 2011 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politik (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema: 
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO • Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
• Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. Menyangkut pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s Concluding Statement yang berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang digarisbawahi Anggota (Bagian Kedua Statement) maupun Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama terkait tema-tema :
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO 
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
  Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. 
Posisi Indonesia Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi PersetujuanPembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaiandevelopment objectives dari DDA.

Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral. Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara. Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draft modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan merubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai. Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru pasca Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draft Modalitas tanggal 6 Desember 2008. 

REFERENSI: 
§ Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. 
§ Pakpahan, Normin S. dan Peter Mahmud (Penyusun). Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: ELLIPS Project, 1996. 
§ Rajagukguk, Erman. Indonesiasi Saham. Cetakan Pertama. Jakarta: Bina Aksara, 1985. 
§ Rusli, Hardijan. Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya. Cet. Kedua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. 
§ Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO, 2003. 
§ Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992.
 § Suryana, Agus. Negara Macan Asia, NAFTA & UNI EROPA. Cetakan Pertama. Jakarta: Harapan Baru Raya, 2005. 
§ Business Guide To Uruguay Round. Cetakan Pertama. Geneva: International Trade Center UNCTAD/WTO (ITC), 1995. 
§ Indonesia. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 1 Tahun 1995 LN Nomor 13, TLN Nomor 3587. 
§ Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967 LN Nomor 1, TLN No. 2818.
 § Undang-Undang Tentang Perubahan dan Tambahan Tentang Undang-Undang Penanaman Modal Asing. UU No. 11 Tahun 1970 LN Nomor 46, TLN Nomor 2943.
 § Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, International Studies Review, Vol. 4, No. 3, USA: Blackwell Publishing. 
§ Abbot, Roderick. 2007. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate publishing company. 
§ Peet, Richard. 2003. “The World Trade Organization”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, pp. 146-199 

 Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.








General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

Posted on 3:42 AM by Group 7 02PBJ
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip, yaitu:
1.       Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.

2.       Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.

3.       Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.

Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggota GATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995.
Lahirnya membawa dua hal perubahan mendasar, yaitu :
     1. WTO mengambilalih peran GATT dan menjadikannya sebagai salah satu lampiran aturan WTO.
     2. Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO. Misalnya GATS, TRIMS, TRIPS

Tujuan terbentuknya GATT

Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta juga untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang seha. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:
                 1)  meningkatkan taraf hidup umat manusia;
                 2) meningkatkan kesempatan kerja;
                 3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
                4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.

Fungsi GATT:

•          Pertama, suatu perangkat ketentuan [aturan] multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara- negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan.

•          Kedua, sebagai suatu forum [wadah] perundingan perdagangan dan   diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu [liberalisasi perdagangan]

•          Ketiga, GATT mengupayakan agaraturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan juga penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.




Garis-garis Besar Ketentuan GATT

GATT memiliki 38 pasal.  Secara garis besarnya, dari pasal-pasal dibagi ke dalam 4 bagian:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhy4VlHX1zxiiVxaf8gHJVO8dNMdanxd2b2c7kxt8xsz-0PTdGHBTilaEER9JXDflP01QhsQ-z4FKSKnqXtFwzFy1JFgY6j0FOuOhxf2nk4rmoYDRAKxLt-duulIzsyY8D4P_glK5Vqbo/s1600/GATT.gif
1.       Bagian Pertama : Pasal 1, Pasal Utama menetapkan prinsip utama GATT, MFN Treatment pada anggota. Pasal 2 Penurunan Tarif yang disepakati berdasarkan GATT.
2.      Bagian Kedua : Memuat 30 Pasal (Ps III-Ps XXII).
3.       Bagian Ketiga : Berisi 11 Pasal.
4.      Bagian Keempat : Terdiri dari empat pasal yang ditambahkan pada tahun 1965. Bagian ini berisi kebutuhan-kebutuhan khusus  darai negara-negara sedang berkembang.


















