Pada akhir Perang Dunia II, dunia perekomian internasional berubah
menjadi suatu entitas yang makin luas dan kompleks.Hal ini disebabkan oleh
semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan liberalisme perdagangan yang
mulai diterapkan oleh beberapa negara maju untuk saling menjalin kerjasama
perdagangan antar satu dan lainnya.Kompleksitas dan makin dinamisnya
perdagangan dan moneter internasional membentuk suatu gagasan pendirian suatu
organisasi perekonomian yang mendaulati terbentuknya International Monetary
Fund (IMF).IMF kemudian membentuk suau badan khusus yakni General Agreements on
Tariffs and Trade (GATT) yang berfokus menyelesaikan dan mengatur persoalan
perdagangan. Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral
telah mulai dirintis dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT) pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan
International Trade Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3 (tiga)
kerangka Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah
International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank. GATT sebenarnya hanya
salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi isi dari Havana Charter
mengenai pembentukan International Trade Organization (ITO) pada tahun 1947,
yaitu Chapter IV: Commercial Policy. General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) adalah sebagai suatu persetujuan internasional yang mengatur mengenai
tarif tarif perdagangan yang dirumuskan di Jenewa, Swiss. GATT ini didirikan
pada tahun 1948.Pembentukan GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade
ini dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai perdagangan
internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran serta diskriminasi
dalam perdagangan internasional tersebut.Namun, GATT atau General Agreement on
Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang
memperhatikan arus jasa yang terjadi saat itu.Hal ini disebabkan oleh sifat
ad-hoc yang diusung oleh rezim tersebut. Namun, dibalik kelemahan rezim
tersebut terdapat adanya perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT atau
General Agreement on Tariffs and Trade serta rezim mengusung transparansi dan
kompetitifitas yang mewajibkan setiap negara untuk mengetahui kebijakan negara
lain. Karena rezim ini berprinsip most favored nations (MFN). Namun
International Trade Organization (ITO) tidak berhasil didirikan, walaupun
Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani oleh 53 negara pada Maret 1948.Hal
tersebut dikarenakan Amerika Serikat menolak untuk meratifikasinya di mana
Kongres Amerika Serikat khawatir wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika
Serikat semakin berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai perjanjian
sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application sampai
Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai badan pelaksana GATT adalah
Committee-ITO/GATT yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal.
Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan
perdagangan internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya
beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan
kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran
untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi
bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin
agar negara-negara peserta (Contracting parties) GATT mematuhi
peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round),
Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang pembentukan suatu
organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit termuat di dalam
Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah satu dari 15 bidang
perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk
meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi
fungsi sistem GATT ini adalah:
• Meningkatkan fungsi pengawasan
GATT agar dapat memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh
contracting parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan
internasional. • Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT
sebagai suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang
menangani masalah perdagangan
• Meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam
pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan
organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan
keuangan. Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan
konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan
lebih dari 120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting
Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994, disahkan
Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO. Persetujuan
pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan diharapkan dapat
diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan
antara Pertemuan Tingkat Menteri di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal
berlakunya WTO, dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation
Committee yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah
anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal
9-14 November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha
merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak
sistem multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya
diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama menjadi WTO tahun
1995. Disebapkan rezim GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini
hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa,
pada tahun 1955 para anggota rezim tersebut menginginkan adanya perubahan dalam
rezim tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT atau General Agreement on
Tariffs and Trade secara resmi berubah menjadi WTO atau World Trade
Organization yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral dalamUruguay Round
tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO atau World Trade Organization ini diharapkan
mampu memperlancar arus perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para
negara anggota rezim tersebut.Namun, dalam rezim WTO atau World Trade
Organization ini, negara – negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena
rezim ini didominasi oleh negara – negara barat yang mampu merealisasikan
interest mereka dalam rezim ini.Hegemoni Amerika Serikat tak dapat dipungkiri
sebagai aktor dibalik perubahan rezim tersebut (Ford 2002). Berikut ini
beberapa hal yang kemudian menjadi kelemahan GATT sehingga posisinya digantikan
oleh WTO:
Ø
Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya berfokus pada arus
jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau pada perdagangan jasa yang
sama- sama termasuk ke dalam aktifitas perdagangan.
Ø
GATT tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu
tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu.
Ø
Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh GATT tidak
membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota.
Akan tetapi berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan dalam
rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan perdagangan antara
lain: 1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya sejak PD II berakhir,
negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat menginginkan adanya suatu
bentuk sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan komprehensif untuk
membangun ekonomi dunia yang hancur akibat perang. Pada tahun 1947 di Geneva
diadakan perundingan perumusan perjanjian GATT yang menetapkan penurunan 45.000
jenis tarif dengan nilai 10 miliar dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara.
2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang lebih
dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini, telah
disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33 negara. 3.
1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang
diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi 5,500
jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara. 4. 1955-1956: Pada periode ini
berlangsung “Perundingan Jenewa” yang diselenggarakan di Kota Jenewa di mana
disepakati untuk meratifikasi sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan
sejumlah 2,5 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 5. 1960-1961: Pada
periode ini berlangsung Perundingan yang lebih dikenal sebagai “Putaran
Dillon”, yang diselenggarakan di Kota Jenewa, putaran GATT kali ini diikuti
oleh 45 negara yang menghasilkan kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis
tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh
34 negara.
6. 1964-1967: Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran
Kennedy”, yang diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati penurunan
sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40 miliar dolar AS dan
kesepakatan anti-dumping yang diikuti 48 negara.
7. 1973-1979: Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”,
Jepang dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi
sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155 miliar
dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara.
8. 1986-1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan
perundingan di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este. Perundingan
kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan non-tarif sejumlah
komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa dalam perdagangan dunia. Di
tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan aktifnya dalam putaran GATT ini
dengan ditariknya suatu konklusi bahwa Indonesia harus mengubah haluan dari
orientasi yang berbasis impor ke arah strategi orientasi ekspor.
9. 1988: Pada bulan Desember tahun 1988 di Montreal, Kanada telah
diadakan pertemuan tingkat meneteri yang dikenal sebagai Mid-Term Ministerial
Meetinguntuk mereview kembali beberapa poin yang telah dicapai dalam
perundingan sebelumnya. Pada sidang tersebut telah dicapai kemajuan pada 11
bidang kecuali pertanian. Dalam periode ini, Indonesia mulai memainkan peranan
aktifnya dalam Putaran Uruguay.
10. 1989: Perundingan ini diselenggarakan pada April 1989 untuk
meneruskan kembali kemaetan perundingan pada putaran sebelumnya yang deadlock
pada masalah pertanian.
11. 1990: Pada bulan Desember 1990 di Brussel, telah diselenggarakan
sidang tingkat menteri. Namun, kali ini tidak dihasilkan kesepakatan apapun,
karena Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai negara utama menolak untuk
meratitikasi bidang pertaniannya. Dengan demikian, perundingan pada semua
bidang mencapai deadlock.
12. 1991: Pada bulan Desember 1991, Direktorat Jenderal GATT selalu
ketua Trade Negotiations Committee (TNC) pada tingkat pejabat tinggi telah
menyerahkan Draft Final Act sebagai hasil akhir dari Uruguay Round.
13. 1992-1993: Pada tanggal Januari 1992, TNC bersidang untuk menampung
reaksi negara-negara peserta dan menentukan langkah selanjutnya dalam
perundingan. Negara-negara perserta menyatakan kesulitannya untuk menerapkan
DFA pada berbagai bidang termasuk kewajiban menghapus subsidi pertanian dan
sistem proteksi atas beberapa jenis komoditas. Dalam perundingan yang
berlangsung di Jenewa ini, telah dilakukan pembahasan antara lain; tariff dan
non-tarif, perdagangan jasa, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta),
komoditas tekstil, serta pertanian. Dalam periode ini juga telah disepakati
untuk membentuk kerangka kerja WTO yang merupakan kelanjutan dari GATT. Pada
tanggal 14 Desember 1993, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mulai
membuka akses pasar secara bertahap pada sector telekomunikasi, industri,
angkutan laut, turisme dan jasa keuangan.
