HAM DALAM POLITIK
DEMOKRASI DI INDONESIA
1. LATAR BELAKANG
Seiring dengan perjalanan
sejarah peradaban umat manusia, perkembangan di berbagai sendi-sendi kehidupan
pun mulai digalakkan. Setiap orang atau setiap bangsa memacu gerak langkah
menuju kemajuan. Sendi-sendi kehidupan mulai dibenahi untuk menyesuaikan antara
perkembangan teknologi dan peradaban.
Dalam realitanya perkembangan sistim ketatanegaraan mulai berkembang dari
teori-teori para filsuf kuno yang banyak di adopsi oleh bangsa-bangsa yang ada
di seluruh dunia. Perkembangan system ketatanegaraan ini memacu atau berkaitan
dengan perkembangan di bidang lainnya. Setiap Negara menganut system
ketatanegaraan. Salah satu contohnya adalah sistem pemerintahan demokrasi.
Salah satu sistem pemerintahan klasik yang sudah ada sejak dulu kala. Sejak
zaman Yunani kuno yang kemudian dikembangkan oleh para penganut aliran-aliran
yang sependapat dengan pembuat sistem pemerintahan tersebut.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian bahwa
pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan tersebut
menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara demokrasi adalah Negara
yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kekuasaan rakyat atau jika
ditinjau dari sudut organisasi ia berarti sebagai suatu pengorganisasian Negara
yang dilakukuan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena
kedaulatan berada di tangan rakyat.
Demikian juga dengan perkembangan HAM di dunia ini. Perjalanan panjang HAM
yang sudah melalui banyak lika-liku yang naik turun. Perspektif sejarah dan
sosial-kultural gagasan tentang HAM sebenarnya telah berlangsung selama
berabad-abad. Di Eropa paling tidak kita mulai mengenal dari Dictatus Papae pada
abad ke 11 yang kemudian disusul dengan Magna Charter tahun 1215;
sementara di Timur sebenarnya tercatat telah ada Piagam Madinah yang
disusun Negara Islam awal yang juga memuat perlindungan HAM seperti yang
dikenal pada zaman modern.Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun secara
histories perlindungan HAM di dalam kehidupan bernegara telah dimulai sejak
berabad-abad yang lampau tetapi pada umumnya dipahami bahwa wacana ini baru
berkembang pesat setelah revolusi Amerika dan revolusi Perancis sebab sejak
revolusi itulah upaya mengimplementasikan gagasan John Locke (1632-1704),
Montesquiew (1689-1755) dan penggagas-penggagas lainnya tentang perlindungan
HAM di bawah pemerintahan yang demokratis. Tonggak sejarah kedua revolusi itu bagi
perlindungan HAM bisa dilacak dari Declaration of Independence pada
tahun 1776 yang disusul dengan The Virgina Declaration of Rights tahun
1791 di Amerika Serikat yang selanjutnya memberi ilham bagi revolusi Prancis
pada tahun 1789 dengan Declaration des de ‘Ihommeet du citoyen.
Di dalam konstitusi-konstitusi Negara-negara demokrasi modern setelah itu
perlindungan HAM menjadi isi pokoknya sehingga dapat disimpulkan bahwa
konstitusi sebenarnya merupakan instrument utama bagi perlindungan HAM sebab
setiap pemerintahan kekuasaannya dibatas oleh konstitusi. Di dalam ilmu politik
dan hokum tata Negara konstitusi memang memiliki fungsi untuk membatasi
kekuasaan pemerintah agar tidak tampil secara sewenang-wenang.
2. RUMUSAN MASALAH
Beberapa permasalahan yang ditanyakan dan dibicarakan untuk dijelaskan
dalam makalah ini adalah pertanyaan-pertanyaan historis dan empiris sebagai
berikut:
1. Bagaimana hubungan antara demokrasi dan HAM di era modern khususnya di
Indonesia?
2. Bagaimana HAM dalam Transisi Politik sentralistis ke sistem Politik
Demokratis?
BAB II
ISI
ISI
1. HUBUNGAN DEMOKRASI DAN HAM DI INDONESIA
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dijelaskan bahwa Negara Indonesia
yang dicita-citakan dan hendak dibangun adalah Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat atau Negara demokrasi. HAM adalah salah satu tiang yang sangat penting
untuk menopang terbangun tegaknya sebuah Negara demokrasi.
Sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan
hendak dibangunnya Negara demokrasi tersebut, maka UUD 1945 mengimplementasikan
ke dalam pasal-pasalnya tentang hak-hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sejak
awal mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk menjunjung tinggi HAM, oleh
karena itu bangsa Indonesia selalu berusaha untuk menegakkannya sejalan dan
selaras dengan falsafah bangsa Pancasila dan perkembangan.
Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan
piagam HAM pertama Indonesia yang lahir lebih dahulu disbanding pernyataan HAM
se dunia oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Komitmen kuat tentan HAM
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 kemudian dijabarkan ke dalam
pasal-pasal atau batang tubuh UUD 1945. Diantaranya terdapat dalam beberapa
pasal yakni pasal 28A sampai pasal 28 J.
Namun dengan adanya berbagai pelanggaran HAM yang begitu banyak, maka
dipandang belum cukup apabila tentang HAM hanya sebagai mana tercantum dalam
piagam HAM yang ada selama ini. Untuk itu perlu adanya ketetapan MPR yang
khusus memuat tentang HAM. Tap MPR yang dimaksudkan sebagai HAM terbaru itu
adalah ketetapan No. XVII/MPR/1998. Selain itu juga terbentuknya UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia merupakan salah satu bentuk perkembangan
dari pengakuan HAM di Indonesia.
Lahirnya ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 dimaksudkan untuk memperkuat dan
memantapkan komitmen bangsa akan pentingnya perlindungan HAM sebagaimana telah
diatur dalam Pembukaan dan UUD 1945, oleh karena itu ketetapan tersebut
menegaskan bahwa:
1. Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur
Pemerintah untuk menghormati, mengakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai
hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.
2. Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrument Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hak asasi manusia sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
3. Penghormatan, pengakan dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh
masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan
tanggungjawab sebagai warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
4. Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi
tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia
yang ditetapkan oleh Undang-undang.
2. HAM DALAM TRANSISI POLITIK SENTRALITAS KE SISTEM POLITIK DEOMOKRATIS
Bicara sistem politik pada intinya bicara pilihan sistem politik. Sistem
politik dictator/otoriter/sentralistis/absolutisme atau sistem politik
demokratis/polpulis/ kerakyatan, walaupun dalam praktiknya terdapat varian
antara kedua sistem tersebut. Dalam kedua sistem tersebut sistem politik
mempunyai hubungan timbal balik dengan hokum serta berdampak langsung terhadap
penegakan dan pengakuan terhadap HAM.
Dalam sistem politik dictator, hokum yang dihasilkan berwatak represif,
mempertahankan status quo, mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam sistem
terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas. Pemerintahan dictator memiliki kekuasaan
mutlak dan sentralistis, aparat dan pejabat Negara di bawah control/kendali
penguasa. Dalam sistem tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak dan kalau ada
lebih sebagai asesoris politik saja.
Dalam situasi demikian, sistem komando menjadi pegangan para pejabat di
semua lini pemerintahan. Dengan demikian, di semua strata komando ditempati
kroni dan orang-orang kepercayaannya saja. Segala bentuk aktivitas warga yang
terkesan berbeda dengan garis penguasa dibatasi dan dilarang.
Sebaliknya dalam sistem politik demokratis, watak hokum yang dihasilkan
bersifat responsive, akomodatif. Substansi hokum yang tertuang di dalam beragam
peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegakan hokum. Dalam sistem tersebut
terjalin komunikasi serasi antara opini public lewat wakil-wakilnya, juga media
massa, agamawan, cendikiawan dan LSM dengan pemerintah. Dengan demikian, sistem
hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency, opennessm
predictability dan stability. Semua warga Negara mempunyai kedudukan sama di
depan hukum (equality before the law). Ciri ini yang di sebut dengan rule of
law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan
pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi yaitu
mewujudkan kehendak rakyat, yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di
DPR.
Dalam masyarakat tradisional dengan rata-rata tingkat pendidikan warga
masyarakat yang masih rendah, mudah menjadi manipulasi politik, sehingga
gampang dibawa kepada fanatisme politik yang berlebihan. Dalam kondisi
demikian, budaya paternalistis/primordial dengan pola panutan yang kental akan
dijadikan panutan paradigma panutan tersebut menuntut adanya sosok
pemimpin/panutan yang mampu memberi contoh/teladan/baik dan bijak.
Karena itulah dalam masyarakat yan paternalistis sebagaimana tergambar di
depan, peran para intelektual, budayawan, idealis, agamawan tetap diharapkan.
Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran kelompok-kelompok
tersebut di atas. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hokum
dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal mampu
memantapkan niat untuk mewujudkan politik hokum yang sudah ditetapkan, diikuti
langkah konkret dengan mengangkat taraf hidup, kesejahteraan dan ketenteraman
semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang beruntung.
Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk kemiskinan cultural yang
harus diperagai dan tidak menambah jumlah kemiskinan structural, hal ini sangat
terkait dengan penegakan HAM.