GATT Sebagai Organisasi Internasional

Budi harman, SH., MH. Uncategorized
THE GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) SEBAGAI ORGANISASI EKONOMI INTERNASIONAL
Oleh : Budi Harman
  BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau (Persetujuan Umum Mengenai Tarif Perdagangan) adalah suatu perjanjian internasional yang sejarah lahirnya bertepatan dari sejarah lahirnya ITO (Internasional Trade Organization). Tujuannya antara lain sebagai forum yang membahas dan mengatur masalah perdagangan dan ketenagakerjaan internasional. GATT sendiri merupakan bagian dari perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang mengikat lebih dari 120 negara. Keseluruhan negara memainkan peranan sekitar 90 persen dari produk dunia.
Tujuan dari persetujuan ini adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta suatu iklim perdagangan internasional, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat. Dengan tujuan demikian, sistem perdagangan yang diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia.[1]
Dasar pemikiran penyusunan GATT adalah kesepakatan yang memuat hasil-hasil negosiasi tarif dan klausul-klausul perlindungan (protektif) guna mengatur komitmen tarif. GATT karenanya dirancang sebagai suatu persetujuan tambahan yang posisinya dibawah piagam ITO. Tetapi tidak dirancang sebagai organisasi internasional. Menyadari piagam ITO tidak diratifikasi oleh negara pelaku utama perekonomian dunia, negara-negara mengambil inisiatif untuk memberlakukan GATT melalui “Protocol of Provisional Appliacation” (PPA) yang ditandatangani oleh 22 negara anggota asli GATT pada akhir tahun 1947. sejak itulah GATT kemudian diberlakukan dan perjalanan sejarah menunjukkan GATT bahkan berubah menjadi organisasi internasional.
GATT menyelenggarakan putaran-putaran perundingan untuk membahas isu-isu perdagangan dunia. Sejak berdiri tahun 1947, GATT telah menyelenggarakan 8 (delapan) putaran putaran terakhir di Uruguay Round berlangsung dari 1986 – 1994 yang dimulai dari kota Jenewa, Swiss.[2]
Oleh karena merupakan organisasi internasional. GATT membentuk struktur kelembagaan yang ditetapkan dalam konferensi-konferensinya. Yaitu, membentuk Sekretariat (di Jenewa, Swiss), Sekretariat Eksklusif (yang kemudian diganti menjadi Direktur Jenderal), Komisi dan Consultative group yang semua berfungsi melaksanakan dan membahas masalah – masalah yang timbul dalam perundingan konferensi GATT.[3]
Tujuan utama GATT dapat dilihat pada Preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan yang hendak dicapai GATT, yaitu :
  1. Meningkatkan taraf hidup manusia;
  2. Meningkatkan kesempatan kerja;
  3. Meningkatkan Pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
  4. Meningkatkan produksi dan tukar – menukar barang.
Dalam mencapai tujuan, GATT memiliki 3 (tiga) fungsi utama; pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan-ketentuan aturan Multilateral yang mengatur tindak tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan perangkat ketentuan perdagangan (The rules of the road for trade). Kedua, sebagai suatu forum atau wadah perundingan-perundingan perdagangan. Disini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan – rintangan yang menganggu liberalisasi perdagangan. Dan aturan atau prkatek perdagangan yang demikian menjadi jelas, baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya. Ketiga, GATT adalah sebagai pengadilan internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota – anggota GATT lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan masalah tentang Bagaimana terbentuknya GATT itu Sendiri, sehingga menjadi sebuah Organisasi Perdagangan Internasional ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah GATT.
GATT dibentuk sebagai wadah yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral disamping Bank Dunia dan IMF. Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus ini pada waktu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktek proteksionalisme yang berlangsung pada tahun 1930 – an yang sangat memukul perekonomian dunia.
Negara-negara yang pertama kali bergabung menjadi anggota adalah 23 (dua puluh tiga) negara. Negara-negara ini membuat dan merancang piagam organisasi perdagangan internasional (International Trade Organization) yang pada waktu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB. Dimana, isi piagam tersebut memuat aturan-aturan dalam perdagangan dunia, ketenagakerjaan, praktek–praktek restriktif (pembatasan perdagangan), penanaman modal internasional dan jasa.
Pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa, Swiss dari bulan April sampai November 1947. membuat rancangan piagam ITO. Perundingan–perundingan bilateral berlangsung antara negara–negara komisi antara lain: Brazil, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia Selatan. Kemudian pertemuan penting di Havana pada tanggal 21 November 1947 – 24 Maret 1948) bertambah menjadi 66 (enam puluh enam) negara bergabung untuk membahas piagam ITO. Pertemuan berhasil mengesahkan piagam Havana. Namun, pertengahan tahun 1950, negara–negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat, pelaku utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya tidak akan meratifikasi piagam tersebut. Sejak itu pulalah ITO secara efektif tidak berfungsi sama sekali. Sehingga GATT juga tidak berlaku.
Para perunding GATT mengeluarkan perjanjian internasional baru, yaitu The Protocol of Provisional Application. Sejak dikeluarkan protokol ini GATT tetap berlaku. Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan penting yang terjadi pertama, dikeluarkannya Protokol yang mengubah bagian 1 dan pasal XXIX dan XXX dan Protokol yang mengubah Preambule dan bagian 2 dan 3. Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian ke empat. Bagian ini berlaku secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27 Juni 1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan perluasan ekspor negara–negara kurang maju (pasal XXXVI – XXXVIII).[4]
B. Keanggotaan GATT.
Negara anggota GATT adalah anggota WTO. Perlu dikemukan disini bahwa istilah anggota pada GATT bukan “member”, tetapi “Contracting Party”. Hal ini merupakan konsekuensi dari status GATT yang sifatnya, dengan meninjau sejarah berdirinya, “organisasi”.[5]
Cara menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal XXXIII GATT. Cara pertama, berlangsung dengan proses pengujian dan perundingan yang panjang oleh Dewan GATT pada saat menerima permohonan aksesi. Badan ini membuat putusan suatu kelompok kerja (working party) yang bertugas menganalisa kebijakan perdagangan dan kemungkinan kebijakan perdagangan negara pemohon di masa datang. Hasil dari perundingan tersebut dilaporkan oleh kelompok kerja kepada Dewan. Persyaratan-persyaratan yang disahkan Dewan kemudian menjadi bahan pemungutan suara yang mana 2/3 dari semua anggota harus menyetujuinya. Pada tahap ini negara baru tersebut dapat menanda tangani protokolnya dan untuk diratifikasi oleh perundang-undangan nasionalnya.
Cara kedua lebih sederhana menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal XXVI, yaitu terhadap negara–negara yang menjadi negara merdeka dari penjajahan dan yang telah menunjukkan kemandiriannya dalam melaksanakan hubungan–hubungan komersial eksternalnya (luar negerinya).[6]
C. Perjanjian Akhir Putaran Uruguay GATT.
Putaran Uruguay adalah putaran yang paling kompleks dari 7 putaran yang ada sebelumnya yang dilaksanakan oleh 108 negara, yang bukan saja merundingkan masalah-masalah tradisional seperti market access saja, akan tetapi lebih luas dan juga membahas hal-hal baru dalam perdagangan sebagai akibat majunya perdagangan dan perkembangan ekonomi yang cepat.
Ada 15 masalah yang dirundingkan, dan dari 15 masalah tersebut telah dihasilkan sebanyak 28 persetujuan yang disepakati dalam putaran Uruguay, sebagaimana melaksanakan komitmen yang telah disepakati dalam putaran Tokyo tahun 1979, terutama kesepakatan mengenai non tariff barier[7]. Selanjutnya, diadakan pertemuan tingkat menteri Contracting Parties GATT di Punta del Este, Uruguay pada tanggal 20 September 1986 untuk meluncurkan putaran perundingan perdagangan multi lateral. Dari putaran ini terbentuk struktur perundingan, terdiri dari tiga badan utama: (i) the Trade Negotiation Committee (TNC) yang bertujuan untuk mengawasi seluruh jalannya putaran perundingan; (ii) the Group of Negotiation on Goods (GNG), yang bertujuan untuk mengawasi semua subyek pembahasan kecuali jasa; (iii) the Group of Negotiation of Service (GNS), yang bertujuan untuk mengawasi perundingan di bidang jasa.[8]
Ada empat tujuan utama yang hendak dicapai dalam putaran Uruguay ini:
  1. Menciptakan perdagangan bebas yang akan memberi keuntungan bagi semua negara khususnya negara berkembang, memberi peluang bagi produk ekspor dalam memasuki pasar melalui penurunan dan penghapusan tarif, pembatasan kuantitatif, dan ganjalan-ganjalan tindakan non tarif lainnya;
  2. Meningkatkan peranan GATT dan memperbaiki sistem perdagangan multilateral berdasarkan Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan GATT yang efektif dan dapat dipaksakan;