14. 1994: Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh tercapai kesepakatan
mengenai hasil perundingan dari Putaran Uruguay sebagai suatu paket yang
ditandatangani oleh Negara peserta yang kemudian melahirkan WTO. Sementara
dalam tahun yang sama, Indonesia telah menyelesaikan prosedur ratifikasi dengan
DPR pada bulan Oktober 1994. Sehingga Indonesia siap memberlakukan kewajiban
perjanjian sesuai ketentuan dalam perjanjian tersebut, antara lain;
perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, perdagangan jasa, turisme,
telekomunikasi, dan beberapa sektor lain. Perubahan GATT menjadi WTO membawa
fase baru.WTO menjadi suatu badan yang mengurusi perdagangan dunia lebih
kompleks dan efektif dibanding GATT.WTO memberikan fokus yang besar bagi
perdagangan seluruh sektor, termasuk barang dan jasa. Selain itu WTO juga
terdiri dari anggota yang tetap , dimana keanggotaan suau negara melibatkan
keputusan dari parlemen negara bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan status
WTO yang sebagai organisasi internasional.Sebagai suatu organisasi
internasional, WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk
dipatuhi.Hal ini kemudian mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh
negara- negara anggota serta perdagangan internasional. Dalam stuktur organisasinya,
WTO terdiri dari direktur jendral, deputi direktur jendral, dan sekretariat
yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet, 2003). Aktivitas WTO sendiri, meliputi
pengadaan pertemuan antara perwakilan negara anggota dengan agenda meregulasi
kembali sistem perdagangan yang ada. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO
bertujuan untuk semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala
bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO
disini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola persetujuan
perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan, membantu
menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan
nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan
perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama
dengan organisasi internasional lainnya. (Peet, 2003).Sikap netral yang
dipegang oleh WTO, membuat WTO sebagai suatu forum yang tidak memiliki
kapasitas lebih dalam memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi
negara-negara.
WTO merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia dalam membicarakan
perdagangan internasional, dan juga memberikan bantuan internasional untuk
meningkatkan kemajuan perdagangan negara-negara anggotanya. Hingga saat ini WTO
beranggotakan 160 negara.Jumlah ini telah mewakili sebanyak 97% perdagangan
yang ada di dunia.Dua pertiga dari jumlah keseluruhan negara anggota WTO
terdiri dari negara berkembang.Status negara berkembang sendiri ditentukkan
oleh masing- masing negara bukan oleh WTO ataupun negara anggota
lainnya.Proporsi ini kemudian berkaitan dengan sistem pemngutan suara yang
diterapkan oleh WTO. WTO menerapkan prinsip konsensus, melalui pemungutan suara
atau voting. Sistem voting yang ada didasrkan pada persentase keikutsertaan
suatu negara dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh, adalah Amerika
Serikat yang memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki
andil perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang
dari 1% suara (Peet, 2003). Dalam sejarah terbentuknya, WTO terus menerus
mengundang pro dan kontra dari dunia internasional. Banyak negara beranggapan
bahwa WTO merupakan organisasi bentukan barat yang setuju akan aliran
perekonomian kapitalis dan membawa negara berkembang tertindas dalam lingkaran
kapitalisme barat. Prinsip dasar WTO yang mendukung liberalisme perdagangan
dianggap para kaum kritik sebagai keberpihakan pada negara- negara maju saja,
dan tidak menghiraukan negara berkembang. Prinsip keadilan perdagangan
(fair-trade) dinilai hanya adil bagi negara maju saja, tidak bagi negara miskin
dan berkembang. Keadilan berlaku bagi negara- negara yang menerapkan
perekonomian bebas, seperti yang tercantum dalam asas liberalisme ekonomi.
Kritik lain juga menyebutkan mengenai ketidaksesuaian aturan yang dikeluarkan
oleh WTO dengan kenyataan kondisi dunia internasional. Hal ini terjadi pada
Meksiko, dimana keuntungan yang diraih oleh negaranya tidak sebanyak
perdagangan yang dilakukan.Namun berbeda dengan Taiwan yang mendapatkan banyak
keuntungan walaupun sedikit melakukan kegiatan perdagangan dan tidak mendapat
investasi asing yang begitu besar. Perubahan dalam rezim perdagangan
internasional tersebut dapat dipaahami melalui beberapa pendekatan.Pertama,
pendekatan tradisional.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim adalah alat
negara dan kekuatan kelas.Rezim tersebut dapat membantu negara dalam
merealisasikan kepentingan negara tersebut serta menjadi penengah dalam
fenomena rezim tersebut.Karena didasari oleh materi, hal ini menyebabkan peran
negara bermateri kuat tersebut lebih besar dibanding dengan negara bermateri
lemah.Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menjelaskan peran negara berkembang
dalam memperkuat rezim perdagangan internasional multirateral tersebut.Serta
pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa semua terjadinya perubahan turut
serta berpengaruh dalam perubahan agen melalui tindakan dan struktur interaksi
yang didasari oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai aktor (Ford
2002).Kedua, pendekatan strukturalis.Pendekatan ini berpendapat bahwa negara
hegemon memiliki kekuatan besar dalam perubahan rezim.Pendapat tersebut seperti
yang diungkapkan oleh neorealis dan neomarxis.Neorealis mengungkapkan bahwa
perubahan rezim merupakan alat bagi negara hegemon untuk mencapai kepentingan
nasional serta keuntungan ekonomi.Sementara neomarxis mengungkapkan bahwa
kapitalisme global sebagai pendukung rezim perdagangan internasional. Negara
hegemon berusaha mati-matian untuk memperoleh kepentingan mereka, namun ia
mengorbankan negara lain dengan kedok kemaslahatan bersama atau universal.
Inilah yang menjadi kelemahan pendekatan strukturalis.Ketiga, pendekatan
neoliberalisme.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim sebagai alat negara dan
sebagai ekspresi dari kepentingan negara tersebut.Kepentingan negara yang
dimaksud oleh pendekatan neoliberalisme adalah kepentingan Negara-negara yang
menciptakan rezim tersebut. Sehingga rezim digunakan sebagai perwujudan norma
yang memfasilitasi kerja sama, menyediakan informasi, dan lain-lain. Sehingga
negara anggota rezim yang tidak termasuk dalam rezim tersebut kurang
terealisasikan kepentingan nasionalnya. Jadi, rezim perdagangan internasional
adalah sebuah distribusi ide secara kolektif mengenai perdagangan internasional
yang mengatur mengenai perilaku dalam perdagangan bebas tersebut serta
menjelaskan mengenai peran negara sebagai aktor (Ford 2002). Perubahan dari
rezim perdagangan internasional dari GATT atau General Agreement on Tariffs and
Trade, menjadi WTO atau World Trade Organization menunjukkan bahwa perdagangan
internasional berkembang secara pesat sehingga distribusi barang-barang ke
berbagai negara dapat dilaksanakan dengan mudah. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam menganalisa perubahan dalam rezim internasional tersebut pasti
memiliki kelemahan.Karena setiap pendekatan dalam Hubungan Internasional
bersifat pelengkap kekurangan dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada
sebelumnya dengan sudut pandang yang dimiliki oleh para pemikir pendekatan
tersebut sehingga menyebabkan keragaman dalam pendekatan dalam Hubungan
Internasional. Pada tahun 1995Sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran
Uruguay, maka pada tanggal 1 Januari 1995 di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri
dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil
kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues,
antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related
investment measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia
sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah
tarif, akses pasar, komiditas tekstil, produk pertanian, regulasi dan
penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan
investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO,
yaitu:
(1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan
yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut,
(2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai
perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk
keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat
Menteri,
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa
perdagangan;
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan,
dan
(5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja
sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta
badan-badan yang berafiliasi. Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi
tersebut merupakan upaya untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang
Multilateral Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs),
termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan
pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan
melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara
anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.
Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO memiliki alat
untuk memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya.
Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan GATT 1948 sampai
terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8 (delapan) putaran perundingan
perdagangan multilateral yakni Jenewa 1 Januari 1995, Singapura, 9 - 13
Desember 1996, Jenewa, 18 - 20 Mei 1998, Seattle, 30 November - 3 Desember
1999, Doha, 9 - 13 November 2001, Cancun, 10 - 14 September 2003, Jenewa, 30
November - 2 Desember 2009, Jenewa, 15-17 Desember 2011 dimana putaran
perundingan kali ini, yaitu Doha Development Agenda (DDA) atau Doha Round
prosesnya memakan waktu paling lama, dan sampai saat ini belum berhasil
diselesaikan. Putaran Uruguay yang dipandang paling luas cakupannya bisa
diselesaikan dalam waktu sekitar 9 (sembilan) tahun. Perjalanan panjang dalam
menata sistem perdagangan multilateral sejak 1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi
hambatan perdagangan melalui sejumlah ketentuan yang diperlukan.Pada waktu
Putaran Kennedy, disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan
hambatan tariff. Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan sejumlah
ketentuan GATT dengan adanya ketentuan mengenai Technical Barriers to Trade;
Anti Dumping; Subsidies and Countervailing Measures; Import Licensing; dan
Customs Valuation. Pada saat itu pula Government Procurement pertama kali
dibahas dalam GATT. Pada Putaran Uruguay 1994, selain dihasilkan
ketentuan-ketentuan yang mencakup perdagangan barang, juga disepakati
persetujuan-persetujuan perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual
Property Rights, penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan
mengenai perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran
Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade Organization
(WTO).
Putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round
atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah
lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai dengan
situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya menyangkut upaya agar
perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan
persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan
subsidies (termasuk subsidi dibidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan
sebagainya. Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca
dimedia - tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa
perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita
melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang
mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players
dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture
Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang
perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011. Selain
itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain
karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara matang;
sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO;
agenda DDA dinilai overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti
reformasi bidang pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single
undertaking hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya
krisis ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah
negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya. Sebagai
salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh Declaration
Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari pentingnya keberadaan dan
peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi Perdagangan Indonesia tertuang dalam
Kebijaksanaan Nasional Sektor Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA
VI yang disusun berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri
salah satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional.
Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama perdagangan
internasional dan melaksanakan hasil-hasil Putaran Uruguay. Dalam rangka
program pembangunan saat itu, terdapat Program Pengembangan Kerjasama
Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama
perdagangan internasional dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar,
memperluas pasar di luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh
antara lain dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional,
menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan
kepentingan nasional dalam WTO. Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong
menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya: dibidang HAKI,
ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal
terjadinya praktek negara mitra dagang yang tidak fair, mempersengketakan
kebijakan negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO,
menyempurnakan peraturan nasional dibidang perdagangan misalnya tata niaga
ekspor-impor, menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai proses
pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan
internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya mengintegrasikan
perekonomian nasional kedalam perekonomian global telah dilakukan Indonesia
sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak terbentuknya WTO.
Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah
mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025
berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan pada
RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2
mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa Strategi Pembangunan yang
akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk
mendorong peningkatan ekspor non-migas selama periode tersebut, antara lain
adalah Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan, dan kerjasama
perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan nasional. Selanjutnya terdapat
Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor yang didukung
oleh Kegiatan Prioritas sebagai tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan
peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas
tersebut dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis
Pembangunan Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas
nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga
ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional dan
Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk memperkuat
peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum internasional.
Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack Trade
Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Salah satu bentuk
diplomasi perdagangan multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena
merupakan bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa
Indonesia memandang sangat penting masalah penyelesaian perundingan DDA. Kurun
waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi
perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya, namun justru untuk lebih
menggambarkan peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan.
Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan
yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum
WTO.Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan
berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang
dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental
atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya.
Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang
diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional termasuk
perundingan DDA.Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan Perdagangan
Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan fungsinya. Dalam proses
perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain.
Tekad dan semangat Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin
di berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian pula
dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha,
kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang sudah dilakukan
Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal.
Namun demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA
dengan sukses juga tergantung dari negara anggota WTO lainnya. Mengacu pada
harapan Dirjen WTO tentang indikasi waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada bulan
Desember 2011, maka waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tidaklah terlalu
panjang. Kalau penyelesaian perundingan DDA merupakan Strategi Utama dalam
Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih keras untuk
menyelesaikannya. Menyusun posisi nasional tentunya tidak terlepas dari situasi
dan kondisi pada waktu menyusun posisi dimaksud.Dari sudut pandang tersebut,
tentunya kita perlu mengkaji ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada saat
perundingan DDA dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun posisi
runding kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia - meskipun masih
banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang sebagai salah satu
‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat dari waktu kewaktu, anggota
G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan, peringkat daya saing yang meningkat, banyak menjalin kerjasama
dalam persetujuan perdagangan bebas ditingkat bilateral maupun regional dan
sebagainya. Kondisi tersebut tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri
sebagai dasar dalam menyusun posisi runding.Posisi runding yang selama ini
terasa defensif hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif. Ini merupakan waktu
yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali posisi Indonesia dalam
perundingan DDA selama ini, termasuk pada ‘political level’.Tahun ini Indonesia
adalah Ketua ASEAN, kita juga menghadapi pertemuan para pemimpin APEC di
Amerika Serikat dan G-20 di Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam
proses perundingan DDA hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011.
Semakin cepat perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih
banyak masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan iklim, krisis
pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita Pendirian WTO berawal
dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay Round” (1986-1994) serta
perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade”
(GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya
merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO
menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development
Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001. Pengambilan keputusan di WTO umumnya
dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.Badan tertinggi di
WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun
sekali.Kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General
Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite
dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan
perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar
WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan
atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh
dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua
kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional,
dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan
mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan
kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas.
Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan
nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi setiap Negara anggota.
Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA.Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007.Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa.Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral.Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka. Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha, pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya, seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada. Pada bulan Desember 2011 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politik (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema:
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO • Penguatan
aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
• Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. Menyangkut
pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s Concluding Statement yang
berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang digarisbawahi Anggota (Bagian
Kedua Statement) maupun Arahan Politis (political guidance) yang disepakati
bersama terkait tema-tema :
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.
Posisi Indonesia Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara
pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi
PersetujuanPembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam
kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi
antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang
sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam
merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaiandevelopment objectives
dari DDA.
Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi
kepentingan utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual,
lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan
multilateral. Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan
komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan
tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official
Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di
luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara
berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara
berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam
perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.
Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draft
modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan
selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya
untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak
akan merubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah
berhasil dicapai. Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan
secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance
yang ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru pasca Doha, walaupun
adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses
pasar Putaran Doha melebihi Draft Modalitas tanggal 6 Desember 2008.
REFERENSI:
§
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999.
§
Pakpahan, Normin S. dan Peter Mahmud (Penyusun). Pemikiran Ke Arah Pembaharuan
Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: ELLIPS
Project, 1996.
§
Rajagukguk, Erman. Indonesiasi Saham. Cetakan Pertama. Jakarta: Bina Aksara,
1985.
§
Rusli, Hardijan. Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya. Cet. Kedua. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1997.
§
Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO,
2003.
§
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1992.
§
Suryana, Agus. Negara Macan Asia, NAFTA & UNI EROPA. Cetakan Pertama.
Jakarta: Harapan Baru Raya, 2005.
§
Business Guide To Uruguay Round. Cetakan Pertama. Geneva: International Trade
Center UNCTAD/WTO (ITC), 1995.
§
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 1 Tahun 1995 LN
Nomor 13, TLN Nomor 3587.
