Tuesday, August 21, 2018

PERSPEKTIF LIBERALISME DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


PERSPEKTIF LIBERALISME DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Dalam studi Hubungan Internasional telah dijelaskan, bahwa memiliki banyak perspektif yang digunakan sebagai alat untuk mencari sebuah preposisi untuk menganalisis sebuah permasalahan. Liberalisme adalah salah satu perspektif yang paling tua dalam perkembangan studi ini disamping perspektif Realisme sebagai rival utamanya. Jika sebelumnya perspektif Realisme berpandangan dengan asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya jahat serta Homo Homini Lupus, atau manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya. Serta , manusia adalah egois dan akan mencapai segala keinginannya apapun caranya, termasuk tanpa harus mempertimbangkan nilai moralitas Internasional. Kemudian berorientasi pada power dalam mencapai kepentingannya dengan berperang sebagai ‘pemukul’ utama.
Berbicara mengenai perspektif Liberalisme memang tidak pernah lepas dari rival abadinya, yaitu perspektif Realisme (Dugis, 2013).  Perspektif ini pula mencoba untuk menjelaskan essensi dari studi Hubungan Internasional yang berdasarkan sebuah optimisme. Berdasarkan Robert Jackson dan Georg Sorensen (2005: 140), tradisi Liberalisme dalam studi Hubungan Internasional sendiri muncul pada sekitar abad ketujuhbelas, dipelopori oleh John Locke di Amerika Serikat yang mana baru saja merdeka dari jajahan Britania Raya. Dengan mempertimbangkan perkembangan civil society serta kebebasan individu yang mulai berkembang bersamaan dengan kapitalisme modern (Jackson&Sorensen, 2009). Revolusi Industri turut berperan pula dengan perkembangan Liberalisme itu sendiri. Manusia semakin menyadari bahwa ia memiliki banyak kepentingan dengan sumber-sumber terbatas, dan membutuhkan bantuan manusia yang lain untuk mencapai kepentingan yang dia inginkan. Perspektif Liberalisme menjadi seperti halnya konsolidasi kepentingan setiap aktor yang berkepentingan didalamnya.
Sebagai perumpamaan, Negara A memiliki kepentingan mengisi cadangan devisa negaranya untuk pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan batubara dan minyak bumi sebagai komoditas utamanya untuk diekspor, dan masih sedikit ilmuwan yang berkompeten dibidang pembangunan. Sedangkan Negara B, perindustrian negaranya berkembang dengan pesat dan memiliki pelabuhan besar, sehingga membutuhkan pasokan energi yang mencukupi, dalam hal ini khusunya batubara, akan tetapi ia tidak memiliki cukup sumber daya batu baranya. Negara C memiliki banyak sekali ilmuwan sehingga kurang mampu untuk memperkerjakan seluruh ilmuwannya sehingga membutuhkan Negara yang sedang membangun, serta aksestabilitas Negara C kurang dalam hal ekspor impor karena membutuhkan pelabuhan besar sedangkan Negara C berupa daratan penuh dan tidak memiliki pelabuhan. Bisa dilihat dari perbedaan kepentingan antar negara A, B, dan C maka, Negara A, B , dan C melakukan konsolidasi dengan bekerja sama demi mencapai kepentingan Negaranya. Kerjasama ini dapat berwujud sebuah organisasi Internasional antar-pemerintah yang mengakomodir berbagai kepentingan setiap negara anggotanya dengan kesepakatan yang disetujui oleh para anggotanya. Negara A, menjual Batubara ke Negara B, Negara A mendapat pemasukan untuk tambahan devisanya dan Negara B memperoleh sokongan energi. Negara C menawarkan diri untuk membantu bekerjasama untuk pembangunan infrastruktur di Negara A, dengan mempekerjakan ilmuwan Negara C ke Negara A. Sekaligus Negara C menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Negara B untuk akses bersama pelabuhan dengan imbalan bantuan para ilmuwan dari negaranya dalam pengembangan industrinya dan bagi hasil.
