Sunday, August 19, 2018

Khilafah : Konsep Dan Road Map ( Membedah Mimpi Intelektual Hizbut Tahrir )


KHILAFAH: KONSEP DAN ROAD MAP (MEMBEDAH MIMPI INTELEKTUAL HIZBUT TAHRIR)
Ahmad Nadhif
Terlepas dari pro-kontra tentangnya, ide revivalisasi negara Khilafah, yang runtuh pada tanggal 3 Maret 1924 di tangan Musthafa Kemal At-Taturk, teryata masih tetap terjaga di tengah-tengah masyarakat Muslim. Berbagai problem yang saat ini dihadapi oleh kaum muslim, terutama penjajahan militer di Palestina, Irak, dan Afghanistan, yang tidak kunjung bisa dipecahkan bahkan membuat ide Khilafah semakin menarik perhatian dewasa ini.
Sebuah polling tahun 2007 yang diselenggarakan oleh University of Maryland di empat negeri berpenduduk mayoritas Muslim (Pakistan, Mesir, Maroko, dan Indonesia) mendapati fakta bahwa angka dukungan untuk penegakan Khilafah mencapai 65%[1]. Tidak hanya di negeri-negeri Muslim, di kalangan mahasiswa Muslim Inggris, berdasarkan survey the YouGov Poll tahun 2008, dukungan terhadap ide Khilafah tidak kurang dari sepertiganya[2]. Sebelumnya, tahun 2005, The National Intelligence Council, sebuah badan intelijen di bawah CIA, melalui laporannya yang berjudul Mapping the Global Future, memprediksikan bahwa Khilafah merupakan salah satu di antara 4 kekuatan yang dimungkinkan akan memegang kendali kekuasaan dunia pada tahun 2020.
Di tengah fenomena tersebut, Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara gerakan-gerakan Islam yang sangat gigih mengkampanyekan ide ini. Didirikan pada tahun 1953 di al Quds oleh Taqiyuddin an-Nabhani, gerakan ini kini telah aktif bergerak di 40 negara. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan secara singkat konsep Khilafah (untuk menakar kelayakan ide) yang diusung Hizbut Tahrir dan road map (untuk memahami bagaimana konsep hendak dicapai) yang dicanangkannya.
KHILAFAH SEBAGAI SEBUAH SISTEM PEMERINTAHAN
Tentang definisi Khilafah, Ibnu Khaldun menyatakan:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam[3]
Prof. Dr. Mahmud Abdu al-Majid Al Khalidiy, dalam disertasi doktornya yang berjudul Qawa’id al- Nidzam al-Hukm f î al-Islam merangkum pendapat para ulama tentang definisi Khilafah lalu merumuskannya sebagai:
رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لإقامة احكام الشرعى الإسلامي وحمل الدعوة الإسلامية الى العالم
"Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban dakwah islam ke suluruh dunia[4]
Definisi Al-Khalidi ini sama persis dengan definisi yang diberikan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidzâm al-Hukm fí al-Islâm[5].
Di antara 23 kitab Mutâbanât Hizbut Tahrir, setidaknya ada 2 buku yang secara khusus membahas tentang sistem Khilafah, yaitu al-Nidzâm al-Hukm fi al-Islâm, dan al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat. Dalam kitab yang pertama, disebutkan ada empat pilar fundamental (al-qawâid) sistem Khilafah, yang jika salah satunya tidak ada maka secara de facto pemerintahan Khilafah tersebut dianggap tidak ada[6]. Empat pilar itu yaitu:
1.       Kedaulatan di tangan hukum syara’
2.       Kekuasaan di tangan rakyat
3.       Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
4.       Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni terhadap hukum-hukum syara’.
Kedaulatan di tangan syara’
Kedaulatan (al-siyâdat) yang dimaksud adalah yang menangani (al-mumâris) dan yang menjalankan (al-musayyir) suatu kehendak atau aspirasi (irâdat) tertentu. Karena itu, apabila ada seseorang yang menangani dan mengendalikan aspirasinya, maka sesungguhnya kedaulatannya ada di tangannya sendiri. Apabila aspirasi orang tersebut ditangani dan dikendalikan oleh orang lain, maka orang tersebut esensinya telah menjadi hamba (abdun) bagi orang lain. Apabila aspirasi umat ditangani dan dikendalikan oleh umat lain dengan cara paksa, maka umat tersebut telah menjadi koloni mereka.  Secara praktis, penanganan dan pengendalian aspirasi ini termanifestasikan dalam wewenang membuat hukum. Dengan kata lain, siapa yang berhak menetapkan hukum, dialah pemegang kedaulatan.
Dalam hal pemegang kedaulatan inilah letak perbedaan sentral antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi, kerajaan, maupun teokrasi. Dalam sistem Khilafah, kewenangan membuat hukum dan menentukan benar-salah ada di tangan syara’[7], bukan di tangan rakyat yang diwakili DPR sebagaimana dalam sistem demokrasi, bukan di tangan penguasa sebagaimana dalam sistem kerajaan, juga bukan di tangan rohaniawan yang mengklaim menjadi “penyambung lidah Tuhan” sebagaimana dalam sistem teokrasi. Sehingga, seorang Khalifah diangkat untuk menjalankan hukum-hukum syara’ dan ketika ia melakukan kelalaian, maka rakyat akan melakukan muhâsabah. Dalam derajat penyimpangan tertentu, rakyat bahkan dibolehkan mengangkat senjata untuk menurunkan khalifah. Imam Muslim  meriwayatkan dari Ubâdah bin Shâmit tentang baiat:
“… dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak. Rasulullah bersabda: kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat di sisi Allah”[8]

Kekuasaan di tangan rakyat
Adapun pilar kedua, yaitu kekuasaan di tangan umat, diambil dari fakta bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan khalifah adalah oleh umat, dan bahwa seorang khalifah hanya memiliki kekuasaan melalui baiat yang dilakukan oleh umat. Dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda,
“… Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena nanti Allah akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepadanya[9]
Dalam hal pemegang kekuasaan inilah sistem khilafah mempunyai kemiripan dengan demokrasi, yaitu bahwa legitimasi kepemimpinan seorang kepala negara didasarkan pada kehendak rakyat. Akan tetapi, meskipun sama-sama diangkat oleh rakyat, seorang Khalifah diangkat untuk menjalankan hukum syara’ sementara dalam demokrasi seorang presiden diangkat untuk menjalankan hukum-hukum buatan rakyat (melalui lembaga perwakilan semacam DPR). Hal ini terkait dengan konsep kedaulatan sebagaimana dibahas di atas.
Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
Salah satu dalil wajibnya mengangkat seorang khalifah adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Nafi’ yang berkata: “Abdullah bi Umar berkata kepadaku: ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan bertemu Allah di hari kiamat tanpa mempunyai hujjah, dan siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah”[10].
Dalam Islam, baiat adalah satu-satunya metode sah untuk mengangkat khalifah. Sehingga, ketiadaan baiat menunjukkan ketiadaan khalifah, yang itu berimplikasi pada status “mati jahiliyah” yang melekat pada setiap muslim yang meninggal dunia di masa tersebut, sebuah metafor tentang betapa besar dosa yang ditanggung.
Para ulama dari berbagai madhab pun telah sepakat tentang wajibnya mengangkatkan seorang khalifah. Imam ibn Hazm menyatakan, sebagaimana dikutip abdullah al-dumaiji[11]: “Telah sepakat semua ahlu sunnah, semua murji’ah, semua syi’ah, dan semua khawarij atas wajibnya Imamah… kecuali golongan Najdat dari Khawarij”
Akan halnya buku Syeikh Ali Abdul Raziq yang berjudul Al-Islaam wa Ushuul al-Hukm: Bahts fi al-Khilaafah wa al-Hukuumah, yang menafikan konsep politik dalam Islam, maka pembacaan kritis terhadap buku tersebut dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya menunjukkan bahwa buku yang masih saja dijadikan rujukan utama kalangan liberal tersebut sangatlah diragukan otentisitasnya sebagai karangan Abdul Raziq, yang dengan itu saja sebenarnya sudah menggugurkan semua tesis yang dihasungnya.
Bagaimana mungkin, sebagai contoh kecil, seorang syeikh al-Azhar dalam kalimat pertamanya mengatakan bahwa secara bahasa khilafah adalah mashdar dari kata takhallafa[12] (bukannya khalafa), sebuah kesalahan yang tidak mungkin dilakukan seorang Arab, yang tidak terdidik sekalipun. Pun, ketika dia menyatakan bahwa madzhab pertama di kalangan kaum Muslim menganggap bahwa kedaulatan dan kekuasaan seorang khalifah berasal dari Allah SWT tanpa menunjukkan madzhab mana yang dimaksud dan dengan dalil hanya berupa syair-syair, yang secara nature memang bermakna majazi, dan redaksi pujian oleh seorang warga negara kepada Khalifah, yang juga sangat tidak layak dijadikan dalil, itu semakin memperkuat keganjilan bahwa buku ini ditulis oleh seseorang dengan gelar Syeikh. Keanehan-keanehan ini dan yang semisal dipaparkan dengan lugas oleh Dr. Dhiya al-Diin al-Rais dalam bukunya Al-Islam wa al-Khilaafah fi al-‘Ashr al-Hadits, yang terbit tahun 1972.
Secara faktual, telah begitu banyak penulis buku yang membantah buku Abdul Raziq tetapi sang Syeikh tidak pernah menanggapinya. Salah satunya adalah buku an-Nazhaariyaat al-Siyaasah al-Islamiyyah, yang oleh pengarangnya, Dr. Dhiya al-Diin al-Rais, disodorkan langsung secara face to face kepada Abdul Raziq untuk ditanggapi. Akan tetapi, hingga buku bantahan tersebut terbit ketiga kalinya, Abdul Raziq tidak memberikan respon apa-apa hingga wafatnya[13].  Tidak hanya itu, Abdul Raziq ternyata juga menolak tawaran penerbit Daar al-Hilaal untuk mencetak ulang bukunya[14], seakan telah menyadari bahwa buku tersebut tidak layak dipertahankan.
Adapun bahwa Khalifah itu tidak boleh lebih dari satu dalam satu masa disandarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abi Said al-Khudri dari Nabi saw yang bersabda:
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya[15]
Hadits ini dengan tegas menyatakan haramnya kaum muslim memiliki lebih dari satu khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa secara normatif persatuan yang dikehendaki untuk umat Islam adalah juga persatuan politik, yang itu juga berarti pengintegrasian semua potensi kaum muslim.

Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni (adopsi) terhadap hukum-hukum syara’.
Maksudnya adalah bahwa jika terdapat lebih dari satu hasil ijtihad atas suatu perkara , Khalifahlah yang berhak memutuskan pendapat mana yang akan diterapkan oleh negara. Ini didasarkan pada ijma’ sahabat, misalnya pada kasus tunduknya Umar bin Khattab terhadap pendapat Khalifah Abu Bakar dalam masalah pembagian harta dan jatuhnya talak meskipun beliau mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini akhirnya diformulasikan dalam kaidah ushul yang sangat terkenal semisal, Amr al-Imâm yarfa’ al-khilâf (keputusan Imam menghilangkan perbedaan pendapat) dan Amr al-imâm  nâfiadzun dhâhiran wa bâthinan (keputusan Imam berlaku—yakni ditaati—baik secara dhahir maupun batin)[16]. Dengan demikian, justru dengan adanya Khilafah, berbagai perbedaan pendapat dapat diselesaikan. Ini menjawab keraguan sementara pihak yang menyangka bahwa dengan adanya berbagai perbedaan pendapat Khilafah tidak bisa diwujudkan.