Persoalan ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah dalam arti luas,
pimpinan eksekutif, legislative dan yudikatif mampu dan mau menerjemahkan
kehendak rakyat, sehingga “jeritan” rakyat menjadi perhatian utama. Kemauan
para pemimpin tersebut mencerminkan asas demokrasi, suara rakyat adalah suara
Tuhan (vox populi vox Dei) dapat terlaksana. Kalaulah rakyat sudah mendapat
perhatian wajar sebagaimana harapan di depan, maka partisipasi masyarakat akan
muncul/bangkit.
Masalah partisipasi
masyarakat dalam politik, menurut Jeffery M. Paige, dibedakan menjadi 4 macam,
yakni :
1. Partisipasi dengan pengetahuan/kesadaran masyarakat tinggi dan
kepercayaan yang tinggi pula terhadap sistem politik yang berlaku. Anggota
masyarakat akan dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mengembangkan
kewajiban-kewajiban yang ada, demi Negara dan bangsa.
2. Partisipasi politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada sistem politik
rendah. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya golongan sempalan
(dissendent) yang dapat mengarah radikal.
3. Partisipasi politik dengan kesadaran politik rendah dan kepercayaan
tinggi terhadap sistem politik yang ada. Dalam situasi ini masyarakat lebih
pasif, hanya menerima sistem yang berlaku.
4. Partisipasi politik dalam masyarakat yang rendah kesadaran politiknya
dan kepercayaannya. Dalam masyarakat tersebut, anggota masyarakat dalam situasi
tertekan dan takut atas kesewenang-wenangan penguasa.
Menurut Alfian, partisipasi pertama yang ideal dan hanya mungkin dalam
sistem yang demokratis. Untuk mengarahkan kepada satu partisipasi model
pertama, sekaligus mempunyai makna penegakan hokum, maka pendidikan politik
yang benar dan terbuka harus dijalankan. Keterbukaan akan menumbuhkan kepercayaan
anggota masyarakat kepada penguasa karena mereka merasa dipercaya dan tidak
dianggap sebagai warga kelas dua.
Bidan politik yang selalu bergelimang dengan kekuasaan sering terjadi
manipulasi politik. Dengan demikian sering terjadi dalam sistem politik yang
dalam pelaksanaannya berbeda dengan ketentuan undang-undang yang ada, walaupun
produk undang-undang tersebut hasil keputusan politik tingkat tinggi.
Manipulasi politik terjadi bila mana ada usaha untuk mempergunakan peraturan
permainan politik yang ada buat kepentingan perseorangan atau golongan
tertentu.
Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan
yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma
hokum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran
hokum sangat diharapkan dalam waktu yang relative bersamaan. Kesadaran politik
tinggi berarti kesadaran bernegaran cukup tinggi, sehingga pada saatnya
kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.
Hal ini menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari sinilah
perlu dikembangkan pendidikan politik dan seterusnya partisipasi politik bagi
seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik yang objektif, terbuka dan
dialogis akan menciptakan kultur politik serta kepercayaan masyarakat terhadap
sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah
air, Negara dan kemanusiaan.
Sistem hukum dilihat dari perjuangan dinamika politik selalu bersifat
kompromistis. Hokum merupakan produk politik, hasil “kompromi” dan akomodasi
antarkepentingan/kekuatan politik pada lembaga politik, seterusnya disalurkan
lewat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati bersama.
Ketika hukum mulai efektif, para politisi, pejabat dan seluruh warga harus
tunduk kepada peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, kompromi
politik telah terjadi dalam bentuk undang-undang, tidak ada satu kelompok atau
perseorangan yang berada di atas undang-undang, siapapun dengan jabatan apa pun
harus tunduk kepada hokum.
BAB III
PENUTUP
SARAN
Seperti yang telah diulas dalam wacana di atas, mengenai hubungan antara
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) sangat lah erat. Dan dapat dikatakan
kedua hal tersebut memiliki ikatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam Negara yang demokrasi perkembangan HAM telah kita lihat bersama.
Perjalanan kedua hal tersebut sudah dimulai sejak dulu. Namun masih banyak
terjadi pelanggaran terhadap Hak asasi manusia (HAM).
Sementara sebuah Negara demokrasi hendaknya dapat dinilai dari unsur sejauh
mana penegakan atau pelaksanaan Hak asasi manusia itu dapat dijalankan.
Demokrasi yang bercirikan kebebasan melingkupi hak-hak mendasar tersebut. Jadi
hendaknya demokrasi dan penegakan HAM itu harus sejalan, untuk mencapai
kesejahteraan manusia dan pengakuan atas hak dasar setiap orang yakni Hak asasi
manusia (HAM)
No comments:
Post a Comment