KHILAFAH: KONSEP DAN ROAD MAP
(MEMBEDAH MIMPI INTELEKTUAL HIZBUT TAHRIR)
Ahmad Nadhif
Terlepas dari pro-kontra
tentangnya, ide revivalisasi negara Khilafah, yang runtuh pada tanggal 3 Maret
1924 di tangan Musthafa Kemal At-Taturk, teryata masih tetap terjaga di
tengah-tengah masyarakat Muslim. Berbagai problem yang saat ini dihadapi oleh kaum
muslim, terutama penjajahan militer di Palestina, Irak, dan Afghanistan, yang
tidak kunjung bisa dipecahkan bahkan membuat ide Khilafah semakin menarik
perhatian dewasa ini.
Sebuah polling tahun 2007 yang
diselenggarakan oleh University of Maryland di empat negeri berpenduduk
mayoritas Muslim (Pakistan, Mesir, Maroko, dan Indonesia) mendapati fakta bahwa
angka dukungan untuk penegakan Khilafah mencapai 65%[1].
Tidak hanya di negeri-negeri Muslim, di kalangan mahasiswa Muslim Inggris,
berdasarkan survey the YouGov Poll tahun 2008, dukungan terhadap ide Khilafah
tidak kurang dari sepertiganya[2].
Sebelumnya, tahun 2005, The National Intelligence Council, sebuah badan
intelijen di bawah CIA, melalui laporannya yang berjudul Mapping the Global Future, memprediksikan bahwa Khilafah merupakan
salah satu di antara 4 kekuatan yang dimungkinkan akan memegang kendali
kekuasaan dunia pada tahun 2020.
Di tengah fenomena tersebut,
Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara gerakan-gerakan Islam yang sangat
gigih mengkampanyekan ide ini. Didirikan pada tahun 1953 di al Quds oleh
Taqiyuddin an-Nabhani, gerakan ini kini telah aktif bergerak di 40 negara.
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan secara singkat konsep Khilafah (untuk
menakar kelayakan ide) yang diusung Hizbut Tahrir dan road map (untuk memahami
bagaimana konsep hendak dicapai) yang dicanangkannya.
KHILAFAH SEBAGAI SEBUAH SISTEM PEMERINTAHAN
Tentang definisi Khilafah, Ibnu
Khaldun menyatakan:
وإذ قد بيَّنَّا
حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى
خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
“Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu
adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di
dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah
khalifah atau imam[3]”
Prof. Dr. Mahmud Abdu al-Majid Al
Khalidiy, dalam disertasi doktornya yang berjudul Qawa’id al- Nidzam al-Hukm
f î al-Islam merangkum pendapat
para ulama tentang definisi Khilafah lalu merumuskannya sebagai:
رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لإقامة احكام الشرعى الإسلامي وحمل
الدعوة الإسلامية الى العالم
"Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban
dakwah islam ke suluruh dunia[4]”
Definisi Al-Khalidi ini sama persis dengan definisi yang diberikan oleh
Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidzâm al-Hukm fí al-Islâm[5].
Di antara 23 kitab Mutâbanât Hizbut Tahrir, setidaknya ada
2 buku yang secara khusus membahas tentang sistem Khilafah, yaitu al-Nidzâm al-Hukm fi al-Islâm, dan al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm
wa al-Idârat. Dalam kitab yang pertama, disebutkan ada empat pilar
fundamental (al-qawâid) sistem
Khilafah, yang jika salah satunya tidak ada maka secara de facto pemerintahan Khilafah tersebut dianggap tidak ada[6].
Empat pilar itu yaitu:
1. Kedaulatan di tangan hukum syara’
2. Kekuasaan di tangan rakyat
3. Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
4. Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni terhadap
hukum-hukum syara’.
Kedaulatan di tangan syara’
Kedaulatan (al-siyâdat) yang dimaksud
adalah yang menangani (al-mumâris)
dan yang menjalankan (al-musayyir) suatu kehendak atau aspirasi (irâdat) tertentu. Karena itu, apabila
ada seseorang yang menangani dan mengendalikan aspirasinya, maka sesungguhnya
kedaulatannya ada di tangannya sendiri. Apabila aspirasi orang tersebut
ditangani dan dikendalikan oleh orang lain, maka orang tersebut esensinya telah
menjadi hamba (abdun) bagi orang
lain. Apabila aspirasi umat ditangani dan dikendalikan oleh umat lain dengan
cara paksa, maka umat tersebut telah menjadi koloni mereka. Secara praktis, penanganan dan pengendalian
aspirasi ini termanifestasikan dalam wewenang membuat hukum. Dengan kata lain, siapa
yang berhak menetapkan hukum, dialah pemegang kedaulatan.
Dalam hal pemegang kedaulatan
inilah letak perbedaan sentral antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi,
kerajaan, maupun teokrasi. Dalam sistem Khilafah, kewenangan membuat hukum dan
menentukan benar-salah ada di tangan syara’[7],
bukan di tangan rakyat yang diwakili DPR sebagaimana dalam sistem demokrasi,
bukan di tangan penguasa sebagaimana dalam sistem kerajaan, juga bukan di
tangan rohaniawan yang mengklaim menjadi “penyambung lidah Tuhan” sebagaimana
dalam sistem teokrasi. Sehingga, seorang Khalifah diangkat untuk menjalankan
hukum-hukum syara’ dan ketika ia melakukan kelalaian, maka rakyat akan
melakukan muhâsabah. Dalam derajat
penyimpangan tertentu, rakyat bahkan dibolehkan mengangkat senjata untuk
menurunkan khalifah. Imam Muslim
meriwayatkan dari Ubâdah bin Shâmit tentang baiat:
“… dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak. Rasulullah
bersabda: kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan
kalian mempunyai bukti yang kuat di sisi Allah”[8]
Kekuasaan di tangan rakyat
Adapun pilar kedua, yaitu
kekuasaan di tangan umat, diambil dari fakta bahwa syara’ telah menjadikan
pengangkatan khalifah adalah oleh umat, dan bahwa seorang khalifah hanya
memiliki kekuasaan melalui baiat yang dilakukan oleh umat. Dari Abu Hurairah,
Rasul SAW bersabda,
“… Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah
kepada mereka haknya, karena nanti Allah akan menuntut pertanggungjawaban
mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepadanya[9]”
Dalam hal pemegang kekuasaan
inilah sistem khilafah mempunyai kemiripan dengan demokrasi, yaitu bahwa
legitimasi kepemimpinan seorang kepala negara didasarkan pada kehendak rakyat.