§
Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967 LN Nomor 1,
TLN No. 2818.
§
Undang-Undang Tentang Perubahan dan Tambahan Tentang Undang-Undang Penanaman
Modal Asing. UU No. 11 Tahun 1970 LN Nomor 46, TLN Nomor 2943.
§
Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”,
International Studies Review, Vol. 4, No. 3, USA: Blackwell Publishing.
§
Abbot, Roderick. 2007. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate
publishing company.
§
Peet, Richard. 2003. “The World Trade Organization”, dalam Unholy Trinity: The
IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, pp. 146-199
Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum
Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
Posted
on 3:42 AM by Group 7 02PBJ
GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif-tarif dan
perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan,
GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada
5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam
GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip,
yaitu:
1.
Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara
lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara
tersebut.
2.
Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan
keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara
tertentu.
3.
Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara
harus transparan agar diketahui oleh negara lain.
Sesuai dengan perkembangannya,
masing-masing negara anggota GATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada
pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade
Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995.
Lahirnya membawa dua hal perubahan
mendasar, yaitu :
1. WTO
mengambilalih peran GATT dan menjadikannya sebagai salah satu lampiran aturan
WTO.
2.
Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam
perjanjian WTO. Misalnya GATS, TRIMS, TRIPS
Tujuan terbentuknya GATT
Tujuan
pembentukan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional
yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta juga untuk menciptakan
liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim
perdagangan yang seha. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang
hendak dicapai GATT:
1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;
2) meningkatkan kesempatan kerja;
3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Fungsi GATT:
• Pertama, suatu
perangkat ketentuan [aturan] multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang
dilakukan oleh negara- negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat
ketentuan perdagangan.
• Kedua, sebagai
suatu forum [wadah] perundingan perdagangan dan diupayakan agar
praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu
[liberalisasi perdagangan]
• Ketiga, GATT
mengupayakan agaraturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas
baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan juga
penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.
Garis-garis Besar Ketentuan GATT
GATT memiliki 38
pasal. Secara garis besarnya, dari pasal-pasal dibagi ke dalam 4
bagian:
1. Bagian Pertama : Pasal 1, Pasal Utama menetapkan prinsip
utama GATT, MFN Treatment pada anggota. Pasal 2 Penurunan Tarif yang disepakati
berdasarkan GATT.
2. Bagian Kedua : Memuat 30 Pasal (Ps III-Ps XXII).
3. Bagian Ketiga : Berisi 11 Pasal.
4. Bagian Keempat : Terdiri dari empat pasal yang ditambahkan pada
tahun 1965. Bagian ini berisi kebutuhan-kebutuhan khusus darai negara-negara
sedang berkembang.
GATT Sebagai Organisasi Internasional
THE GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT)
SEBAGAI ORGANISASI EKONOMI INTERNASIONAL
Oleh : Budi Harman
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
The
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau (Persetujuan Umum Mengenai Tarif
Perdagangan) adalah suatu perjanjian internasional yang sejarah lahirnya
bertepatan dari sejarah lahirnya ITO (Internasional Trade Organization).
Tujuannya antara lain sebagai forum yang membahas dan mengatur masalah
perdagangan dan ketenagakerjaan internasional. GATT sendiri merupakan bagian
dari perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang mengikat
lebih dari 120 negara. Keseluruhan negara memainkan peranan sekitar 90 persen
dari produk dunia.
Tujuan
dari persetujuan ini adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional
yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta suatu iklim perdagangan
internasional, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang
berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan penciptaan iklim
perdagangan yang sehat. Dengan tujuan demikian, sistem perdagangan yang
diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan di seluruh dunia.[1]
Dasar
pemikiran penyusunan GATT adalah kesepakatan yang memuat hasil-hasil negosiasi
tarif dan klausul-klausul perlindungan (protektif) guna mengatur
komitmen tarif. GATT karenanya dirancang sebagai suatu persetujuan tambahan
yang posisinya dibawah piagam ITO. Tetapi tidak dirancang sebagai organisasi
internasional. Menyadari piagam ITO tidak diratifikasi oleh negara pelaku utama
perekonomian dunia, negara-negara mengambil inisiatif untuk memberlakukan GATT
melalui “Protocol of Provisional Appliacation” (PPA) yang ditandatangani
oleh 22 negara anggota asli GATT pada akhir tahun 1947. sejak itulah GATT
kemudian diberlakukan dan perjalanan sejarah menunjukkan GATT bahkan berubah
menjadi organisasi internasional.
GATT
menyelenggarakan putaran-putaran perundingan untuk membahas isu-isu perdagangan
dunia. Sejak berdiri tahun 1947, GATT telah menyelenggarakan 8 (delapan)
putaran putaran terakhir di Uruguay Round berlangsung dari 1986 – 1994
yang dimulai dari kota Jenewa, Swiss.[2]
Oleh
karena merupakan organisasi internasional. GATT membentuk struktur kelembagaan
yang ditetapkan dalam konferensi-konferensinya. Yaitu, membentuk Sekretariat
(di Jenewa, Swiss), Sekretariat Eksklusif (yang kemudian diganti menjadi
Direktur Jenderal), Komisi dan Consultative group yang semua
berfungsi melaksanakan dan membahas masalah – masalah yang timbul dalam
perundingan konferensi GATT.[3]
Tujuan
utama GATT dapat dilihat pada Preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan yang
hendak dicapai GATT, yaitu :
- Meningkatkan taraf hidup manusia;
- Meningkatkan kesempatan kerja;
- Meningkatkan Pemanfaatan kekayaan
alam dunia; dan
- Meningkatkan produksi dan tukar –
menukar barang.
Dalam
mencapai tujuan, GATT memiliki 3 (tiga) fungsi utama; pertama, sebagai
suatu perangkat ketentuan-ketentuan aturan Multilateral yang mengatur tindak
tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan perangkat
ketentuan perdagangan (The rules of the road for trade). Kedua, sebagai
suatu forum atau wadah perundingan-perundingan perdagangan. Disini diupayakan
agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan – rintangan yang
menganggu liberalisasi perdagangan. Dan aturan atau prkatek perdagangan yang
demikian menjadi jelas, baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui
penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya. Ketiga, GATT
adalah sebagai pengadilan internasional dimana para anggotanya menyelesaikan
sengketa dagangnya dengan anggota – anggota GATT lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan
dengan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan masalah
tentang Bagaimana terbentuknya GATT itu Sendiri, sehingga menjadi sebuah
Organisasi Perdagangan Internasional ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah GATT.
GATT
dibentuk sebagai wadah yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada
masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga
multilateral disamping Bank Dunia dan IMF. Kebutuhan akan adanya suatu lembaga
multilateral yang khusus ini pada waktu masyarakat internasional menemui
kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan
berbagai pembatasan kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terulangnya praktek proteksionalisme yang berlangsung
pada tahun 1930 – an yang sangat memukul perekonomian dunia.
Negara-negara
yang pertama kali bergabung menjadi anggota adalah 23 (dua puluh tiga) negara.
Negara-negara ini membuat dan merancang piagam organisasi perdagangan
internasional (International Trade Organization) yang pada waktu
direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB. Dimana, isi piagam tersebut memuat
aturan-aturan dalam perdagangan dunia, ketenagakerjaan, praktek–praktek
restriktif (pembatasan perdagangan), penanaman modal internasional dan jasa.
Pertemuan
penting diselenggarakan di Jenewa, Swiss dari bulan April sampai November 1947.
membuat rancangan piagam ITO. Perundingan–perundingan bilateral berlangsung
antara negara–negara komisi antara lain: Brazil, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia
Selatan. Kemudian pertemuan penting di Havana pada tanggal 21 November 1947 –
24 Maret 1948) bertambah menjadi 66 (enam puluh enam) negara bergabung untuk
membahas piagam ITO. Pertemuan berhasil mengesahkan piagam Havana. Namun,
pertengahan tahun 1950, negara–negara peserta menemui kesulitan dalam
meratifikasinya. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat, pelaku utama dalam
perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya tidak akan
meratifikasi piagam tersebut. Sejak itu pulalah ITO secara efektif tidak
berfungsi sama sekali. Sehingga GATT juga tidak berlaku.