Hanya saja, Hizbut Tahrir merekomendasikan bahwa untuk Khilafah yang akan datang hendaknya Khalifah hanya melegislasi hukum-hukum syara dalam ranah kebijakan publik dan tidak mengadopsi hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah kecuali dalam masalah zakat dan jihad, dan tidak mengadopsi pemikiran dalam ranah aqidah Islam. Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Khilafah (mashrû al-dustûr) yang disisipkan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya al-Daulat al-Islamiyyah, berbunyi: “Khalifah tidak melegislasi hukum syara’ apapun yang berhubungan dengan ibadah, kecuali masalah zakat dan jihad. Khalifah juga tidak melegislasi pemikiran apapun yang berkaitan dengan akidah Islam[17]
Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang bersifat khilafiyah dalam persoalan ibadah. Khalifah juga tidak mengadopsi ide-ide tertentu yang terkait dengan akidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Muktazilah atau aliran Wahabi (Salafi).
an-Nabhani menyatakan sikap Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat[18]
STRUKTUR NEGARA KHILAFAH
Tidak hanya berhenti pada penetapan al-qawâid al-khilâfah yang masih bersifat global seperti di atas, Hizbut Tahrir juga telah memformulasikan detil struktur pemerintahan dan administrasi negara Khilafah. Dalam Kitabnya al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat, Hizbut Tahrir berhasil memotret struktur negara pada masa Rasulullah dan sahabat (struktur “kabinet” Madinah tersebut bisa digambarkan dalam diagram di halaman akhir makalah ini) untuk dijadikan patokan bagi Khilafah yang akan datang. Poin-poin struktur pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
1.       Kepala Negara (Khalifah. Syarat in’iqâd: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu)
2.       Mu’áwwin al-Tafwîdh (pembantu yang diangkat Khalifah dalam mengemban tanggungjawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan)
3.       Wuzarâ al-tanfîdz (pembantu khalifah dalam kesekretariatan. Tugasnya menyangkut bidang administratif, bukan pemerintahan)
4.       Para Wali (semacam gubernur)
5.       Amirul Jihad (direktorat perang, menangani seluruh urusan yang berkaitan dengan kekuatan bersenjata baik pasukan, persenjataan, peralatan, logistik, dsb))
6.       Keamanan Dalam Negeri (menangani segala hal yang bisa mengganggu keamanan, mencegah segala hal yang dapat mengancam keamanan dalam negeri)
7.       Urusan Luar Negeri (menangani seluruh urusan luar negeri yang berkaitan dengan hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara asing baik dalam aspek politik, ekonomi, perindustrian, pertanian, perdagangan, hubungan pos, hubungan kabel maupun nirkabel, dsb.)
8.       Direktorat perindustrian (menangani seluruh urusan yang berhubungan dengan industri, baik industri berat seperti industri mesin dan peralatan, industri otomotif dan transportasi, industri bahan baku  dan industri elektronika; maupun industri ringan).
9.       Lembaga Peradilan (dibagi tiga: qadli, berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan uqubat; al-muhtasib, berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jamaah/masyarakat; qadli madzalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara).
10.   Mashâlih al-Nâs (Kemaslahatan Umum, menangani pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kewarganegaraan, pencetakan mata uang, transportasi, dsb.)
11.   Baitul Mal (menangani pemasukan dan pengeluaran harta)
12.   Lembaga Informasi (menangani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim)
13.   Majelis Umat[19] (menyampaikan aspirasi dan pengaduan)
Karena keterbatasan ruang, rincian lengkap  mengenai syarat, masa jabatan, penggajian, tupoksi, dan lain sebagainya bisa dirujuk langsung dalam buku al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat  dan Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilfah tentang sistem pemerintahan dari pasal 16 s.d. pasal 111.

JALAN PANJANG MENUJU TEGAKNYA KHILAFAH
Meski Khilafah bukan merupakan tujuan Hizbut-Tahrir, tetapi gerakan ini meyakini bahwa tujuan besarnya, yaitu melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, berarti mengajak kaum Muslim untuk kembali hidup secara Islami di sebuah dar al-Islam (khilafah)[20]. Tentu hal tersebut tidak semudah membalik tangan. Apalagi Hizbut Tahrir sudah dengan tegas menyatakan bahwa daulah yang hendak ditegakkan bukan sekedar daulah yang bernama daulah Islam tetapi berhukum pada hukum yang tidak diturunkan Allah, bukan pula daulah yang berhukum dengan hukum Allah tetapi tidak mengemban Islam sebagai qiyâdat fikriyat[21].  Karenanya, sebagian bahkan menganggap itu merupak sebuah utopia. Bahkan beberapa waktu lalu, terbit sebuah buku berjudul Ilusi Negara Islam. Namun, setidaknya Hizbut Tahrir telah menggariskan langkah-langkah untuk mencapai “mimpi intelektual”nya itu.
Seperti disebutkan dalam kitabnya, al-Takattul al-hizby, Hizbut Tahrir telah menetapkan tiga tahapan besar dalam perjuangannya, yaitu:
1.       Marhalah Tatsqîf, yaitu tahap pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-individu yang meyakini ide dan metode gerakan.