Akan tetapi, meskipun sama-sama diangkat oleh rakyat, seorang Khalifah diangkat
untuk menjalankan hukum syara’ sementara dalam demokrasi seorang presiden
diangkat untuk menjalankan hukum-hukum buatan rakyat (melalui lembaga
perwakilan semacam DPR). Hal ini terkait dengan konsep kedaulatan sebagaimana
dibahas di atas.
Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
Salah satu dalil wajibnya
mengangkat seorang khalifah adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari
Nafi’ yang berkata: “Abdullah bi Umar berkata kepadaku: ‘Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan bertemu Allah
di hari kiamat tanpa mempunyai hujjah, dan siapa saja yang mati sedangkan di
atas pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah”[10].
Dalam Islam, baiat adalah satu-satunya metode sah untuk mengangkat
khalifah. Sehingga, ketiadaan baiat menunjukkan ketiadaan khalifah, yang itu
berimplikasi pada status “mati jahiliyah” yang melekat pada setiap muslim yang
meninggal dunia di masa tersebut, sebuah metafor tentang betapa besar dosa yang
ditanggung.
Para ulama dari berbagai madhab pun telah sepakat tentang wajibnya
mengangkatkan seorang khalifah. Imam ibn Hazm menyatakan, sebagaimana dikutip
abdullah al-dumaiji[11]: “Telah sepakat semua
ahlu sunnah, semua murji’ah, semua syi’ah, dan semua khawarij atas wajibnya
Imamah… kecuali golongan Najdat dari Khawarij”
Akan halnya buku Syeikh Ali Abdul Raziq yang berjudul Al-Islaam wa Ushuul al-Hukm: Bahts fi
al-Khilaafah wa al-Hukuumah, yang
menafikan konsep politik dalam Islam, maka pembacaan kritis terhadap buku
tersebut dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya menunjukkan bahwa buku yang
masih saja dijadikan rujukan utama kalangan liberal tersebut sangatlah
diragukan otentisitasnya sebagai karangan Abdul Raziq, yang dengan itu saja
sebenarnya sudah menggugurkan semua tesis yang dihasungnya.
Bagaimana mungkin, sebagai contoh kecil, seorang syeikh al-Azhar dalam
kalimat pertamanya mengatakan bahwa secara bahasa khilafah adalah mashdar dari kata takhallafa[12]
(bukannya khalafa), sebuah kesalahan yang tidak mungkin
dilakukan seorang Arab, yang tidak terdidik sekalipun. Pun, ketika dia
menyatakan bahwa madzhab pertama di kalangan kaum Muslim menganggap bahwa
kedaulatan dan kekuasaan seorang khalifah berasal dari Allah SWT tanpa menunjukkan
madzhab mana yang dimaksud dan dengan dalil hanya berupa syair-syair, yang
secara nature memang bermakna majazi, dan redaksi pujian
oleh seorang warga negara kepada Khalifah, yang juga sangat tidak layak
dijadikan dalil, itu semakin memperkuat keganjilan bahwa buku ini ditulis oleh
seseorang dengan gelar Syeikh. Keanehan-keanehan ini dan yang semisal
dipaparkan dengan lugas oleh Dr. Dhiya al-Diin al-Rais dalam bukunya Al-Islam wa al-Khilaafah fi al-‘Ashr
al-Hadits, yang terbit tahun 1972.
Secara faktual, telah begitu banyak penulis buku yang membantah buku
Abdul Raziq tetapi sang Syeikh tidak pernah menanggapinya. Salah satunya adalah
buku an-Nazhaariyaat al-Siyaasah
al-Islamiyyah, yang oleh
pengarangnya, Dr. Dhiya al-Diin al-Rais, disodorkan langsung secara face to face kepada Abdul Raziq untuk ditanggapi. Akan tetapi, hingga buku bantahan
tersebut terbit ketiga kalinya, Abdul Raziq tidak memberikan respon apa-apa
hingga wafatnya[13].
Tidak hanya itu, Abdul Raziq ternyata
juga menolak tawaran penerbit Daar al-Hilaal untuk mencetak ulang bukunya[14], seakan telah menyadari
bahwa buku tersebut tidak layak dipertahankan.
Adapun bahwa Khalifah itu tidak
boleh lebih dari satu dalam satu masa disandarkan pada hadits yang diriwayatkan
dari Abi Said al-Khudri dari Nabi saw yang bersabda:
“Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya”[15]
Hadits ini dengan tegas
menyatakan haramnya kaum muslim memiliki lebih dari satu khalifah. Hal ini
menunjukkan bahwa secara normatif persatuan yang dikehendaki untuk umat Islam
adalah juga persatuan politik, yang itu juga berarti pengintegrasian semua
potensi kaum muslim.
Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni (adopsi) terhadap
hukum-hukum syara’.
Maksudnya adalah bahwa jika
terdapat lebih dari satu hasil ijtihad atas suatu perkara , Khalifahlah yang
berhak memutuskan pendapat mana yang akan diterapkan oleh negara. Ini
didasarkan pada ijma’ sahabat, misalnya pada kasus tunduknya Umar bin Khattab
terhadap pendapat Khalifah Abu Bakar dalam masalah pembagian harta dan jatuhnya
talak meskipun beliau mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini akhirnya
diformulasikan dalam kaidah ushul yang sangat terkenal semisal, Amr al-Imâm yarfa’ al-khilâf (keputusan
Imam menghilangkan perbedaan pendapat) dan Amr
al-imâm nâfiadzun dhâhiran wa bâthinan
(keputusan Imam berlaku—yakni ditaati—baik secara dhahir maupun batin)[16].