  3. Meningkatkan ketanggapan sistem GATT terhadap perkembangan situasi perekonomian dengan mempelancar penyesesuaian struktural, mempererat hubungan GATT dengan organisasi-organisasi internasional yang relevan mengingat prospek perdagangan di masa yang akan datang, termasuk tumbuhnya produk-produk teknologi tinggi;
  4. Mengembangkan suatu bentuk kerjasama pada tingkat nasional dan internasional untuk mempererat hubungan antara kebijaksanaan perdagangan dengan kebijaksanaan ekonomi guna memperbaiki sistem moneter internasional, arus aliran keuangan dan sumber-sumber investasi ke negara sedang berkembang.
Pada waktu putaran Uruguay diluncurkan tahun1986, dan direncanakan rampung tahun 1991, Arthur Dunkel seorang arsitek dari perjanjian GATT Direkrtur Jenderal GATT, jauh-jauh hari sudah mengantisipasi masalah-masalah hukum yang timbul. Insiatif ini berwujud dengan dikeluarkannya rancangan Akhir Perjanjian Putaran Uruguay tahun 1991. baru pada bulan Desember 1993 rancangan ini menjadi Perjanjian Akhir.
D. Bentuk Perdagangan GATT
GATT selalu megupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuan–ketentuan yang disepakati bersama. Latar belakangnya dari suatu konsep keunggulan komparatif. Maksudnya, bahwa negara menjadi makmur melalui konsentrasi terhadap produk apa yang bsia diproduksi oleh negara tersebut dengan sebaik-baiknya. Untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya itu, maka produk tersebut harus dapat menembus bukan saja pasar dalam negeri tetapi juga pasar dunia.
Namun demikian, keberhasilan perdagangan tersebut bersifat tidak langgeng. Kompetisi dalam produk tertentu dapat berdiri antara satu negara dengan negara lain, perusahaan satu dengan perusahaan lain, ketika terjadi perubahan di pasar terkait atau terciptanya teknologi baru yang membuat satu produk menjadi lebih murah harganya dan lebih baik kualitasnya.
Kebijakan perdagangan seperti proteksi impor atau subsidi dari pemerintah hanya akan membuat suatu perusahaan menjadi tidak efektif, dan produk-produknya menjadi tidak menarik. Hal ini, pada akhirnya, akan berakibat pada ditutupnya perusahaan tersebut, meskipun ada proteksi dan subsidi yang diberikan kepada perusahaan itu. Secara keseluruhan, apabila pemerintah terkait melaksanakan kebijakan perdagangan demikian maka pasar luar negeri dan ekonomi dunia akan menyusut.
E. Prinsip-Prinsip GATT.
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama, yaitu[9]:
  1. Prinsip Most Favoured-Nation.
Prinsip ini merupakan kebijakan yang menyatakan bahwa perdagangan dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Semua anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap negara-negara lain dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta hal-hal yang menyangkut biaya-biaya lainnya.
Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijakan perdagangan. Namun demikian, prinsip ini mendapat pengecualian, khususnya dalam kepentingan negara yang sedang berkembang, seperti pemberian preferensi-preferensi tarif dari negara-negara maju kepada produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara miskin dengan pemberian fasilitas sistem preferensi umum (Generalised System of Preferences).
2. Prinsip National Treatment.
Produk dari satu negara anggota yang diimpor ke dalam suatu negara lainnya harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri, baik dari segi pajak ataupun dari segi pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap pengaturan perundang-undangan yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi, atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri.
3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.
Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun, misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan, pembayaran produk-produk impor atau ekspor, pada umumnya dilarang sesuai dengan pasal IX GATT. Hal ini disebabkan karena praktek demikian bisa mengganggu praktek perdagangan normal.
4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif.
Pada prinsipnya, GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melakukan upaya-upaya perdagangan lainnya (non tariff commercial measures).
5. Prinsip Resiprositas.
Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan kepada timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
F. Penyelesaian Sengketa menurut GATT.
Ketentuan GATT mengenai penyelesaian sengketa ini, pertama-tama menekankan pada pentingnya konsultasi yang dilakukan di antara para pihak yang bersengketa. Konsultasi tersebut bisa berupa perundingan informal maupun formal seperti melalui saluran diplomatik.