2.       Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummat, yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat agar mereka turut memikul kewajiban dakwah, sehingga akan menjadikannya sebagai masalah utama, serta berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
3.       Marhalah Istilâm al-Hukm, yaitu tahap penerimaan kekuasaan secara utuh untuk menerapkan hukum-hukum Allah[22]
Dalam naskah pidato berjudul Manhaj Hizb al-Tahrîr fî al-Tagyîr, yang disampaikan oleh delegasi Hizbut Tahrir di Konferensi ISNA (Islamic Society of North America) tanggal 22 Desember 1989 di Missouri  Amerika Serikat, disebutkan  bahwa pada tahapan kedua itu Hizbut Tahrir melakukan beberapa hal, di antaranya: tatsqîf murakkaz (pembinaan intensif, sebagaimana di tahap 1), tatsqîf jama’iy (seperti seminar, dispub, dsb), al-shirâ al-fikr (perang pemikiran melawan ide-ide asing), al-kifâh al-siyâsiy (perjuangan politik, membongkar makar negara-negara penjajah dan antek-anteknya), tabanniy mashalih al-ummat (mengadopsi kemaslahatan umat dengan cara melayani dan mengatur urusan-urusan umat sesuai dengan hukum syara’)[23]. Jika tahap ini berhasil, yaitu meyakinkan umat tentang urgensi Khilafah untuk menerapkan hukum-hukum syara’, maka ini merupakan potensi kekuatan yang luar biasa. Beberapa hasil survey dan poling seperti yang disebutkan di awal tulisan ini mengindikasikan bahwa proyek “pematangan” umat ini sebenarnya bisa dilakukan. Inilah yang ditakutkan Patrick Buchanan, seorang tokoh Partai Demokrat AS, ketika ia menulis,
                  “If Islamic rule is an idea taking hold among the Islamic masses, how does even the best army on earth stop it? (bila ide pemerintahan Islam sudah diyakini di kalangan masyarakat Muslim, bagaimana bisa hal itu dihentikan, meski oleh pasukan terbaik di muka bumi sekali pun?[24]
Tidak hanya berhenti di situ, meski bukan termasuk bagian dari tahap tafa’ul, tetapi pada waktu yang sama Hizbut Tahrir melakukan apa yang dinamakan dengan Thalab an-Nushrah, yaitu mencari dukungan kekuatan dari para ahl al-quwwah (misalnya militer), yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan sehingga aktivitas dakwah bisa terus dilangsungkan dan untuk mencapai kekuasaan dalam rangka menegakkan Khilafah dan menerapkan kembali aturan-aturan Allah SWT.[25] Ini seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau mendatangi Bani Tsaqif, Bani Amr bin Sha’sh’ah, dan lain sebagainya hingga akhirnya bertemu dengan suku Aus dan Khajraj, yang dengan pertolongan Allah lewat mereka, berdirilah negara Madinah.
Walhasil, meski harus diakui bahwa menegakkan kembali Khilafah mungkin sangat sulit dicapai, tetapi penyiapan konsep yang utuh tentang sistem pemerintahan ini dan langkah-langkah yang terarah menuju tercapainya cita-cita tersebut menjadikan ide ini tidak seharusnya dikatakan ilusi. Bahkan, semestinyalah, upaya pembebasan manusia, khususnya umat Islam, dari kungkungan Kapitalisme sekuler menuju naungan sistem Islam hendaknya didukung semaksimal mungkin.
Wallahu a’lam.




[1] Kull, Stephen. 2007. Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al Qaeda. Washington: Worldpublicopinion.org
[2] Taher, Abul. July 27 2008. A third of Muslim students back killings: Radicalism and support for sharia is strong in British universities. http://www.timesonline.co.uk/tol/news/uk/article4407115.ece
[3] Ibnu Khaldun, Abdurrahman. Al Muqaddimah, hal. 190
[4] Al Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal 225-230
[5] Zallum, Abdul Qadím. 1996. al-Nidzàm al-Hukm fi al-Islàm. Beirut : Dàr al-Ummah, hal. 42.
[6] Ibid hal 42
[7] QS An-Nisa: 59, 65
[8] Shahih Muslim, hadits no 1808
[9] Ibid, hadits no 3429
[10] Ibid, hadis no. 1851.
[11] Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman. 1987. Al-Imaamah al-‘Udzma ‘inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (tanpa penerbit), hal 40.
[12] Abdul Raziq, Ali. 1925. Al-Islaam wa Ushuul al-Hukm: Bahts fi al-Khilaafah wa al-Hukuumah. Mesir: Mathba’ah Mishr.
[13] Wawancara Ahmad Bahjat dengan Dr. Dhiya al-Diin al-Rais yang dimuat dalam Majalah Radio dan Televisi Mesir edisi No. 2147, 8 Mei 1976.
[14] Ibid.
[15] Shahih Muslim, hadits no 1819
[16] Bin Khalil, Atha’. 1990. Taysír al-Wushûl Ilâ al-Ushûl: Dirâsât fí Ushûl al-Fiqh. Ammân: Dâr al-Ummat.
[17] An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. Al-Daulat al-Islamiyyah. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 250
[18] An-Nabhani, Taqiuddin. 2009. Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Jilid I. Beirut: Dâr al-Ummat, hal 19.
[19] Tahrir, Hizbut. 2005. al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 29
[20] Anonim. 2002. Mengenal Hizbut Tahrir, Partai Politik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, hal. 19
[21] An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. al-Daulat al-Islamiyyat. Beirut: Dâr al-Ummat.
[22] An-Nabhani, Taqiuddin. 2001 al-Takattul al-hizby. tanpa kota dan penerbit. Hal, 36.
[23] Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
[24] Buchanan, Pat. J. 23 Juni 2006. An Idea Whose Time has Come? http://www.antiwar.com/
[25] Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.