Dengan kepentingan yang berbeda-beda, dan dengan kepemilikan sumber-sumber yang berbeda pula mendorong setiap negara untuk melakukan sebuah kerjasama yang saling menguntungkan satu-sama lain.  Oleh karena itu para penganut perspektif Liberalisme ini tidaklah menyiapkan diri untuk berperang, akan tetapi lebih menyiapkan strategi untk bagaimana bekerjasama dan berkompetisi dengan cara-cara yang lebih ‘beradab’. Menurut Rober Jackson dan R. Sorensen (2009: 139) ada 3 asumsi dasar kaum Liberalis dalam memahami Hubungan Internasional, diantaranya (1) pandangan posotif dan optimisme terhadap manusia; (2) keyakinan bahwa Hubungan Interansional lebih bersifat kooperatif daripada konfliktual; (3) kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan. Menurut John Locke (Jackson&Sorensen, 2009: 142) Kemajuan bagi kaum Liberal adalah kemajuan bagi para individu untuk meraih kebebasan serta kebahagiaan, dalam menjalani kehidupan tanpa intervensi dari Negara. Negara hanya berperan mengamankan dan menjamin kepentingan setiap individu yang hidup didalamnya. Tentu saja kembali membandingakn dengan perspektif Realis hal ini sangatlah bertentangan dengan Realis yang menyatakan bahwa kekuasaasn sepenuhnya berada ditangan Negara sebagai sebuah Anarchy.
Perspektif Liberalisme menjadi dominan setelah pecahnya perang dunia pertama, dimana muncul suatu rasa trauma serta kesedihan yang mendalam yang diakibatkan oleh peperangan. baik berupa harta , maupun nyawa. Perang merupakan sesuatu yang termat sangat mengerikan bagi umat manusia, dan khususnya bagi tentara-tentara muda yang dikenakan wajib militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan parit di garis depan pihak Barat (Gillbert 1995: 258 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 46).  Liberalisme awal ini disebut dengan Liberalisme ‘Utopian’. Tokoh terkenalnya adalah presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat yang terkenal dengan “Empatbelas poin perdamaian Wilson”. Liberalisme menginginkan seluruh negara yang ada didunia untuk menganut paham demokrasi, dengan begitu akan semakin memperkecil nafsu dari sistem otokratisnya untuk berperang serta melakukan ekspansi terhadap negara lain. Dengan menyatukan kesepahaman tersebut maka lebih menjamin tercegahnya perang-perang besar yang lain (Jackson&Sorensen, 2009: 48). Wilson menganalogikan bahwa negara-negara yang ada di dunia bagaikan binatang ‘buas’ dan sistem politik internasional adalah sebuah hutan belantara. Wilson berkeyakinan bahwa binatang-binatang yang buas tersebut mampu untuk ‘diikat’ melalui sebuah perjanjian internasional dan dimasukkan kedalam sebuah ‘kandang’ serta dengan kontrol organisasi internasional yang berperan sebagai ‘kebun binatang’, pernyataannya ini mengingatkan akan tokoh Liberalisme klasik pula Immanuel Kant dengan bukunya yang berjudul “Perpetual Peace”, yang hirau akan peranan organisasi internasional (Jackson&Sorensen, 2009: 50).
Tokoh Liberalis Utopian lainnya adalah Norman Angell dengan karyanya yang berjudul “The Great Illussion” pada 1909. Pemikirannya yaitu tentang betapa mahalnya kecerobohan suatu negara untuk menduduki negara lain melalui sebuah jalan peperangan.  Di era modern sebuah penaklukan harus dibayar mahal secara politis. Perang hanya akan mengganggu jalannya perdagangan Internasional dengan dunia yang semakin mengalami sebuah interdependensi yang mana akan mengabaikan peperangan dan unjuk kekuatan sebagai sarana untuk mencapai sebuah kepentingan (Jackson&Sorensen, 2009: 50-51). Membahas nama dari Liberalisme Utopian, dinamakan demikian karena Liga Bangsa-bangsa yang didirikan oleh Wilson telah gagal dalam ‘mengurung’ negara yang ‘buas’ dalam sebuah kurungan organisasi Internasional. Hewan yang buas tidak akan mau dengan semudah itu untuk dimasukkan kedalam sebuah kandang. Negara yang buas akan berontak dan melawan. (E.H Carr, 1939 dalam Jackson&Sorensen, 2009). Hal ini ditunjukkan dengan invasi Jerman yang notabene kalah pada perang dunia pertama, kepada Polandia. Hingga akhirnya Liberalisme klasik ini pun mendapat kekalahan mutlak dari penganut paham Realisme setelah Perang Dunia 2 pecah. Ditambah pemikiran kaum Liberal begitu Idealis sehinga sulit untuk diwujudkan secara sempurna.