Ada dua alternatif yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Pertama, si termohon menerima dilakukannya perdamaian, maka para pihak menyelesaikan sengketanya dalam keadaan damai, dan dalam waktu 60 hari sejak permohonan berkonsultasi diterima oleh pihak lainnya dikeluarkan putusan perdamaian tersebut. Alternatif ke-dua, apabila si termohon menolak permohonan perdamaian yang diajukan, maka pemohon dapat memohonkan suatu panel atau badan pekerja (working party) pada pengadilan GATT, untuk menyelesaikan sengketanya.
Pembentukan panel ini dianggap sebagai upaya terakhir suatu penyelesaian sengketa dalam GATT. Namun demikian, ketentuan GATT masih mengizinkan para pihak untku bersepakat mencari alternatif penyelesaian lainnya yang masih memungkinkan, yaitu jasa baik, konsiliasi, dan mediasi. Ketiga bentuk alternatif itu pada pokoknya bersifat sama, yaitu mengundang pihak ke-tiga yang netral untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam kasus pisang antara masyarakat eropa (ME) melawan negara-negara Amerika Latin, mereka menggunakan saluran jasa baik untuk menyelesaikan sengketa tersebut. ME dan negara-negara Amerika Latin sepakat meminta Direktur Jendral GATT untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Perkembangan lain yang lahir dari hasil perjanjian dibolehkan upaya hukum banding, yaitu lembaga yang akan menerima keberatan salah satu pihak dalam sengketa dan dibentuk panel yang terdiri dari 7 orang. Mereka bertugas selama 4 tahun. Setiap kali ada permohonan banding maka 3 orang anggota akan menanganinya. Mereka adalah orang-orang yang diakui otoritasnya, ahli dalam hukum perdagangan internasional dan masalah-masalah GATT. Mereka adalah orang-orang privat atau swasta, yang tidak terikat oleh tugas atau hubungan kerja apapun dengan pemerintahnya atau pemerintah tertentu.
Proses pemeriksaan banding tidak boleh lebih dari 60 hari sejak para pihak memberi tahukan secara formal keinginannya untuk banding. Hasil pemeriksaan dilaporkan dan disahkan oleh Badan Pemeriksa Sengketa (BPS).
BAB III
PENUTUP
Tampaknya, dengan luasnya perubahan dan penambahan ketentuan baru dalam GATT, perjanjian ini akan berdampak sangat luas terhadap perkembangan hukum perdagangan internasional. Masalahnya sekarang adalah bagaimana para pelaku kebijakan perdagangan dalam negeri memanfaatkan peluang-peluang hukum yang diberikan oleh perjanjian GATT itu untuk memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Agar peluang itu dapat efektif, pemahaman terhadap isi perjanjian setebal 550 halaman itu merupakan sine qua non. Sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan. Dengan adanya perubahan yang sangat besar dalam hukum perdagangan global demikian itu, maka upaya mengidentifikasi langkah-langkah implementasi perjanjian GATT dan Penyesesuaian produk – produk hukum nasional terhadapnya harus segera dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Makalah, Jakarta, 1995.
Alfonso Samosir, Sistem Restrukturisasi Hubungan GATT dengan Blok-blok Perdagangan, Makalah, Bandung, 1993.
Bambang Kesowo, Pokok-pokok Catatan Mengenai Persetujuan TRIPs, Makalah, Jakarta, 1995.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional. Cetakan Ketiga, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Huala Adolf dan A, Chandrawlan. Masalah-masalah Hukum Perdagangan Internasional, Rajagrafindo Persada,Jakarta, 1995.
Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000.
Narsif. Diktat Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2006.
Sudargo Gautama, Masalah-masalah, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1986.
footnote
[1] Bambang Kesowo, Pokok-pokok Catatan Mengenai Perstujuan TRIPs, Makalah, Jakarta, 1995, hlm. 3.
[2] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional. Cetakan Ketiga, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 104-105.
[3] Narsif, Diktat Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2005, hlm. 96.
[4] Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 74-76.
[5] John H. Jackson, dalam Haula Adolf, Op. Cit., hlm. 108.
[6] Huala Adolf dan Chandra Wulan. A, Masalah-masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 95-97.
[7] Alfonso Samosir, Sistem Restrukturisasi, Hubungan GATT dengan Blok-blok Perdagangan, Makalah Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1993, hlm. 13.
[8] Ibid
[9] Agus Broto Susilo, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Makahal, Jakarta, 1995, hlm. 4-7.








GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT)
SOAL DAN JAWABAN

1. Jelaskan apa saja yang menjadi fungsi-fungsi GATT!

a) Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan.
b) Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan, disini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan) selain itu GATT mengupayakan agar aturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui prmbukaan prosedur nasional / melalui penegakan dan penyebarluasan pemerlakuan peraturan.
c) Sebagai suatu pengadilan intenasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa daganganya dengan anggota GATT lainnya.

2. Prinsip-prinsip apa saja yang dijalankan GATT?

1) Prinsip non diskriminasi yang meliputi:
a. Prinsip Most Favored Nation (MFN)
Prinsip ini diatur dalam pasal I ayat (1) GATT 1947 yang berjudul general favored nation treatment, prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif, keringanan tariff impor yang deberikan pada produk suatu Negara harus deberikan pula kepada produk impor dan mitra dagang Negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera tanpa syarat terhadap produk yang berasal / yang diajukan kepada semua anggota GATT.
b. Prinsip perlakuan nasional (national treatment / NT principle)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1947, berjudul national treatment on international taxation and regulation, prinsip ini menyatakan bahwa, “this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.
2) Prinsip resiprositas (reciprocity) pasal II GATT 1947 prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT, prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasrkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kepada belah pihak, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra datangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. Prinsip ini diterpkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua Negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan / konsensi yang seimbang dan saling menguntungkan antara Negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.
3) Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT terhadap ekspor impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor / ekspor, retriksi penggunaan lisensi impor dan ekspor pengawasan pembayaran produk-produk impor / ekspor), pada umumnya dilarang (pasal IX) hal ini disebabkan karena praktek perdagangan yang demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
4) Prinsip perdagangan yang adil (fairness), prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang dumping (pasal VI) dan subsidi (pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu Negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tersebut, justru menimbulkan kerugian bagi Negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness uni diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
5) Prinsip perlindungan melalui tariff (tariff binding principle), setiap anggota Negara WTD harus mematuhi berapapun besarnya tariff yang telah disepakatinya / disebut dengan prinsip tariff mengikut, prinsip ini diatur dalam pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industry domestic melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya sehingga masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.

3. Mengapa Negara-negara menerapkan tariff terhadap barang-barang yang masuk dari luar negeri?

Negara-negara menerapkan tariff terhadap barang-barang yang masuk dari luar negeri, karena tariff merupakan pungutan oleh Negara-negara untuk dijadikan kas Negara, tariff digunakan untuk melindungi produk domestic dari praktek dumping yang dilakukan oleh Negara eksportir untuk memberikan balasan terhadap Negara pengekspor melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi.

4. Apa saja yang menjadi perlakuan khusus kepada Negara-negara sedang berkembang?

Perlakuan khusus kepada Negara-negara yang sedang berkembang, perlakuan khususnya dengan mengakui keburuhan Negara yang sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan dan melarang Negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor Negara-negara sedang berkembang, Negara industry juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan / penghilangan tariff dan rintangan lain terhadap perdagangan Negara-negara yang sedang berkembang.

5. Mengapa GATT memperlakukan perlakuan khusus bagi Negara berkembang?

GATT memberlakukan perlakuan khusus bagi Negara berkembang karena Negara berkembang merupakan pelaku yang permanen dalam system perdagangan dunia dan untuk mendorong Negara-negara industry membantu pertumbuhan ekonomi Negara-negara sedang berkembang