Dengan demikian, justru dengan adanya Khilafah, berbagai perbedaan pendapat
dapat diselesaikan. Ini menjawab keraguan sementara pihak yang menyangka bahwa
dengan adanya berbagai perbedaan pendapat Khilafah tidak bisa diwujudkan.
Hanya saja, Hizbut Tahrir
merekomendasikan bahwa untuk Khilafah yang akan datang hendaknya Khalifah hanya
melegislasi hukum-hukum syara dalam ranah kebijakan publik dan tidak mengadopsi
hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah kecuali dalam masalah zakat dan
jihad, dan tidak mengadopsi pemikiran dalam ranah aqidah Islam. Pasal 4
Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Khilafah (mashrû al-dustûr) yang disisipkan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya
al-Daulat al-Islamiyyah, berbunyi: “Khalifah tidak melegislasi hukum syara’
apapun yang berhubungan dengan ibadah, kecuali masalah zakat dan jihad.
Khalifah juga tidak melegislasi pemikiran apapun yang berkaitan dengan akidah
Islam[17]”
Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa
Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang bersifat khilafiyah
dalam persoalan ibadah. Khalifah juga tidak mengadopsi ide-ide tertentu yang
terkait dengan akidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Muktazilah
atau aliran Wahabi (Salafi).
an-Nabhani menyatakan sikap
Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai
masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat[18]
STRUKTUR NEGARA KHILAFAH
Tidak hanya berhenti pada
penetapan al-qawâid al-khilâfah yang
masih bersifat global seperti di atas, Hizbut Tahrir juga telah memformulasikan
detil struktur pemerintahan dan administrasi negara Khilafah. Dalam Kitabnya al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm
wa al-Idârat, Hizbut Tahrir berhasil memotret struktur negara pada masa
Rasulullah dan sahabat (struktur “kabinet” Madinah tersebut bisa digambarkan
dalam diagram di halaman akhir makalah ini) untuk dijadikan patokan bagi
Khilafah yang akan datang. Poin-poin struktur pemerintahan Islam adalah sebagai
berikut:
1. Kepala Negara (Khalifah. Syarat in’iqâd: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu)
2. Mu’áwwin al-Tafwîdh (pembantu yang diangkat Khalifah dalam
mengemban tanggungjawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan)
3. Wuzarâ al-tanfîdz (pembantu khalifah dalam kesekretariatan.
Tugasnya menyangkut bidang administratif, bukan pemerintahan)
4. Para Wali (semacam gubernur)
5. Amirul Jihad (direktorat perang, menangani seluruh urusan yang
berkaitan dengan kekuatan bersenjata baik pasukan, persenjataan, peralatan,
logistik, dsb))
6. Keamanan Dalam Negeri (menangani segala hal yang bisa mengganggu
keamanan, mencegah segala hal yang dapat mengancam keamanan dalam negeri)
7. Urusan Luar Negeri (menangani seluruh urusan luar negeri yang
berkaitan dengan hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara asing baik dalam
aspek politik, ekonomi, perindustrian, pertanian, perdagangan, hubungan pos,
hubungan kabel maupun nirkabel, dsb.)
8. Direktorat perindustrian (menangani seluruh urusan yang
berhubungan dengan industri, baik industri berat seperti industri mesin dan
peralatan, industri otomotif dan transportasi, industri bahan baku dan industri elektronika; maupun industri ringan).
9. Lembaga Peradilan (dibagi tiga: qadli, berwenang menyelesaikan
perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan uqubat; al-muhtasib,
berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak
jamaah/masyarakat; qadli madzalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi
antara rakyat dan negara).
10. Mashâlih al-Nâs (Kemaslahatan Umum, menangani pendidikan,
kesehatan, ketenagakerjaan, kewarganegaraan, pencetakan mata uang,
transportasi, dsb.)
11. Baitul Mal (menangani pemasukan dan pengeluaran harta)
12. Lembaga Informasi (menangani penetapan dan pelaksanaan politik
penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim)
Karena keterbatasan ruang,
rincian lengkap mengenai syarat, masa
jabatan, penggajian, tupoksi, dan lain sebagainya bisa dirujuk langsung dalam
buku al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi
al-Hukm wa al-Idârat dan Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilfah
tentang sistem pemerintahan dari pasal 16 s.d. pasal 111.
JALAN PANJANG MENUJU TEGAKNYA KHILAFAH
Meski Khilafah bukan merupakan
tujuan Hizbut-Tahrir, tetapi gerakan ini meyakini bahwa tujuan besarnya, yaitu
melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia,
berarti mengajak kaum Muslim untuk kembali hidup secara Islami di sebuah dar al-Islam (khilafah)[20].
Tentu hal tersebut tidak semudah membalik tangan. Apalagi Hizbut Tahrir sudah
dengan tegas menyatakan bahwa daulah yang hendak ditegakkan bukan sekedar
daulah yang bernama daulah Islam tetapi berhukum pada hukum yang tidak
diturunkan Allah, bukan pula daulah yang berhukum dengan hukum Allah tetapi
tidak mengemban Islam sebagai qiyâdat
fikriyat[21].
Karenanya, sebagian bahkan
menganggap itu merupak sebuah utopia. Bahkan beberapa waktu lalu, terbit sebuah
buku berjudul Ilusi Negara Islam. Namun,
setidaknya Hizbut Tahrir telah menggariskan langkah-langkah untuk mencapai
“mimpi intelektual”nya itu.
Seperti disebutkan dalam
kitabnya, al-Takattul al-hizby, Hizbut
Tahrir telah menetapkan tiga tahapan besar dalam perjuangannya, yaitu:
1. Marhalah Tatsqîf, yaitu
tahap pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-individu yang
meyakini ide dan metode gerakan.