KHILAFAH: KONSEP DAN ROAD MAP (MEMBEDAH MIMPI INTELEKTUAL HIZBUT TAHRIR)
Ahmad Nadhif
Terlepas dari pro-kontra tentangnya, ide revivalisasi negara Khilafah, yang runtuh pada tanggal 3 Maret 1924 di tangan Musthafa Kemal At-Taturk, teryata masih tetap terjaga di tengah-tengah masyarakat Muslim. Berbagai problem yang saat ini dihadapi oleh kaum muslim, terutama penjajahan militer di Palestina, Irak, dan Afghanistan, yang tidak kunjung bisa dipecahkan bahkan membuat ide Khilafah semakin menarik perhatian dewasa ini.
Sebuah polling tahun 2007 yang diselenggarakan oleh University of Maryland di empat negeri berpenduduk mayoritas Muslim (Pakistan, Mesir, Maroko, dan Indonesia) mendapati fakta bahwa angka dukungan untuk penegakan Khilafah mencapai 65%[1]. Tidak hanya di negeri-negeri Muslim, di kalangan mahasiswa Muslim Inggris, berdasarkan survey the YouGov Poll tahun 2008, dukungan terhadap ide Khilafah tidak kurang dari sepertiganya[2]. Sebelumnya, tahun 2005, The National Intelligence Council, sebuah badan intelijen di bawah CIA, melalui laporannya yang berjudul Mapping the Global Future, memprediksikan bahwa Khilafah merupakan salah satu di antara 4 kekuatan yang dimungkinkan akan memegang kendali kekuasaan dunia pada tahun 2020.
Di tengah fenomena tersebut, Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara gerakan-gerakan Islam yang sangat gigih mengkampanyekan ide ini. Didirikan pada tahun 1953 di al Quds oleh Taqiyuddin an-Nabhani, gerakan ini kini telah aktif bergerak di 40 negara. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan secara singkat konsep Khilafah (untuk menakar kelayakan ide) yang diusung Hizbut Tahrir dan road map (untuk memahami bagaimana konsep hendak dicapai) yang dicanangkannya.
KHILAFAH SEBAGAI SEBUAH SISTEM PEMERINTAHAN
Tentang definisi Khilafah, Ibnu Khaldun menyatakan:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam[3]
Prof. Dr. Mahmud Abdu al-Majid Al Khalidiy, dalam disertasi doktornya yang berjudul Qawa’id al- Nidzam al-Hukm f î al-Islam merangkum pendapat para ulama tentang definisi Khilafah lalu merumuskannya sebagai:
رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لإقامة احكام الشرعى الإسلامي وحمل الدعوة الإسلامية الى العالم
"Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban dakwah islam ke suluruh dunia[4]
Definisi Al-Khalidi ini sama persis dengan definisi yang diberikan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidzâm al-Hukm fí al-Islâm[5].
Di antara 23 kitab Mutâbanât Hizbut Tahrir, setidaknya ada 2 buku yang secara khusus membahas tentang sistem Khilafah, yaitu al-Nidzâm al-Hukm fi al-Islâm, dan al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat. Dalam kitab yang pertama, disebutkan ada empat pilar fundamental (al-qawâid) sistem Khilafah, yang jika salah satunya tidak ada maka secara de facto pemerintahan Khilafah tersebut dianggap tidak ada[6]. Empat pilar itu yaitu:
1.       Kedaulatan di tangan hukum syara’
2.       Kekuasaan di tangan rakyat
3.       Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
4.       Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni terhadap hukum-hukum syara’.
Kedaulatan di tangan syara’
Kedaulatan (al-siyâdat) yang dimaksud adalah yang menangani (al-mumâris) dan yang menjalankan (al-musayyir) suatu kehendak atau aspirasi (irâdat) tertentu. Karena itu, apabila ada seseorang yang menangani dan mengendalikan aspirasinya, maka sesungguhnya kedaulatannya ada di tangannya sendiri. Apabila aspirasi orang tersebut ditangani dan dikendalikan oleh orang lain, maka orang tersebut esensinya telah menjadi hamba (abdun) bagi orang lain. Apabila aspirasi umat ditangani dan dikendalikan oleh umat lain dengan cara paksa, maka umat tersebut telah menjadi koloni mereka.  Secara praktis, penanganan dan pengendalian aspirasi ini termanifestasikan dalam wewenang membuat hukum. Dengan kata lain, siapa yang berhak menetapkan hukum, dialah pemegang kedaulatan.
Dalam hal pemegang kedaulatan inilah letak perbedaan sentral antara sistem Khilafah dengan sistem demokrasi, kerajaan, maupun teokrasi. Dalam sistem Khilafah, kewenangan membuat hukum dan menentukan benar-salah ada di tangan syara’[7], bukan di tangan rakyat yang diwakili DPR sebagaimana dalam sistem demokrasi, bukan di tangan penguasa sebagaimana dalam sistem kerajaan, juga bukan di tangan rohaniawan yang mengklaim menjadi “penyambung lidah Tuhan” sebagaimana dalam sistem teokrasi. Sehingga, seorang Khalifah diangkat untuk menjalankan hukum-hukum syara’ dan ketika ia melakukan kelalaian, maka rakyat akan melakukan muhâsabah. Dalam derajat penyimpangan tertentu, rakyat bahkan dibolehkan mengangkat senjata untuk menurunkan khalifah. Imam Muslim  meriwayatkan dari Ubâdah bin Shâmit tentang baiat:
“… dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak. Rasulullah bersabda: kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat di sisi Allah”[8]

Kekuasaan di tangan rakyat
Adapun pilar kedua, yaitu kekuasaan di tangan umat, diambil dari fakta bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan khalifah adalah oleh umat, dan bahwa seorang khalifah hanya memiliki kekuasaan melalui baiat yang dilakukan oleh umat. Dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda,
“… Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena nanti Allah akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepadanya[9]
Dalam hal pemegang kekuasaan inilah sistem khilafah mempunyai kemiripan dengan demokrasi, yaitu bahwa legitimasi kepemimpinan seorang kepala negara didasarkan pada kehendak rakyat. Akan tetapi, meskipun sama-sama diangkat oleh rakyat, seorang Khalifah diangkat untuk menjalankan hukum syara’ sementara dalam demokrasi seorang presiden diangkat untuk menjalankan hukum-hukum buatan rakyat (melalui lembaga perwakilan semacam DPR). Hal ini terkait dengan konsep kedaulatan sebagaimana dibahas di atas.
Wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh kaum Muslim
Salah satu dalil wajibnya mengangkat seorang khalifah adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Nafi’ yang berkata: “Abdullah bi Umar berkata kepadaku: ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan bertemu Allah di hari kiamat tanpa mempunyai hujjah, dan siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah”[10].
Dalam Islam, baiat adalah satu-satunya metode sah untuk mengangkat khalifah. Sehingga, ketiadaan baiat menunjukkan ketiadaan khalifah, yang itu berimplikasi pada status “mati jahiliyah” yang melekat pada setiap muslim yang meninggal dunia di masa tersebut, sebuah metafor tentang betapa besar dosa yang ditanggung.
Para ulama dari berbagai madhab pun telah sepakat tentang wajibnya mengangkatkan seorang khalifah. Imam ibn Hazm menyatakan, sebagaimana dikutip abdullah al-dumaiji[11]: “Telah sepakat semua ahlu sunnah, semua murji’ah, semua syi’ah, dan semua khawarij atas wajibnya Imamah… kecuali golongan Najdat dari Khawarij”
Akan halnya buku Syeikh Ali Abdul Raziq yang berjudul Al-Islaam wa Ushuul al-Hukm: Bahts fi al-Khilaafah wa al-Hukuumah, yang menafikan konsep politik dalam Islam, maka pembacaan kritis terhadap buku tersebut dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya menunjukkan bahwa buku yang masih saja dijadikan rujukan utama kalangan liberal tersebut sangatlah diragukan otentisitasnya sebagai karangan Abdul Raziq, yang dengan itu saja sebenarnya sudah menggugurkan semua tesis yang dihasungnya.
Bagaimana mungkin, sebagai contoh kecil, seorang syeikh al-Azhar dalam kalimat pertamanya mengatakan bahwa secara bahasa khilafah adalah mashdar dari kata takhallafa[12] (bukannya khalafa), sebuah kesalahan yang tidak mungkin dilakukan seorang Arab, yang tidak terdidik sekalipun. Pun, ketika dia menyatakan bahwa madzhab pertama di kalangan kaum Muslim menganggap bahwa kedaulatan dan kekuasaan seorang khalifah berasal dari Allah SWT tanpa menunjukkan madzhab mana yang dimaksud dan dengan dalil hanya berupa syair-syair, yang secara nature memang bermakna majazi, dan redaksi pujian oleh seorang warga negara kepada Khalifah, yang juga sangat tidak layak dijadikan dalil, itu semakin memperkuat keganjilan bahwa buku ini ditulis oleh seseorang dengan gelar Syeikh. Keanehan-keanehan ini dan yang semisal dipaparkan dengan lugas oleh Dr. Dhiya al-Diin al-Rais dalam bukunya Al-Islam wa al-Khilaafah fi al-‘Ashr al-Hadits, yang terbit tahun 1972.
Secara faktual, telah begitu banyak penulis buku yang membantah buku Abdul Raziq tetapi sang Syeikh tidak pernah menanggapinya. Salah satunya adalah buku an-Nazhaariyaat al-Siyaasah al-Islamiyyah, yang oleh pengarangnya, Dr. Dhiya al-Diin al-Rais, disodorkan langsung secara face to face kepada Abdul Raziq untuk ditanggapi. Akan tetapi, hingga buku bantahan tersebut terbit ketiga kalinya, Abdul Raziq tidak memberikan respon apa-apa hingga wafatnya[13].  Tidak hanya itu, Abdul Raziq ternyata juga menolak tawaran penerbit Daar al-Hilaal untuk mencetak ulang bukunya[14], seakan telah menyadari bahwa buku tersebut tidak layak dipertahankan.
Adapun bahwa Khalifah itu tidak boleh lebih dari satu dalam satu masa disandarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abi Said al-Khudri dari Nabi saw yang bersabda:
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya[15]
Hadits ini dengan tegas menyatakan haramnya kaum muslim memiliki lebih dari satu khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa secara normatif persatuan yang dikehendaki untuk umat Islam adalah juga persatuan politik, yang itu juga berarti pengintegrasian semua potensi kaum muslim.

Hanya Khalifah yang berhak melakukan tabanni (adopsi) terhadap hukum-hukum syara’.
Maksudnya adalah bahwa jika terdapat lebih dari satu hasil ijtihad atas suatu perkara , Khalifahlah yang berhak memutuskan pendapat mana yang akan diterapkan oleh negara. Ini didasarkan pada ijma’ sahabat, misalnya pada kasus tunduknya Umar bin Khattab terhadap pendapat Khalifah Abu Bakar dalam masalah pembagian harta dan jatuhnya talak meskipun beliau mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini akhirnya diformulasikan dalam kaidah ushul yang sangat terkenal semisal, Amr al-Imâm yarfa’ al-khilâf (keputusan Imam menghilangkan perbedaan pendapat) dan Amr al-imâm  nâfiadzun dhâhiran wa bâthinan (keputusan Imam berlaku—yakni ditaati—baik secara dhahir maupun batin)[16]. Dengan demikian, justru dengan adanya Khilafah, berbagai perbedaan pendapat dapat diselesaikan. Ini menjawab keraguan sementara pihak yang menyangka bahwa dengan adanya berbagai perbedaan pendapat Khilafah tidak bisa diwujudkan.