6. Apa yang menjadi garis-garis besar ketentuan GATT?

GATT memiliki 38 pasal secara garis besarnya, dari pasal-pasal tersebut terbagi ke dalam 4 bagian:
1) Bagian pertama mengandung dua pasal, yaitu pasal I merupakan pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan Negara anggota untuk menetapkan klausul-klausul Most Favored Nation (MFN) treatment kepada semua anggotanya.
2) Pasal II berisi tentang penurunan tariff yang disepakati berdasarkan penurunan tariff yang disepakati, kesepakatan penurunan taris dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT. Bagian II memuat pasal 30 pasal dari pasal III sampai XXII.
3) Bagian kedua memuat 30 pasal, dari pasal III sampai pasal XXII
• Pasal III berisi tentang larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif, misalnya pungutan di dalam negeri / penerbitan undang-undang, peraturan untuk persyaratan-persyaratan administrative yang mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian, pangangkutan, distribusi / penggunaan produk terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.
• Pasal IV, ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi.
• Pasal V, mengatur kebebasan transaksi barang-barang, termasuk perahu dan sarana angkutan lainnya melalui wilayah suatu Negara anggota dengan menggunakan rute yang digunakan untuk transit internasional guna melakukan transit ke atau wilayah Negara anggota GATT lainnya dan Negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan menetapkan peraturan-peraturan terhadap transit ked an dari wilayah-wilayah Negara anggota lainnya.
• Pasal VI, mengatur anti-antidumping (dengan batasan-batasan yang tegas) dan bea masuk tambahan.
• Pasal VII, (valuation for custom purposes / penilaian atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan) pasal ini menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barak impor oleh pejabat-pejabat (bea cukai) dari Negara-negara anggota GATT terhadap barang impor.
• Pasal VIII, berada dibawah judul fess and formalities (biaya-biaya dan formalitas).
• Pasal IX, mengatur tanda asal (mark of origin).
• Pasal X, mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan.
• Pasal XI-XV, mengatur retriksi / pembatasan kuantitatif.
• Pasal XII, membolehkan suatu Negara untuk menerapkan pembatasan 24 pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca pembayarannya.
• Pasal XIII, mensyaratkan bahwa penerapan retriksi kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminatif.
• Pasal XIV, mengatur pengecualian-pengecualian penerapan retriksi kuantutatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu.
• Pasal XV, mengatur pengaturan mengenai pembayaran.
• Pasal XVII, mengatur perusahaan dagang Negara (state trading enterprise).
• Pasal XVIII, berada dibawah judul “governmental assistance to economic development” (bantuan pemerintah kepada pembangunan).
• Pasal XIX, mengatur tindakan darurat atas impor produk-produk tertentu.
• Pasal XXI, GATT membenarkan suatu Negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasarkan GATT dengan alasan keamanan (security exeption).
• Pasal XXII dan XXIII, mengatur penyelesaian sengketa didalam GATT.
4) Bagian ketiga berisi pasal II pasal
• Pasal XXIV mengatur bagaimana custom union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip Most Favored Nation.
• Pasal XXV menetapkan tidakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari anggota-anggota GATT.
• Pasal XXVI-XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT berupa penerimaan dan berlakunya ketentuan GATT (pasal XXXVI) status (kondisi) tariff dari Negara bukan anggota (pasal XXVII) ketentuan untuk perundingan tariff dan perubahan-perubahan dalam daftar tariff (pasal XXVIII) hubungan GATT dengan piagam Havana ( pasal XXIX) perubahan terhadap GATT (pasal XXX) batasan contracting parties (keanggotaan GATT) (pasal XXXII) masuknya menjadi anggota GATT (pasal XXXIV) dan tidak diterapkannya beberapa aturan GATT diantara anggota-anggota GATT tertentu (pasal XXXV) bagian ke empat terdiri dari 3 pasal (pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965. Pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus Negara-negaa sedang berkembang di bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen Negara-negara (maju) kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada Negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk membantu perdagangan Negara sedang berkembang.

7. Mengapa GATT menetapkan tariff impor dalam perdagangan internasional?

GATT menerapkan tariff impor dalam perdagangan internasional karena Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industry dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi Negara yang bersangkutan, penggunaan tariff tersebut harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT, Misalnya pengenaan tariff tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT atau WTO.

8. Apa yang dimaksud dengan perang tariff?

Perang tariff yaitu dimana terdapat lebih dari satu / banyak produsen dengan produk sejenis saling menurunkan harga barangnya agar harga barang tersebut dibeli oleh banyak konsumen dan meningkatkan angka penjualan serta laba bagi produsen.

9. Tariff impor dapat di kategorikan menjadi 4 bentuk. Jelaskan!

a) Ad-valoren tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan pada prosentasi nilai (harga) komoditi yang di impor.
b) Specific tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan per unit / per jumlah barang.
c) Mixed tariff, adalah pajak yang dikarenakan berdasarkan system kombinasi dari kedua bentuk tariff diatas.
d) Quota tariff, adalah tariff rendah yang dikenakan terhadap jumlah volume impor tertentu.

10. Apa yang dimaksud dengan deklarasi punta del este?

Deklarasi tersebut adalah deklarasi yang menentukan substansi yang akan dirundingkan juga menentukan bahwa ruang lingkup perundingan yang diperluas mencakup masalah baru / new issue yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh GATT, yakni:
a. Masalah perdagangan jasa
b. Masalah hak atas kekayaan intelektual, dan
c. Masalah kebijakan dalam investasi yang berkaitan dengan perdagangan.
Diposting oleh enal di 08.27 https://resources.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif


No comments:

Post a Comment

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...