2. Marhalah Tafa’ul ma’a
al-Ummat, yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat agar mereka turut
memikul kewajiban dakwah, sehingga akan menjadikannya sebagai masalah utama,
serta berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
3. Marhalah Istilâm al-Hukm, yaitu
tahap penerimaan kekuasaan secara utuh untuk menerapkan hukum-hukum Allah[22]
Dalam naskah pidato berjudul Manhaj Hizb al-Tahrîr fî al-Tagyîr, yang
disampaikan oleh delegasi Hizbut Tahrir di Konferensi ISNA (Islamic Society of
North America) tanggal 22 Desember 1989 di Missouri Amerika Serikat, disebutkan bahwa pada tahapan kedua itu Hizbut Tahrir
melakukan beberapa hal, di antaranya: tatsqîf
murakkaz (pembinaan intensif, sebagaimana di tahap 1), tatsqîf jama’iy (seperti seminar, dispub, dsb), al-shirâ al-fikr (perang pemikiran
melawan ide-ide asing), al-kifâh
al-siyâsiy (perjuangan politik, membongkar makar negara-negara penjajah dan
antek-anteknya), tabanniy mashalih
al-ummat (mengadopsi kemaslahatan umat dengan cara melayani dan mengatur
urusan-urusan umat sesuai dengan hukum syara’)[23].
Jika tahap ini berhasil, yaitu meyakinkan umat tentang urgensi Khilafah untuk
menerapkan hukum-hukum syara’, maka ini merupakan potensi kekuatan yang luar
biasa. Beberapa hasil survey dan poling seperti yang disebutkan di awal tulisan
ini mengindikasikan bahwa proyek “pematangan” umat ini sebenarnya bisa
dilakukan. Inilah yang ditakutkan Patrick Buchanan, seorang tokoh Partai
Demokrat AS, ketika ia menulis,
“If Islamic rule is an idea taking hold
among the Islamic masses, how does even the best army on earth stop it? (bila
ide pemerintahan Islam sudah diyakini di kalangan masyarakat Muslim, bagaimana
bisa hal itu dihentikan, meski oleh pasukan terbaik di muka bumi sekali pun?[24]”
Tidak hanya berhenti di situ,
meski bukan termasuk bagian dari tahap tafa’ul, tetapi pada waktu yang sama
Hizbut Tahrir melakukan apa yang dinamakan dengan Thalab an-Nushrah, yaitu mencari dukungan kekuatan dari para ahl al-quwwah (misalnya militer), yang
bertujuan untuk mendapatkan perlindungan sehingga aktivitas dakwah bisa terus
dilangsungkan dan untuk mencapai kekuasaan dalam rangka menegakkan Khilafah dan
menerapkan kembali aturan-aturan Allah SWT.[25]
Ini seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau mendatangi Bani Tsaqif,
Bani Amr bin Sha’sh’ah, dan lain sebagainya hingga akhirnya bertemu dengan suku
Aus dan Khajraj, yang dengan pertolongan Allah lewat mereka, berdirilah negara
Madinah.
Walhasil, meski harus diakui
bahwa menegakkan kembali Khilafah mungkin sangat sulit dicapai, tetapi
penyiapan konsep yang utuh tentang sistem pemerintahan ini dan langkah-langkah
yang terarah menuju tercapainya cita-cita tersebut menjadikan ide ini tidak seharusnya
dikatakan ilusi. Bahkan, semestinyalah, upaya pembebasan manusia, khususnya
umat Islam, dari kungkungan Kapitalisme sekuler menuju naungan sistem Islam
hendaknya didukung semaksimal mungkin.
Wallahu a’lam.
[1] Kull,
Stephen. 2007. Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and
al Qaeda. Washington: Worldpublicopinion.org
[2] Taher, Abul. July 27 2008. A third of Muslim students back
killings: Radicalism and support for sharia is strong in British universities. http://www.timesonline.co.uk/tol/news/uk/article4407115.ece
[4] Al
Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal
225-230
[6]
Ibid hal 42
[7] QS
An-Nisa: 59, 65
[8]
Shahih Muslim, hadits no 1808
[9]
Ibid, hadits no 3429
[10]
Ibid, hadis no. 1851.
[11]
Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman. 1987. Al-Imaamah al-‘Udzma ‘inda
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (tanpa penerbit), hal 40.
[12] Abdul
Raziq, Ali. 1925. Al-Islaam wa Ushuul
al-Hukm: Bahts fi al-Khilaafah wa al-Hukuumah. Mesir: Mathba’ah Mishr.
[13]
Wawancara Ahmad Bahjat dengan Dr.
Dhiya al-Diin al-Rais yang dimuat dalam Majalah Radio dan Televisi Mesir
edisi No. 2147, 8 Mei 1976.
[14] Ibid.
[15] Shahih
Muslim, hadits no 1819
[16]
Bin Khalil, Atha’. 1990. Taysír al-Wushûl
Ilâ al-Ushûl: Dirâsât fí Ushûl al-Fiqh. Ammân: Dâr al-Ummat.
[17]
An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. Al-Daulat
al-Islamiyyah. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 250
[18] An-Nabhani,
Taqiuddin. 2009. Muqaddimah ad-Dustur aw
al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Jilid I. Beirut: Dâr al-Ummat, hal 19.
[19]
Tahrir, Hizbut. 2005. al-Ajhizat fi
Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 29
[20]
Anonim. 2002. Mengenal Hizbut Tahrir,
Partai Politik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, hal. 19
[21]
An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. al-Daulat
al-Islamiyyat. Beirut: Dâr al-Ummat.
[22]
An-Nabhani, Taqiuddin. 2001 al-Takattul
al-hizby. tanpa kota dan penerbit. Hal, 36.