Hanya saja, Hizbut Tahrir merekomendasikan bahwa untuk Khilafah yang akan datang hendaknya Khalifah hanya melegislasi hukum-hukum syara dalam ranah kebijakan publik dan tidak mengadopsi hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah kecuali dalam masalah zakat dan jihad, dan tidak mengadopsi pemikiran dalam ranah aqidah Islam. Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Khilafah (mashrû al-dustûr) yang disisipkan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya al-Daulat al-Islamiyyah, berbunyi: “Khalifah tidak melegislasi hukum syara’ apapun yang berhubungan dengan ibadah, kecuali masalah zakat dan jihad. Khalifah juga tidak melegislasi pemikiran apapun yang berkaitan dengan akidah Islam[17]
Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang bersifat khilafiyah dalam persoalan ibadah. Khalifah juga tidak mengadopsi ide-ide tertentu yang terkait dengan akidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Muktazilah atau aliran Wahabi (Salafi).
an-Nabhani menyatakan sikap Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat[18]
STRUKTUR NEGARA KHILAFAH
Tidak hanya berhenti pada penetapan al-qawâid al-khilâfah yang masih bersifat global seperti di atas, Hizbut Tahrir juga telah memformulasikan detil struktur pemerintahan dan administrasi negara Khilafah. Dalam Kitabnya al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat, Hizbut Tahrir berhasil memotret struktur negara pada masa Rasulullah dan sahabat (struktur “kabinet” Madinah tersebut bisa digambarkan dalam diagram di halaman akhir makalah ini) untuk dijadikan patokan bagi Khilafah yang akan datang. Poin-poin struktur pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
1.       Kepala Negara (Khalifah. Syarat in’iqâd: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu)
2.       Mu’áwwin al-Tafwîdh (pembantu yang diangkat Khalifah dalam mengemban tanggungjawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan)
3.       Wuzarâ al-tanfîdz (pembantu khalifah dalam kesekretariatan. Tugasnya menyangkut bidang administratif, bukan pemerintahan)
4.       Para Wali (semacam gubernur)
5.       Amirul Jihad (direktorat perang, menangani seluruh urusan yang berkaitan dengan kekuatan bersenjata baik pasukan, persenjataan, peralatan, logistik, dsb))
6.       Keamanan Dalam Negeri (menangani segala hal yang bisa mengganggu keamanan, mencegah segala hal yang dapat mengancam keamanan dalam negeri)
7.       Urusan Luar Negeri (menangani seluruh urusan luar negeri yang berkaitan dengan hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara asing baik dalam aspek politik, ekonomi, perindustrian, pertanian, perdagangan, hubungan pos, hubungan kabel maupun nirkabel, dsb.)
8.       Direktorat perindustrian (menangani seluruh urusan yang berhubungan dengan industri, baik industri berat seperti industri mesin dan peralatan, industri otomotif dan transportasi, industri bahan baku  dan industri elektronika; maupun industri ringan).
9.       Lembaga Peradilan (dibagi tiga: qadli, berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan uqubat; al-muhtasib, berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jamaah/masyarakat; qadli madzalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara).
10.   Mashâlih al-Nâs (Kemaslahatan Umum, menangani pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kewarganegaraan, pencetakan mata uang, transportasi, dsb.)
11.   Baitul Mal (menangani pemasukan dan pengeluaran harta)
12.   Lembaga Informasi (menangani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim)
13.   Majelis Umat[19] (menyampaikan aspirasi dan pengaduan)
Karena keterbatasan ruang, rincian lengkap  mengenai syarat, masa jabatan, penggajian, tupoksi, dan lain sebagainya bisa dirujuk langsung dalam buku al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat  dan Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilfah tentang sistem pemerintahan dari pasal 16 s.d. pasal 111.

JALAN PANJANG MENUJU TEGAKNYA KHILAFAH
Meski Khilafah bukan merupakan tujuan Hizbut-Tahrir, tetapi gerakan ini meyakini bahwa tujuan besarnya, yaitu melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, berarti mengajak kaum Muslim untuk kembali hidup secara Islami di sebuah dar al-Islam (khilafah)[20]. Tentu hal tersebut tidak semudah membalik tangan. Apalagi Hizbut Tahrir sudah dengan tegas menyatakan bahwa daulah yang hendak ditegakkan bukan sekedar daulah yang bernama daulah Islam tetapi berhukum pada hukum yang tidak diturunkan Allah, bukan pula daulah yang berhukum dengan hukum Allah tetapi tidak mengemban Islam sebagai qiyâdat fikriyat[21].  Karenanya, sebagian bahkan menganggap itu merupak sebuah utopia. Bahkan beberapa waktu lalu, terbit sebuah buku berjudul Ilusi Negara Islam. Namun, setidaknya Hizbut Tahrir telah menggariskan langkah-langkah untuk mencapai “mimpi intelektual”nya itu.
Seperti disebutkan dalam kitabnya, al-Takattul al-hizby, Hizbut Tahrir telah menetapkan tiga tahapan besar dalam perjuangannya, yaitu:
1.       Marhalah Tatsqîf, yaitu tahap pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-individu yang meyakini ide dan metode gerakan.