Para
perunding GATT mengeluarkan perjanjian internasional baru, yaitu The
Protocol of Provisional Application. Sejak dikeluarkan protokol ini GATT
tetap berlaku. Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan penting
yang terjadi pertama, dikeluarkannya Protokol yang mengubah bagian 1
dan pasal XXIX dan XXX dan Protokol yang mengubah Preambule dan bagian 2 dan 3.
Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian ke empat.
Bagian ini berlaku secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai
berlaku efektif tanggal 27 Juni 1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan
perluasan ekspor negara–negara kurang maju (pasal XXXVI – XXXVIII).[4]
B. Keanggotaan GATT.
Negara
anggota GATT adalah anggota WTO. Perlu dikemukan disini bahwa istilah anggota
pada GATT bukan “member”, tetapi “Contracting Party”. Hal ini
merupakan konsekuensi dari status GATT yang sifatnya, dengan meninjau sejarah
berdirinya, “organisasi”.[5]
Cara
menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal XXXIII GATT. Cara pertama, berlangsung
dengan proses pengujian dan perundingan yang panjang oleh Dewan GATT pada saat
menerima permohonan aksesi. Badan ini membuat putusan suatu kelompok kerja (working
party) yang bertugas menganalisa kebijakan perdagangan dan kemungkinan
kebijakan perdagangan negara pemohon di masa datang. Hasil dari perundingan
tersebut dilaporkan oleh kelompok kerja kepada Dewan. Persyaratan-persyaratan
yang disahkan Dewan kemudian menjadi bahan pemungutan suara yang mana 2/3 dari
semua anggota harus menyetujuinya. Pada tahap ini negara baru tersebut dapat
menanda tangani protokolnya dan untuk diratifikasi oleh perundang-undangan
nasionalnya.
Cara
kedua lebih sederhana menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal XXVI, yaitu
terhadap negara–negara yang menjadi negara merdeka dari penjajahan dan yang
telah menunjukkan kemandiriannya dalam melaksanakan hubungan–hubungan komersial
eksternalnya (luar negerinya).[6]
C. Perjanjian Akhir
Putaran Uruguay GATT.
Putaran
Uruguay adalah putaran yang paling kompleks dari 7 putaran yang ada sebelumnya
yang dilaksanakan oleh 108 negara, yang bukan saja merundingkan masalah-masalah
tradisional seperti market access saja, akan tetapi lebih luas dan
juga membahas hal-hal baru dalam perdagangan sebagai akibat majunya perdagangan
dan perkembangan ekonomi yang cepat.
Ada 15
masalah yang dirundingkan, dan dari 15 masalah tersebut telah dihasilkan
sebanyak 28 persetujuan yang disepakati dalam putaran Uruguay, sebagaimana
melaksanakan komitmen yang telah disepakati dalam putaran Tokyo tahun 1979,
terutama kesepakatan mengenai non tariff barier[7].
Selanjutnya, diadakan pertemuan tingkat menteri Contracting Parties GATT di
Punta del Este, Uruguay pada tanggal 20 September 1986 untuk meluncurkan
putaran perundingan perdagangan multi lateral. Dari putaran ini terbentuk
struktur perundingan, terdiri dari tiga badan utama: (i) the Trade
Negotiation Committee (TNC) yang bertujuan untuk mengawasi seluruh
jalannya putaran perundingan; (ii) the Group of Negotiation on Goods (GNG),
yang bertujuan untuk mengawasi semua subyek pembahasan kecuali jasa; (iii) the
Group of Negotiation of Service (GNS), yang bertujuan untuk mengawasi
perundingan di bidang jasa.[8]
Ada
empat tujuan utama yang hendak dicapai dalam putaran Uruguay ini:
- Menciptakan perdagangan bebas yang
akan memberi keuntungan bagi semua negara khususnya negara berkembang,
memberi peluang bagi produk ekspor dalam memasuki pasar melalui penurunan
dan penghapusan tarif, pembatasan kuantitatif, dan ganjalan-ganjalan
tindakan non tarif lainnya;
- Meningkatkan peranan GATT dan
memperbaiki sistem perdagangan multilateral berdasarkan Prinsip-prinsip
dan ketentuan-ketentuan GATT yang efektif dan dapat dipaksakan;
- Meningkatkan ketanggapan sistem GATT
terhadap perkembangan situasi perekonomian dengan mempelancar
penyesesuaian struktural, mempererat hubungan GATT dengan
organisasi-organisasi internasional yang relevan mengingat prospek
perdagangan di masa yang akan datang, termasuk tumbuhnya produk-produk
teknologi tinggi;
- Mengembangkan suatu bentuk kerjasama
pada tingkat nasional dan internasional untuk mempererat hubungan antara
kebijaksanaan perdagangan dengan kebijaksanaan ekonomi guna memperbaiki sistem
moneter internasional, arus aliran keuangan dan sumber-sumber investasi ke
negara sedang berkembang.
Pada
waktu putaran Uruguay diluncurkan tahun1986, dan direncanakan rampung tahun
1991, Arthur Dunkel seorang arsitek dari perjanjian GATT Direkrtur Jenderal
GATT, jauh-jauh hari sudah mengantisipasi masalah-masalah hukum yang timbul.
Insiatif ini berwujud dengan dikeluarkannya rancangan Akhir Perjanjian Putaran
Uruguay tahun 1991. baru pada bulan Desember 1993 rancangan ini menjadi
Perjanjian Akhir.
D. Bentuk Perdagangan
GATT
GATT
selalu megupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada
ketentuan–ketentuan yang disepakati bersama. Latar belakangnya dari suatu
konsep keunggulan komparatif. Maksudnya, bahwa negara menjadi makmur melalui
konsentrasi terhadap produk apa yang bsia diproduksi oleh negara tersebut
dengan sebaik-baiknya. Untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya itu, maka
produk tersebut harus dapat menembus bukan saja pasar dalam negeri tetapi juga
pasar dunia.
Namun
demikian, keberhasilan perdagangan tersebut bersifat tidak langgeng. Kompetisi
dalam produk tertentu dapat berdiri antara satu negara dengan negara lain,
perusahaan satu dengan perusahaan lain, ketika terjadi perubahan di pasar
terkait atau terciptanya teknologi baru yang membuat satu produk menjadi lebih
murah harganya dan lebih baik kualitasnya.
Kebijakan
perdagangan seperti proteksi impor atau subsidi dari pemerintah hanya akan
membuat suatu perusahaan menjadi tidak efektif, dan produk-produknya menjadi
tidak menarik. Hal ini, pada akhirnya, akan berakibat pada ditutupnya
perusahaan tersebut, meskipun ada proteksi dan subsidi yang diberikan kepada
perusahaan itu. Secara keseluruhan, apabila pemerintah terkait melaksanakan
kebijakan perdagangan demikian maka pasar luar negeri dan ekonomi dunia akan
menyusut.
E. Prinsip-Prinsip GATT.
Untuk
mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama, yaitu[9]:
- Prinsip Most Favoured-Nation.
Prinsip
ini merupakan kebijakan yang menyatakan bahwa perdagangan dilaksanakan atas
dasar non-diskriminatif. Semua anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang
sama terhadap negara-negara lain dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan
ekspor serta hal-hal yang menyangkut biaya-biaya lainnya.
Pendek
kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara
menikmati keuntungan dari suatu kebijakan perdagangan. Namun demikian, prinsip
ini mendapat pengecualian, khususnya dalam kepentingan negara yang sedang
berkembang, seperti pemberian preferensi-preferensi tarif dari negara-negara
maju kepada produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara
miskin dengan pemberian fasilitas sistem preferensi umum (Generalised
System of Preferences).