[23]
Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut
Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
[25]
Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut
Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
KHILAFAH: KONSEP DAN ROAD MAP
(MEMBEDAH MIMPI INTELEKTUAL HIZBUT TAHRIR)
Ahmad Nadhif
Terlepas dari pro-kontra
tentangnya, ide revivalisasi negara Khilafah, yang runtuh pada tanggal 3 Maret
1924 di tangan Musthafa Kemal At-Taturk, teryata masih tetap terjaga di
tengah-tengah masyarakat Muslim. Berbagai problem yang saat ini dihadapi oleh kaum
muslim, terutama penjajahan militer di Palestina, Irak, dan Afghanistan, yang
tidak kunjung bisa dipecahkan bahkan membuat ide Khilafah semakin menarik
perhatian dewasa ini.
Sebuah polling tahun 2007 yang
diselenggarakan oleh University of Maryland di empat negeri berpenduduk
mayoritas Muslim (Pakistan, Mesir, Maroko, dan Indonesia) mendapati fakta bahwa
angka dukungan untuk penegakan Khilafah mencapai 65%[1].
Tidak hanya di negeri-negeri Muslim, di kalangan mahasiswa Muslim Inggris,
berdasarkan survey the YouGov Poll tahun 2008, dukungan terhadap ide Khilafah
tidak kurang dari sepertiganya[2].
Sebelumnya, tahun 2005, The National Intelligence Council, sebuah badan
intelijen di bawah CIA, melalui laporannya yang berjudul Mapping the Global Future, memprediksikan bahwa Khilafah merupakan
salah satu di antara 4 kekuatan yang dimungkinkan akan memegang kendali
kekuasaan dunia pada tahun 2020.
Di tengah fenomena tersebut,
Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara gerakan-gerakan Islam yang sangat
gigih mengkampanyekan ide ini. Didirikan pada tahun 1953 di al Quds oleh
Taqiyuddin an-Nabhani, gerakan ini kini telah aktif bergerak di 40 negara.
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan secara singkat konsep Khilafah (untuk
menakar kelayakan ide) yang diusung Hizbut Tahrir dan road map (untuk memahami
bagaimana konsep hendak dicapai) yang dicanangkannya.
KHILAFAH SEBAGAI SEBUAH SISTEM PEMERINTAHAN
Tentang definisi Khilafah, Ibnu
Khaldun menyatakan:
وإذ قد بيَّنَّا
حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى
خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
“Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu
adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di
dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah
khalifah atau imam[3]”
Prof. Dr. Mahmud Abdu al-Majid Al
Khalidiy, dalam disertasi doktornya yang berjudul Qawa’id al- Nidzam al-Hukm
f î al-Islam merangkum pendapat
para ulama tentang definisi Khilafah lalu merumuskannya sebagai:
رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لإقامة احكام الشرعى الإسلامي وحمل
الدعوة الإسلامية الى العالم
"Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim secara
keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban
dakwah islam ke suluruh dunia[4]”
Definisi Al-Khalidi ini sama persis dengan definisi yang diberikan oleh
Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidzâm al-Hukm fí al-Islâm[5].
Di antara 23 kitab Mutâbanât Hizbut Tahrir, setidaknya ada
2 buku yang secara khusus membahas tentang sistem Khilafah, yaitu al-Nidzâm al-Hukm fi al-Islâm, dan al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm
wa al-Idârat. Dalam kitab yang pertama, disebutkan ada empat pilar
fundamental (al-qawâid) sistem
Khilafah, yang jika salah satunya tidak ada maka secara de facto pemerintahan Khilafah tersebut dianggap tidak ada[6].
Empat pilar itu yaitu:
1. Kedaulatan di tangan hukum syara’
2. Kekuasaan di tangan rakyat
3. Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
4. Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni terhadap
hukum-hukum syara’.
Kedaulatan di tangan syara’
Kedaulatan (al-siyâdat) yang dimaksud
adalah yang menangani (al-mumâris)
dan yang menjalankan (al-musayyir) suatu kehendak atau aspirasi (irâdat) tertentu. Karena itu, apabila
ada seseorang yang menangani dan mengendalikan aspirasinya, maka sesungguhnya
kedaulatannya ada di tangannya sendiri. Apabila aspirasi orang tersebut
ditangani dan dikendalikan oleh orang lain, maka orang tersebut esensinya telah
menjadi hamba (abdun) bagi orang
lain. Apabila aspirasi umat ditangani dan dikendalikan oleh umat lain dengan
cara paksa, maka umat tersebut telah menjadi koloni mereka. Secara praktis, penanganan dan pengendalian
aspirasi ini termanifestasikan dalam wewenang membuat hukum. Dengan kata lain, siapa
yang berhak menetapkan hukum, dialah pemegang kedaulatan.
Dalam hal pemegang kedaulatan
inilah letak perbedaan sentral antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi,
kerajaan, maupun teokrasi. Dalam sistem Khilafah, kewenangan membuat hukum dan
menentukan benar-salah ada di tangan syara’[7],
bukan di tangan rakyat yang diwakili DPR sebagaimana dalam sistem demokrasi,
bukan di tangan penguasa sebagaimana dalam sistem kerajaan, juga bukan di
tangan rohaniawan yang mengklaim menjadi “penyambung lidah Tuhan” sebagaimana
dalam sistem teokrasi. Sehingga, seorang Khalifah diangkat untuk menjalankan
hukum-hukum syara’ dan ketika ia melakukan kelalaian, maka rakyat akan
melakukan muhâsabah. Dalam derajat
penyimpangan tertentu, rakyat bahkan dibolehkan mengangkat senjata untuk
menurunkan khalifah. Imam Muslim
meriwayatkan dari Ubâdah bin Shâmit tentang baiat:
“… dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak. Rasulullah
bersabda: kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan
kalian mempunyai bukti yang kuat di sisi Allah”[8]
Kekuasaan di tangan rakyat
Adapun pilar kedua, yaitu
kekuasaan di tangan umat, diambil dari fakta bahwa syara’ telah menjadikan
pengangkatan khalifah adalah oleh umat, dan bahwa seorang khalifah hanya
memiliki kekuasaan melalui baiat yang dilakukan oleh umat. Dari Abu Hurairah,
Rasul SAW bersabda,
“… Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah
kepada mereka haknya, karena nanti Allah akan menuntut pertanggungjawaban
mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepadanya[9]”
Dalam hal pemegang kekuasaan
inilah sistem khilafah mempunyai kemiripan dengan demokrasi, yaitu bahwa
legitimasi kepemimpinan seorang kepala negara didasarkan pada kehendak rakyat.