2.       Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummat, yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat agar mereka turut memikul kewajiban dakwah, sehingga akan menjadikannya sebagai masalah utama, serta berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
3.       Marhalah Istilâm al-Hukm, yaitu tahap penerimaan kekuasaan secara utuh untuk menerapkan hukum-hukum Allah[22]
Dalam naskah pidato berjudul Manhaj Hizb al-Tahrîr fî al-Tagyîr, yang disampaikan oleh delegasi Hizbut Tahrir di Konferensi ISNA (Islamic Society of North America) tanggal 22 Desember 1989 di Missouri  Amerika Serikat, disebutkan  bahwa pada tahapan kedua itu Hizbut Tahrir melakukan beberapa hal, di antaranya: tatsqîf murakkaz (pembinaan intensif, sebagaimana di tahap 1), tatsqîf jama’iy (seperti seminar, dispub, dsb), al-shirâ al-fikr (perang pemikiran melawan ide-ide asing), al-kifâh al-siyâsiy (perjuangan politik, membongkar makar negara-negara penjajah dan antek-anteknya), tabanniy mashalih al-ummat (mengadopsi kemaslahatan umat dengan cara melayani dan mengatur urusan-urusan umat sesuai dengan hukum syara’)[23]. Jika tahap ini berhasil, yaitu meyakinkan umat tentang urgensi Khilafah untuk menerapkan hukum-hukum syara’, maka ini merupakan potensi kekuatan yang luar biasa. Beberapa hasil survey dan poling seperti yang disebutkan di awal tulisan ini mengindikasikan bahwa proyek “pematangan” umat ini sebenarnya bisa dilakukan. Inilah yang ditakutkan Patrick Buchanan, seorang tokoh Partai Demokrat AS, ketika ia menulis,
                  “If Islamic rule is an idea taking hold among the Islamic masses, how does even the best army on earth stop it? (bila ide pemerintahan Islam sudah diyakini di kalangan masyarakat Muslim, bagaimana bisa hal itu dihentikan, meski oleh pasukan terbaik di muka bumi sekali pun?[24]
Tidak hanya berhenti di situ, meski bukan termasuk bagian dari tahap tafa’ul, tetapi pada waktu yang sama Hizbut Tahrir melakukan apa yang dinamakan dengan Thalab an-Nushrah, yaitu mencari dukungan kekuatan dari para ahl al-quwwah (misalnya militer), yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan sehingga aktivitas dakwah bisa terus dilangsungkan dan untuk mencapai kekuasaan dalam rangka menegakkan Khilafah dan menerapkan kembali aturan-aturan Allah SWT.[25] Ini seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika beliau mendatangi Bani Tsaqif, Bani Amr bin Sha’sh’ah, dan lain sebagainya hingga akhirnya bertemu dengan suku Aus dan Khajraj, yang dengan pertolongan Allah lewat mereka, berdirilah negara Madinah.
Walhasil, meski harus diakui bahwa menegakkan kembali Khilafah mungkin sangat sulit dicapai, tetapi penyiapan konsep yang utuh tentang sistem pemerintahan ini dan langkah-langkah yang terarah menuju tercapainya cita-cita tersebut menjadikan ide ini tidak seharusnya dikatakan ilusi. Bahkan, semestinyalah, upaya pembebasan manusia, khususnya umat Islam, dari kungkungan Kapitalisme sekuler menuju naungan sistem Islam hendaknya didukung semaksimal mungkin.
Wallahu a’lam.




[1] Kull, Stephen. 2007. Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al Qaeda. Washington: Worldpublicopinion.org
[2] Taher, Abul. July 27 2008. A third of Muslim students back killings: Radicalism and support for sharia is strong in British universities. http://www.timesonline.co.uk/tol/news/uk/article4407115.ece
[3] Ibnu Khaldun, Abdurrahman. Al Muqaddimah, hal. 190
[4] Al Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Qawaid Nidzam Al-hukm fii Al-Islam, hal 225-230
[5] Zallum, Abdul Qadím. 1996. al-Nidzàm al-Hukm fi al-Islàm. Beirut : Dàr al-Ummah, hal. 42.
[6] Ibid hal 42
[7] QS An-Nisa: 59, 65
[8] Shahih Muslim, hadits no 1808
[9] Ibid, hadits no 3429
[10] Ibid, hadis no. 1851.
[11] Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman. 1987. Al-Imaamah al-‘Udzma ‘inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (tanpa penerbit), hal 40.
[12] Abdul Raziq, Ali. 1925. Al-Islaam wa Ushuul al-Hukm: Bahts fi al-Khilaafah wa al-Hukuumah. Mesir: Mathba’ah Mishr.
[13] Wawancara Ahmad Bahjat dengan Dr. Dhiya al-Diin al-Rais yang dimuat dalam Majalah Radio dan Televisi Mesir edisi No. 2147, 8 Mei 1976.
[14] Ibid.
[15] Shahih Muslim, hadits no 1819
[16] Bin Khalil, Atha’. 1990. Taysír al-Wushûl Ilâ al-Ushûl: Dirâsât fí Ushûl al-Fiqh. Ammân: Dâr al-Ummat.
[17] An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. Al-Daulat al-Islamiyyah. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 250
[18] An-Nabhani, Taqiuddin. 2009. Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Jilid I. Beirut: Dâr al-Ummat, hal 19.
[19] Tahrir, Hizbut. 2005. al-Ajhizat fi Daulat al-Khilâfat: fi al-Hukm wa al-Idârat. Beirut: Dâr al-Ummat, hal. 29
[20] Anonim. 2002. Mengenal Hizbut Tahrir, Partai Politik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, hal. 19
[21] An-Nabhani, Taqiuddin. 2002. al-Daulat al-Islamiyyat. Beirut: Dâr al-Ummat.
[22] An-Nabhani, Taqiuddin. 2001 al-Takattul al-hizby. tanpa kota dan penerbit. Hal, 36.
[23] Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
[24] Buchanan, Pat. J. 23 Juni 2006. An Idea Whose Time has Come? http://www.antiwar.com/
[25] Anonim. 2000. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.


No comments:

Post a Comment

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...