2.
Prinsip National Treatment.
Produk
dari satu negara anggota yang diimpor ke dalam suatu negara lainnya harus
diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri, baik dari segi pajak
ataupun dari segi pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap
pengaturan perundang-undangan yang mempengaruhi penjualan, pembelian,
pengangkutan, distribusi, atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri.
3. Prinsip Larangan Restriksi
(Pembatasan) Kuantitatif.
Restriksi
kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun, misalnya penetapan
kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor,
pengawasan, pembayaran produk-produk impor atau ekspor, pada umumnya dilarang
sesuai dengan pasal IX GATT. Hal ini disebabkan karena praktek demikian bisa
mengganggu praktek perdagangan normal.
4. Prinsip Perlindungan melalui
Tarif.
Pada
prinsipnya, GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri
domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melakukan
upaya-upaya perdagangan lainnya (non tariff commercial measures).
5. Prinsip Resiprositas.
Prinsip
ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule
GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan kepada
timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
F. Penyelesaian Sengketa
menurut GATT.
Ketentuan
GATT mengenai penyelesaian sengketa ini, pertama-tama menekankan pada
pentingnya konsultasi yang dilakukan di antara para pihak yang bersengketa.
Konsultasi tersebut bisa berupa perundingan informal maupun formal seperti
melalui saluran diplomatik.
Ada
dua alternatif yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Pertama,
si termohon menerima dilakukannya perdamaian, maka para pihak menyelesaikan
sengketanya dalam keadaan damai, dan dalam waktu 60 hari sejak permohonan
berkonsultasi diterima oleh pihak lainnya dikeluarkan putusan perdamaian
tersebut. Alternatif ke-dua, apabila si termohon menolak permohonan perdamaian
yang diajukan, maka pemohon dapat memohonkan suatu panel atau badan pekerja (working
party) pada pengadilan GATT, untuk menyelesaikan sengketanya.
Pembentukan
panel ini dianggap sebagai upaya terakhir suatu penyelesaian sengketa dalam
GATT. Namun demikian, ketentuan GATT masih mengizinkan para pihak untku
bersepakat mencari alternatif penyelesaian lainnya yang masih memungkinkan,
yaitu jasa baik, konsiliasi, dan mediasi. Ketiga bentuk alternatif itu pada
pokoknya bersifat sama, yaitu mengundang pihak ke-tiga yang netral untuk
menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam
kasus pisang antara masyarakat eropa (ME) melawan negara-negara Amerika Latin,
mereka menggunakan saluran jasa baik untuk menyelesaikan sengketa tersebut. ME
dan negara-negara Amerika Latin sepakat meminta Direktur Jendral GATT untuk
menyelesaikan sengketa mereka.
Perkembangan
lain yang lahir dari hasil perjanjian dibolehkan upaya hukum banding, yaitu
lembaga yang akan menerima keberatan salah satu pihak dalam sengketa dan
dibentuk panel yang terdiri dari 7 orang. Mereka bertugas selama 4 tahun.
Setiap kali ada permohonan banding maka 3 orang anggota akan menanganinya.
Mereka adalah orang-orang yang diakui otoritasnya, ahli dalam hukum perdagangan
internasional dan masalah-masalah GATT. Mereka adalah orang-orang privat atau
swasta, yang tidak terikat oleh tugas atau hubungan kerja apapun dengan
pemerintahnya atau pemerintah tertentu.
Proses
pemeriksaan banding tidak boleh lebih dari 60 hari sejak para pihak memberi
tahukan secara formal keinginannya untuk banding. Hasil pemeriksaan dilaporkan
dan disahkan oleh Badan Pemeriksa Sengketa (BPS).
BAB III
PENUTUP
Tampaknya,
dengan luasnya perubahan dan penambahan ketentuan baru dalam GATT, perjanjian
ini akan berdampak sangat luas terhadap perkembangan hukum perdagangan
internasional. Masalahnya sekarang adalah bagaimana para pelaku kebijakan
perdagangan dalam negeri memanfaatkan peluang-peluang hukum yang diberikan oleh
perjanjian GATT itu untuk memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Agar peluang
itu dapat efektif, pemahaman terhadap isi perjanjian setebal 550 halaman
itu merupakan sine qua non. Sesuatu yang mau tidak mau harus
dilakukan. Dengan adanya perubahan yang sangat besar dalam hukum perdagangan
global demikian itu, maka upaya mengidentifikasi langkah-langkah implementasi
perjanjian GATT dan Penyesesuaian produk – produk hukum nasional terhadapnya
harus segera dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Agus
Brotosusilo, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia, Makalah, Jakarta, 1995.
Alfonso
Samosir, Sistem Restrukturisasi Hubungan GATT dengan Blok-blok Perdagangan,
Makalah, Bandung, 1993.
Bambang
Kesowo, Pokok-pokok Catatan Mengenai Persetujuan TRIPs, Makalah,
Jakarta, 1995.
Huala
Adolf, Hukum Ekonomi Internasional. Cetakan Ketiga, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2002.
Huala
Adolf dan A, Chandrawlan. Masalah-masalah Hukum Perdagangan Internasional,
Rajagrafindo Persada,Jakarta, 1995.
Ida
Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi
Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000.
Narsif.
Diktat Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang, 2006.
Sudargo
Gautama, Masalah-masalah, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1986.
footnote
[2] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional.
Cetakan Ketiga, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 104-105.
[3] Narsif, Diktat Hukum Ekonomi Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2005, hlm. 96.
[4] Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum
Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika
Aditama, Bandung, 2000, hlm. 74-76.
[6] Huala Adolf dan Chandra Wulan. A, Masalah-masalah
Hukum dalam Perdagangan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 95-97.
[7] Alfonso Samosir, Sistem Restrukturisasi,
Hubungan GATT dengan Blok-blok Perdagangan, Makalah Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Bandung, 1993, hlm. 13.
[9] Agus Broto Susilo, Analisis Dampak Yuridis
Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Makahal,
Jakarta, 1995, hlm. 4-7.
GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS
AND TRADE (GATT)
SOAL DAN JAWABAN
1. Jelaskan apa saja yang menjadi fungsi-fungsi GATT!
a) Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan.
b) Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan, disini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan) selain itu GATT mengupayakan agar aturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui prmbukaan prosedur nasional / melalui penegakan dan penyebarluasan pemerlakuan peraturan.
c) Sebagai suatu pengadilan intenasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa daganganya dengan anggota GATT lainnya.
2. Prinsip-prinsip apa saja yang dijalankan GATT?
1) Prinsip non diskriminasi yang meliputi:
a. Prinsip Most Favored Nation (MFN)
Prinsip ini diatur dalam pasal I ayat (1) GATT 1947 yang berjudul general favored nation treatment, prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif, keringanan tariff impor yang deberikan pada produk suatu Negara harus deberikan pula kepada produk impor dan mitra dagang Negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera tanpa syarat terhadap produk yang berasal / yang diajukan kepada semua anggota GATT.
b. Prinsip perlakuan nasional (national treatment / NT principle)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1947, berjudul national treatment on international taxation and regulation, prinsip ini menyatakan bahwa, “this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.
2) Prinsip resiprositas (reciprocity) pasal II GATT 1947 prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT, prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasrkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kepada belah pihak, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra datangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. Prinsip ini diterpkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua Negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan / konsensi yang seimbang dan saling menguntungkan antara Negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.
3) Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT terhadap ekspor impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor / ekspor, retriksi penggunaan lisensi impor dan ekspor pengawasan pembayaran produk-produk impor / ekspor), pada umumnya dilarang (pasal IX) hal ini disebabkan karena praktek perdagangan yang demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
4) Prinsip perdagangan yang adil (fairness), prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang dumping (pasal VI) dan subsidi (pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu Negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tersebut, justru menimbulkan kerugian bagi Negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness uni diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
5) Prinsip perlindungan melalui tariff (tariff binding principle), setiap anggota Negara WTD harus mematuhi berapapun besarnya tariff yang telah disepakatinya / disebut dengan prinsip tariff mengikut, prinsip ini diatur dalam pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industry domestic melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya sehingga masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
3. Mengapa Negara-negara menerapkan tariff terhadap barang-barang yang masuk dari luar negeri?
Negara-negara menerapkan tariff terhadap barang-barang yang masuk dari luar negeri, karena tariff merupakan pungutan oleh Negara-negara untuk dijadikan kas Negara, tariff digunakan untuk melindungi produk domestic dari praktek dumping yang dilakukan oleh Negara eksportir untuk memberikan balasan terhadap Negara pengekspor melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi.
4. Apa saja yang menjadi perlakuan khusus kepada Negara-negara sedang berkembang?
Perlakuan khusus kepada Negara-negara yang sedang berkembang, perlakuan khususnya dengan mengakui keburuhan Negara yang sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan dan melarang Negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor Negara-negara sedang berkembang, Negara industry juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan / penghilangan tariff dan rintangan lain terhadap perdagangan Negara-negara yang sedang berkembang.
5. Mengapa GATT memperlakukan perlakuan khusus bagi Negara berkembang?
GATT memberlakukan perlakuan khusus bagi Negara berkembang karena Negara berkembang merupakan pelaku yang permanen dalam system perdagangan dunia dan untuk mendorong Negara-negara industry membantu pertumbuhan ekonomi Negara-negara sedang berkembang
6. Apa yang menjadi garis-garis besar ketentuan GATT?
GATT memiliki 38 pasal secara garis besarnya, dari pasal-pasal tersebut terbagi ke dalam 4 bagian:
1) Bagian pertama mengandung dua pasal, yaitu pasal I merupakan pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan Negara anggota untuk menetapkan klausul-klausul Most Favored Nation (MFN) treatment kepada semua anggotanya.
2) Pasal II berisi tentang penurunan tariff yang disepakati berdasarkan penurunan tariff yang disepakati, kesepakatan penurunan taris dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT. Bagian II memuat pasal 30 pasal dari pasal III sampai XXII.
3) Bagian kedua memuat 30 pasal, dari pasal III sampai pasal XXII
• Pasal III berisi tentang larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif, misalnya pungutan di dalam negeri / penerbitan undang-undang, peraturan untuk persyaratan-persyaratan administrative yang mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian, pangangkutan, distribusi / penggunaan produk terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.
• Pasal IV, ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi.
• Pasal V, mengatur kebebasan transaksi barang-barang, termasuk perahu dan sarana angkutan lainnya melalui wilayah suatu Negara anggota dengan menggunakan rute yang digunakan untuk transit internasional guna melakukan transit ke atau wilayah Negara anggota GATT lainnya dan Negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan menetapkan peraturan-peraturan terhadap transit ked an dari wilayah-wilayah Negara anggota lainnya.
• Pasal VI, mengatur anti-antidumping (dengan batasan-batasan yang tegas) dan bea masuk tambahan.
• Pasal VII, (valuation for custom purposes / penilaian atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan) pasal ini menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barak impor oleh pejabat-pejabat (bea cukai) dari Negara-negara anggota GATT terhadap barang impor.
• Pasal VIII, berada dibawah judul fess and formalities (biaya-biaya dan formalitas).
• Pasal IX, mengatur tanda asal (mark of origin).
• Pasal X, mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan.
• Pasal XI-XV, mengatur retriksi / pembatasan kuantitatif.
• Pasal XII, membolehkan suatu Negara untuk menerapkan pembatasan 24 pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca pembayarannya.
• Pasal XIII, mensyaratkan bahwa penerapan retriksi kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminatif.
• Pasal XIV, mengatur pengecualian-pengecualian penerapan retriksi kuantutatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu.
• Pasal XV, mengatur pengaturan mengenai pembayaran.
• Pasal XVII, mengatur perusahaan dagang Negara (state trading enterprise).
• Pasal XVIII, berada dibawah judul “governmental assistance to economic development” (bantuan pemerintah kepada pembangunan).
• Pasal XIX, mengatur tindakan darurat atas impor produk-produk tertentu.
• Pasal XXI, GATT membenarkan suatu Negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasarkan GATT dengan alasan keamanan (security exeption).
• Pasal XXII dan XXIII, mengatur penyelesaian sengketa didalam GATT.
4) Bagian ketiga berisi pasal II pasal
• Pasal XXIV mengatur bagaimana custom union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip Most Favored Nation.
• Pasal XXV menetapkan tidakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari anggota-anggota GATT.
• Pasal XXVI-XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT berupa penerimaan dan berlakunya ketentuan GATT (pasal XXXVI) status (kondisi) tariff dari Negara bukan anggota (pasal XXVII) ketentuan untuk perundingan tariff dan perubahan-perubahan dalam daftar tariff (pasal XXVIII) hubungan GATT dengan piagam Havana ( pasal XXIX) perubahan terhadap GATT (pasal XXX) batasan contracting parties (keanggotaan GATT) (pasal XXXII) masuknya menjadi anggota GATT (pasal XXXIV) dan tidak diterapkannya beberapa aturan GATT diantara anggota-anggota GATT tertentu (pasal XXXV) bagian ke empat terdiri dari 3 pasal (pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965. Pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus Negara-negaa sedang berkembang di bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen Negara-negara (maju) kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada Negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk membantu perdagangan Negara sedang berkembang.
7. Mengapa GATT menetapkan tariff impor dalam perdagangan internasional?
GATT menerapkan tariff impor dalam perdagangan internasional karena Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industry dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi Negara yang bersangkutan, penggunaan tariff tersebut harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT, Misalnya pengenaan tariff tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT atau WTO.
8. Apa yang dimaksud dengan perang tariff?
Perang tariff yaitu dimana terdapat lebih dari satu / banyak produsen dengan produk sejenis saling menurunkan harga barangnya agar harga barang tersebut dibeli oleh banyak konsumen dan meningkatkan angka penjualan serta laba bagi produsen.
9. Tariff impor dapat di kategorikan menjadi 4 bentuk. Jelaskan!
a) Ad-valoren tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan pada prosentasi nilai (harga) komoditi yang di impor.
b) Specific tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan per unit / per jumlah barang.
c) Mixed tariff, adalah pajak yang dikarenakan berdasarkan system kombinasi dari kedua bentuk tariff diatas.
d) Quota tariff, adalah tariff rendah yang dikenakan terhadap jumlah volume impor tertentu.
10. Apa yang dimaksud dengan deklarasi punta del este?
Deklarasi tersebut adalah deklarasi yang menentukan substansi yang akan dirundingkan juga menentukan bahwa ruang lingkup perundingan yang diperluas mencakup masalah baru / new issue yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh GATT, yakni:
a. Masalah perdagangan jasa
b. Masalah hak atas kekayaan intelektual, dan
c. Masalah kebijakan dalam investasi yang berkaitan dengan perdagangan.
1. Jelaskan apa saja yang menjadi fungsi-fungsi GATT!
a) Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan.
b) Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan, disini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan) selain itu GATT mengupayakan agar aturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui prmbukaan prosedur nasional / melalui penegakan dan penyebarluasan pemerlakuan peraturan.
c) Sebagai suatu pengadilan intenasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa daganganya dengan anggota GATT lainnya.
2. Prinsip-prinsip apa saja yang dijalankan GATT?
1) Prinsip non diskriminasi yang meliputi:
a. Prinsip Most Favored Nation (MFN)
Prinsip ini diatur dalam pasal I ayat (1) GATT 1947 yang berjudul general favored nation treatment, prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif, keringanan tariff impor yang deberikan pada produk suatu Negara harus deberikan pula kepada produk impor dan mitra dagang Negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera tanpa syarat terhadap produk yang berasal / yang diajukan kepada semua anggota GATT.
b. Prinsip perlakuan nasional (national treatment / NT principle)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1947, berjudul national treatment on international taxation and regulation, prinsip ini menyatakan bahwa, “this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.