Akan tetapi, meskipun sama-sama diangkat oleh rakyat, seorang Khalifah diangkat
untuk menjalankan hukum syara’ sementara dalam demokrasi seorang presiden
diangkat untuk menjalankan hukum-hukum buatan rakyat (melalui lembaga
perwakilan semacam DPR). Hal ini terkait dengan konsep kedaulatan sebagaimana
dibahas di atas.
Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
Salah satu dalil wajibnya
mengangkat seorang khalifah adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari
Nafi’ yang berkata: “Abdullah bi Umar berkata kepadaku: ‘Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan bertemu Allah
di hari kiamat tanpa mempunyai hujjah, dan siapa saja yang mati sedangkan di
atas pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah”[10].
Dalam Islam, baiat adalah satu-satunya metode sah untuk mengangkat
khalifah. Sehingga, ketiadaan baiat menunjukkan ketiadaan khalifah, yang itu
berimplikasi pada status “mati jahiliyah” yang melekat pada setiap muslim yang
meninggal dunia di masa tersebut, sebuah metafor tentang betapa besar dosa yang
ditanggung.
Para ulama dari berbagai madhab pun telah sepakat tentang wajibnya
mengangkatkan seorang khalifah. Imam ibn Hazm menyatakan, sebagaimana dikutip
abdullah al-dumaiji[11]: “Telah sepakat semua
ahlu sunnah, semua murji’ah, semua syi’ah, dan semua khawarij atas wajibnya
Imamah… kecuali golongan Najdat dari Khawarij”
Akan halnya buku Syeikh Ali Abdul Raziq yang berjudul Al-Islaam wa Ushuul al-Hukm: Bahts fi
al-Khilaafah wa al-Hukuumah, yang
menafikan konsep politik dalam Islam, maka pembacaan kritis terhadap buku
tersebut dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya menunjukkan bahwa buku yang
masih saja dijadikan rujukan utama kalangan liberal tersebut sangatlah
diragukan otentisitasnya sebagai karangan Abdul Raziq, yang dengan itu saja
sebenarnya sudah menggugurkan semua tesis yang dihasungnya.
Bagaimana mungkin, sebagai contoh kecil, seorang syeikh al-Azhar dalam
kalimat pertamanya mengatakan bahwa secara bahasa khilafah adalah mashdar dari kata takhallafa[12]
(bukannya khalafa), sebuah kesalahan yang tidak mungkin
dilakukan seorang Arab, yang tidak terdidik sekalipun. Pun, ketika dia
menyatakan bahwa madzhab pertama di kalangan kaum Muslim menganggap bahwa
kedaulatan dan kekuasaan seorang khalifah berasal dari Allah SWT tanpa menunjukkan
madzhab mana yang dimaksud dan dengan dalil hanya berupa syair-syair, yang
secara nature memang bermakna majazi, dan redaksi pujian
oleh seorang warga negara kepada Khalifah, yang juga sangat tidak layak
dijadikan dalil, itu semakin memperkuat keganjilan bahwa buku ini ditulis oleh
seseorang dengan gelar Syeikh. Keanehan-keanehan ini dan yang semisal
dipaparkan dengan lugas oleh Dr. Dhiya al-Diin al-Rais dalam bukunya Al-Islam wa al-Khilaafah fi al-‘Ashr
al-Hadits, yang terbit tahun 1972.
Secara faktual, telah begitu banyak penulis buku yang membantah buku
Abdul Raziq tetapi sang Syeikh tidak pernah menanggapinya. Salah satunya adalah
buku an-Nazhaariyaat al-Siyaasah
al-Islamiyyah, yang oleh
pengarangnya, Dr. Dhiya al-Diin al-Rais, disodorkan langsung secara face to face kepada Abdul Raziq untuk ditanggapi. Akan tetapi, hingga buku bantahan
tersebut terbit ketiga kalinya, Abdul Raziq tidak memberikan respon apa-apa
hingga wafatnya[13].
Tidak hanya itu, Abdul Raziq ternyata
juga menolak tawaran penerbit Daar al-Hilaal untuk mencetak ulang bukunya[14], seakan telah menyadari
bahwa buku tersebut tidak layak dipertahankan.
Adapun bahwa Khalifah itu tidak
boleh lebih dari satu dalam satu masa disandarkan pada hadits yang diriwayatkan
dari Abi Said al-Khudri dari Nabi saw yang bersabda:
“Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya”[15]
Hadits ini dengan tegas
menyatakan haramnya kaum muslim memiliki lebih dari satu khalifah. Hal ini
menunjukkan bahwa secara normatif persatuan yang dikehendaki untuk umat Islam
adalah juga persatuan politik, yang itu juga berarti pengintegrasian semua
potensi kaum muslim.
Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni (adopsi) terhadap
hukum-hukum syara’.
Maksudnya adalah bahwa jika
terdapat lebih dari satu hasil ijtihad atas suatu perkara , Khalifahlah yang
berhak memutuskan pendapat mana yang akan diterapkan oleh negara. Ini
didasarkan pada ijma’ sahabat, misalnya pada kasus tunduknya Umar bin Khattab
terhadap pendapat Khalifah Abu Bakar dalam masalah pembagian harta dan jatuhnya
talak meskipun beliau mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini akhirnya
diformulasikan dalam kaidah ushul yang sangat terkenal semisal, Amr al-Imâm yarfa’ al-khilâf (keputusan
Imam menghilangkan perbedaan pendapat) dan Amr
al-imâm nâfiadzun dhâhiran wa bâthinan
(keputusan Imam berlaku—yakni ditaati—baik secara dhahir maupun batin)[16].