2) Prinsip resiprositas (reciprocity) pasal II GATT 1947 prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT, prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasrkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kepada belah pihak, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra datangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. Prinsip ini diterpkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua Negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan / konsensi yang seimbang dan saling menguntungkan antara Negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.
3) Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT terhadap ekspor impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor / ekspor, retriksi penggunaan lisensi impor dan ekspor pengawasan pembayaran produk-produk impor / ekspor), pada umumnya dilarang (pasal IX) hal ini disebabkan karena praktek perdagangan yang demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
4) Prinsip perdagangan yang adil (fairness), prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang dumping (pasal VI) dan subsidi (pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu Negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tersebut, justru menimbulkan kerugian bagi Negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness uni diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.
5) Prinsip perlindungan melalui tariff (tariff binding principle), setiap anggota Negara WTD harus mematuhi berapapun besarnya tariff yang telah disepakatinya / disebut dengan prinsip tariff mengikut, prinsip ini diatur dalam pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industry domestic melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya sehingga masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
3. Mengapa Negara-negara menerapkan tariff terhadap barang-barang yang masuk dari luar negeri?
Negara-negara menerapkan tariff terhadap barang-barang yang masuk dari luar negeri, karena tariff merupakan pungutan oleh Negara-negara untuk dijadikan kas Negara, tariff digunakan untuk melindungi produk domestic dari praktek dumping yang dilakukan oleh Negara eksportir untuk memberikan balasan terhadap Negara pengekspor melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi.
4. Apa saja yang menjadi perlakuan khusus kepada Negara-negara sedang berkembang?
Perlakuan khusus kepada Negara-negara yang sedang berkembang, perlakuan khususnya dengan mengakui keburuhan Negara yang sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan dan melarang Negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor Negara-negara sedang berkembang, Negara industry juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan / penghilangan tariff dan rintangan lain terhadap perdagangan Negara-negara yang sedang berkembang.
5. Mengapa GATT memperlakukan perlakuan khusus bagi Negara berkembang?
GATT memberlakukan perlakuan khusus bagi Negara berkembang karena Negara berkembang merupakan pelaku yang permanen dalam system perdagangan dunia dan untuk mendorong Negara-negara industry membantu pertumbuhan ekonomi Negara-negara sedang berkembang
6. Apa yang menjadi garis-garis besar ketentuan GATT?
GATT memiliki 38 pasal secara garis besarnya, dari pasal-pasal tersebut terbagi ke dalam 4 bagian:
1) Bagian pertama mengandung dua pasal, yaitu pasal I merupakan pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan Negara anggota untuk menetapkan klausul-klausul Most Favored Nation (MFN) treatment kepada semua anggotanya.
2) Pasal II berisi tentang penurunan tariff yang disepakati berdasarkan penurunan tariff yang disepakati, kesepakatan penurunan taris dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT. Bagian II memuat pasal 30 pasal dari pasal III sampai XXII.
3) Bagian kedua memuat 30 pasal, dari pasal III sampai pasal XXII
• Pasal III berisi tentang larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif, misalnya pungutan di dalam negeri / penerbitan undang-undang, peraturan untuk persyaratan-persyaratan administrative yang mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian, pangangkutan, distribusi / penggunaan produk terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.
• Pasal IV, ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi.
• Pasal V, mengatur kebebasan transaksi barang-barang, termasuk perahu dan sarana angkutan lainnya melalui wilayah suatu Negara anggota dengan menggunakan rute yang digunakan untuk transit internasional guna melakukan transit ke atau wilayah Negara anggota GATT lainnya dan Negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan menetapkan peraturan-peraturan terhadap transit ked an dari wilayah-wilayah Negara anggota lainnya.
• Pasal VI, mengatur anti-antidumping (dengan batasan-batasan yang tegas) dan bea masuk tambahan.
• Pasal VII, (valuation for custom purposes / penilaian atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan) pasal ini menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barak impor oleh pejabat-pejabat (bea cukai) dari Negara-negara anggota GATT terhadap barang impor.
• Pasal VIII, berada dibawah judul fess and formalities (biaya-biaya dan formalitas).
• Pasal IX, mengatur tanda asal (mark of origin).
• Pasal X, mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan.
• Pasal XI-XV, mengatur retriksi / pembatasan kuantitatif.
• Pasal XII, membolehkan suatu Negara untuk menerapkan pembatasan 24 pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca pembayarannya.
• Pasal XIII, mensyaratkan bahwa penerapan retriksi kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminatif.
• Pasal XIV, mengatur pengecualian-pengecualian penerapan retriksi kuantutatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu.
• Pasal XV, mengatur pengaturan mengenai pembayaran.
• Pasal XVII, mengatur perusahaan dagang Negara (state trading enterprise).
• Pasal XVIII, berada dibawah judul “governmental assistance to economic development” (bantuan pemerintah kepada pembangunan).
• Pasal XIX, mengatur tindakan darurat atas impor produk-produk tertentu.
• Pasal XXI, GATT membenarkan suatu Negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasarkan GATT dengan alasan keamanan (security exeption).
• Pasal XXII dan XXIII, mengatur penyelesaian sengketa didalam GATT.
4) Bagian ketiga berisi pasal II pasal
• Pasal XXIV mengatur bagaimana custom union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip Most Favored Nation.
• Pasal XXV menetapkan tidakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari anggota-anggota GATT.
• Pasal XXVI-XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT berupa penerimaan dan berlakunya ketentuan GATT (pasal XXXVI) status (kondisi) tariff dari Negara bukan anggota (pasal XXVII) ketentuan untuk perundingan tariff dan perubahan-perubahan dalam daftar tariff (pasal XXVIII) hubungan GATT dengan piagam Havana ( pasal XXIX) perubahan terhadap GATT (pasal XXX) batasan contracting parties (keanggotaan GATT) (pasal XXXII) masuknya menjadi anggota GATT (pasal XXXIV) dan tidak diterapkannya beberapa aturan GATT diantara anggota-anggota GATT tertentu (pasal XXXV) bagian ke empat terdiri dari 3 pasal (pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965. Pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus Negara-negaa sedang berkembang di bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen Negara-negara (maju) kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada Negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk membantu perdagangan Negara sedang berkembang.
7. Mengapa GATT menetapkan tariff impor dalam perdagangan internasional?
GATT menerapkan tariff impor dalam perdagangan internasional karena Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industry dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi Negara yang bersangkutan, penggunaan tariff tersebut harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT, Misalnya pengenaan tariff tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT atau WTO.
8. Apa yang dimaksud dengan perang tariff?
Perang tariff yaitu dimana terdapat lebih dari satu / banyak produsen dengan produk sejenis saling menurunkan harga barangnya agar harga barang tersebut dibeli oleh banyak konsumen dan meningkatkan angka penjualan serta laba bagi produsen.
9. Tariff impor dapat di kategorikan menjadi 4 bentuk. Jelaskan!
a) Ad-valoren tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan pada prosentasi nilai (harga) komoditi yang di impor.
b) Specific tariff, adalah pajak yang diperhitungkan berdasarkan per unit / per jumlah barang.
c) Mixed tariff, adalah pajak yang dikarenakan berdasarkan system kombinasi dari kedua bentuk tariff diatas.
d) Quota tariff, adalah tariff rendah yang dikenakan terhadap jumlah volume impor tertentu.
10. Apa yang dimaksud dengan deklarasi punta del este?
Deklarasi tersebut adalah deklarasi yang menentukan substansi yang akan dirundingkan juga menentukan bahwa ruang lingkup perundingan yang diperluas mencakup masalah baru / new issue yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh GATT, yakni:
a. Masalah perdagangan jasa
b. Masalah hak atas kekayaan intelektual, dan
c. Masalah kebijakan dalam investasi yang berkaitan dengan perdagangan.
No comments:
Post a Comment