Dengan demikian, justru dengan adanya Khilafah, berbagai perbedaan pendapat
dapat diselesaikan. Ini menjawab keraguan sementara pihak yang menyangka bahwa
dengan adanya berbagai perbedaan pendapat Khilafah tidak bisa diwujudkan.
Hanya saja, Hizbut Tahrir
merekomendasikan bahwa untuk Khilafah yang akan datang hendaknya Khalifah hanya
melegislasi hukum-hukum syara dalam ranah kebijakan publik dan tidak mengadopsi
hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah kecuali dalam masalah zakat dan
jihad, dan tidak mengadopsi pemikiran dalam ranah aqidah Islam. Pasal 4
Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Khilafah (mashrû al-dustûr) yang disisipkan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya
al-Daulat al-Islamiyyah, berbunyi: “Khalifah tidak melegislasi hukum syara’
apapun yang berhubungan dengan ibadah, kecuali masalah zakat dan jihad.
Khalifah juga tidak melegislasi pemikiran apapun yang berkaitan dengan akidah
Islam[17]”
Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa
Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang bersifat khilafiyah
dalam persoalan ibadah. Khalifah juga tidak mengadopsi ide-ide tertentu yang
terkait dengan akidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Muktazilah
atau aliran Wahabi (Salafi).
an-Nabhani menyatakan sikap
Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai
masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat[18]
STRUKTUR NEGARA KHILAFAH
Tidak hanya berhenti pada
penetapan al-qawâid al-khilâfah yang
masih bersifat global seperti di atas, Hizbut Tahrir juga telah memformulasikan
detil struktur pemerintahan dan administrasi negara Khilafah. Dalam Kitabnya al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm
wa al-Idârat, Hizbut Tahrir berhasil memotret struktur negara pada masa
Rasulullah dan sahabat (struktur “kabinet” Madinah tersebut bisa digambarkan
dalam diagram di halaman akhir makalah ini) untuk dijadikan patokan bagi
Khilafah yang akan datang. Poin-poin struktur pemerintahan Islam adalah sebagai
berikut:
1. Kepala Negara (Khalifah. Syarat in’iqâd: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu)
2. Mu’áwwin al-Tafwîdh (pembantu yang diangkat Khalifah dalam
mengemban tanggungjawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan)
3. Wuzarâ al-tanfîdz (pembantu khalifah dalam kesekretariatan.
Tugasnya menyangkut bidang administratif, bukan pemerintahan)
4. Para Wali (semacam gubernur)
5. Amirul Jihad (direktorat perang, menangani seluruh urusan yang
berkaitan dengan kekuatan bersenjata baik pasukan, persenjataan, peralatan,
logistik, dsb))
6. Keamanan Dalam Negeri (menangani segala hal yang bisa mengganggu
keamanan, mencegah segala hal yang dapat mengancam keamanan dalam negeri)
7. Urusan Luar Negeri (menangani seluruh urusan luar negeri yang
berkaitan dengan hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara asing baik dalam
aspek politik, ekonomi, perindustrian, pertanian, perdagangan, hubungan pos,
hubungan kabel maupun nirkabel, dsb.)
8. Direktorat perindustrian (menangani seluruh urusan yang
berhubungan dengan industri, baik industri berat seperti industri mesin dan
peralatan, industri otomotif dan transportasi, industri bahan baku dan industri elektronika; maupun industri ringan).
9. Lembaga Peradilan (dibagi tiga: qadli, berwenang menyelesaikan
perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan uqubat; al-muhtasib,
berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak
jamaah/masyarakat; qadli madzalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi
antara rakyat dan negara).
10. Mashâlih al-Nâs (Kemaslahatan Umum, menangani pendidikan,
kesehatan, ketenagakerjaan, kewarganegaraan, pencetakan mata uang,
transportasi, dsb.)
11. Baitul Mal (menangani pemasukan dan pengeluaran harta)
12. Lembaga Informasi (menangani penetapan dan pelaksanaan politik
penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim)
Karena keterbatasan ruang,
rincian lengkap mengenai syarat, masa
jabatan, penggajian, tupoksi, dan lain sebagainya bisa dirujuk langsung dalam
buku al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi
al-Hukm wa al-Idârat dan Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilfah
tentang sistem pemerintahan dari pasal 16 s.d. pasal 111.
JALAN PANJANG MENUJU TEGAKNYA KHILAFAH
Meski Khilafah bukan merupakan
tujuan Hizbut-Tahrir, tetapi gerakan ini meyakini bahwa tujuan besarnya, yaitu
melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia,
berarti mengajak kaum Muslim untuk kembali hidup secara Islami di sebuah dar al-Islam (khilafah)[20].
Tentu hal tersebut tidak semudah membalik tangan. Apalagi Hizbut Tahrir sudah
dengan tegas menyatakan bahwa daulah yang hendak ditegakkan bukan sekedar
daulah yang bernama daulah Islam tetapi berhukum pada hukum yang tidak
diturunkan Allah, bukan pula daulah yang berhukum dengan hukum Allah tetapi
tidak mengemban Islam sebagai qiyâdat
fikriyat[21].
Karenanya, sebagian bahkan
menganggap itu merupak sebuah utopia. Bahkan beberapa waktu lalu, terbit sebuah
buku berjudul Ilusi Negara Islam. Namun,
setidaknya Hizbut Tahrir telah menggariskan langkah-langkah untuk mencapai
“mimpi intelektual”nya itu.
Seperti disebutkan dalam
kitabnya, al-Takattul al-hizby, Hizbut
Tahrir telah menetapkan tiga tahapan besar dalam perjuangannya, yaitu:
1. Marhalah Tatsqîf, yaitu
tahap pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-individu yang
meyakini ide dan metode gerakan.
2. Marhalah Tafa’ul ma’a
al-Ummat, yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat agar mereka turut
memikul kewajiban dakwah, sehingga akan menjadikannya sebagai masalah utama,
serta berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
3. Marhalah Istilâm al-Hukm, yaitu
tahap penerimaan kekuasaan secara utuh untuk menerapkan hukum-hukum Allah[22]
Dalam naskah pidato berjudul Manhaj Hizb al-Tahrîr fî al-Tagyîr, yang
disampaikan oleh delegasi Hizbut Tahrir di Konferensi ISNA (Islamic Society of
North America) tanggal 22 Desember 1989 di Missouri Amerika Serikat, disebutkan bahwa pada tahapan kedua itu Hizbut Tahrir
melakukan beberapa hal, di antaranya: tatsqîf
murakkaz (pembinaan intensif, sebagaimana di tahap 1), tatsqîf jama’iy (seperti seminar, dispub, dsb), al-shirâ al-fikr (perang pemikiran
melawan ide-ide asing), al-kifâh
al-siyâsiy (perjuangan politik, membongkar makar negara-negara penjajah dan
antek-anteknya), tabanniy mashalih
al-ummat (mengadopsi kemaslahatan umat dengan cara melayani dan mengatur
urusan-urusan umat sesuai dengan hukum syara’)[23].
Jika tahap ini berhasil, yaitu meyakinkan umat tentang urgensi Khilafah untuk
menerapkan hukum-hukum syara’, maka ini merupakan potensi kekuatan yang luar
biasa. Beberapa hasil survey dan poling seperti yang disebutkan di awal tulisan
ini mengindikasikan bahwa proyek “pematangan” umat ini sebenarnya bisa
dilakukan. Inilah yang ditakutkan Patrick Buchanan, seorang tokoh Partai
Demokrat AS, ketika ia menulis,
“If Islamic rule is an idea taking hold
among the Islamic masses, how does even the best army on earth stop it? (bila
ide pemerintahan Islam sudah diyakini di kalangan masyarakat Muslim, bagaimana
bisa hal itu dihentikan, meski oleh pasukan terbaik di muka bumi sekali pun?[24]”
Tidak hanya berhenti di situ,
meski bukan termasuk bagian dari tahap tafa’ul, tetapi pada waktu yang sama
Hizbut Tahrir melakukan apa yang dinamakan dengan Thalab an-Nushrah, yaitu mencari dukungan kekuatan dari para ahl al-quwwah (misalnya militer), yang
bertujuan untuk mendapatkan perlindungan sehingga aktivitas dakwah bisa terus
dilangsungkan dan untuk mencapai kekuasaan dalam rangka menegakkan Khilafah dan
menerapkan kembali aturan-aturan Allah SWT.[25]
Ini seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau mendatangi Bani Tsaqif,
Bani Amr bin Sha’sh’ah, dan lain sebagainya hingga akhirnya bertemu dengan suku
Aus dan Khajraj, yang dengan pertolongan Allah lewat mereka, berdirilah negara
Madinah.
Walhasil, meski harus diakui
bahwa menegakkan kembali Khilafah mungkin sangat sulit dicapai, tetapi
penyiapan konsep yang utuh tentang sistem pemerintahan ini dan langkah-langkah
yang terarah menuju tercapainya cita-cita tersebut menjadikan ide ini tidak seharusnya
dikatakan ilusi. Bahkan, semestinyalah, upaya pembebasan manusia, khususnya
umat Islam, dari kungkungan Kapitalisme sekuler menuju naungan sistem Islam
hendaknya didukung semaksimal mungkin.
Wallahu a’lam.
[1] Kull,
Stephen. 2007. Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and
al Qaeda. Washington: Worldpublicopinion.org
[2] Taher, Abul. July 27 2008. A third of Muslim students back
killings: Radicalism and support for sharia is strong in British universities. http://www.timesonline.co.uk/tol/news/uk/article4407115.ece
[4] Al
Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal
225-230
[6]
Ibid hal 42
[7] QS
An-Nisa: 59, 65
[8]
Shahih Muslim, hadits no 1808
[9]
Ibid, hadits no 3429
[10]
Ibid, hadis no. 1851.
[11]
Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman. 1987. Al-Imaamah al-‘Udzma ‘inda
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (tanpa penerbit), hal 40.
[12] Abdul
Raziq, Ali. 1925. Al-Islaam wa Ushuul
al-Hukm: Bahts fi al-Khilaafah wa al-Hukuumah. Mesir: Mathba’ah Mishr.
[13]
Wawancara Ahmad Bahjat dengan Dr.
Dhiya al-Diin al-Rais yang dimuat dalam Majalah Radio dan Televisi Mesir
edisi No. 2147, 8 Mei 1976.
[14] Ibid.
[15] Shahih
Muslim, hadits no 1819
[16]
Bin Khalil, Atha’. 1990. Taysír al-Wushûl
Ilâ al-Ushûl: Dirâsât fí Ushûl al-Fiqh. Ammân: Dâr al-Ummat.
[17]
An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. Al-Daulat
al-Islamiyyah. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 250
[18] An-Nabhani,
Taqiuddin. 2009. Muqaddimah ad-Dustur aw
al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Jilid I. Beirut: Dâr al-Ummat, hal 19.
[19]
Tahrir, Hizbut. 2005. al-Ajhizat fi
Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 29
[20]
Anonim. 2002. Mengenal Hizbut Tahrir,
Partai Politik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, hal. 19
[21]
An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. al-Daulat
al-Islamiyyat. Beirut: Dâr al-Ummat.
[22]
An-Nabhani, Taqiuddin. 2001 al-Takattul
al-hizby. tanpa kota dan penerbit. Hal, 36.
[23]
Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut
Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
[25]
Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut
Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
No comments:
Post a Comment