 Setelah selesainya perang dunia kedua, perspektif Liberalisme terbagi menjadi empat aliran. Liberalisme sosiologis, Liberalisme interdependensi, Liberalisme institusional, dan yang terakhir Liberalisme republikan (Nye 1988: 246; Keohane 1989: 11; Zacher dan Matthew 1995: 121 dalam Jackson&Sorensen,  2009: 143). Pertama, mengenai Liberalisme Sosiologis, dimana kaum ini menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam Hubungan Internasional tidak hanya antara Pemerintah dan Negara berdaulat, melainkan masyarakat turut memiliki peranan penting didalamnya atau terletak pula pada aktor transnasional yang hidup dan salin berinteraksi antar negara yang berbeda. James Rosenau mendefinisikan Liberalisme Sosiologi sebagai berikut “proses dimana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai hubungan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakt-masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya suatu peristiwa” (Rosenau 1980: 1 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144).
Bahkan pandangan terhadap hubungan internasional lebih terfokus kepada rakyat maupun individu yang hidup dalam suatu negara, karena individu dinilai lebih memiliki sifat kooperatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian daripada negara. Seperti halnya yang diucapkan Richard Cobden, semakin kecil keterlibatan diantara pemerintah, semakin banyak hubungan antara bangsa-bangsa di dunia” (Cobden 1903: 216; Taylor 1957: 49 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144). Yang terkenal adalah pemikiran dari John Burton (1972) mengenai konsep “jaring laba-laba” dimana didunia ini banyak kelompok kepentingan yang saling tumpang tindih anatar satu dengan yang lain bahkan didalam sutau negara sekalipun. Tumpang tindih inilah yang membuat dorongan untuk bekerjasama tanpa melihat batas negara yang semu. Sebab utamanya adalah karena setiap individu adalah anggota dari banyak kelompok yang berbeda (Jackson&Sorensen, 2009: 145). Konsep jaring laba-laba yang kompleks menyebabkan lebih eratnya suatu kerjasama, apabila satu saja benang terputus maka akan mengganggu jalannya kepentingan kelompok yang lain. Sebagai contoh dari Liberalisme Sosiologis ini adalah adanya organisasi WWF, Green Peace, Amnesti Internasional, dan masih banyak lagi. Kemudian Liberalisme Interdependensi, dimana asumsi dasar dari penganut teori ini adalah terfokus pada Perdagangan Internasional. Negara-negara industrialis cenderung lebih mementingkan kerjasama mengenai sumber-sumber yang mampu diolah secara bersama-sama dalam mecapai sebuah kesejahteraan. Sebagai contoh adalah adanya kerjasama kawasan perdagangan bebas di ASEAN atau yang disebut dengan ASEAN Free Trade Area, yang telah disepakati dan dilaksanakan pada tahun 1993 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 33).
Untuk selanjutnya adalah Liberalisme Institusional, perspektif ini lebih menekankan kepada adanya suatu Institusi Internasional yang mengaur jalnnya pola perilaku aktor-akator yang berperan dalam Hubungan Internasional. Institusi Internasional lebih dari sekedar ciptaan negara kuat. mereka merupakan kepentingan yang independen, dan mereka dapat memajukan kerjasama antara negara-negara (Keohane1989; Young 1989; Rittberger 1993; Levy et. al dalam Jackson&Sorensen, 2009: 154). Sebagai contoh kasus adalah didirikannya ASEAN di kawasan Asia Tenggara yang dilatar belakangi oleh kegagalan-kegagalan organisasi kerjasama regional dimasa lalu karena berbagai konflik kepentingan sehingga mendorong negara-negara yang berada di kawasan ASEAN untuk kembali membangun kerjasama serta stabilitas kawasan. Sehingga resmi mulai Deklarasi Bangkok yang ditandatangani pada tanggal 8 Agusutus 1967 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 1-2). Terakhir adalah pandangan mengenai Liberalisme Republikan yang mana menekankan kepada nilai-nilai demokrasi. Negara-negara yang menganut paham demokrasi kecil kemungkinannya terlibat konflik dengan negara demokrasi lainnya. Menurut Michael Doyle (1983; 1986) melihat ada tiga elemen dasar kondisi negara-negara demokrasi liberal, yaitu Norma Demokratis atasresolusi damai, Hubungan Damai antara negara-negara demokratis, berdasarkan ataslandasan yang sama, dan yang ketiga adalah kerjasama ekonomi antara negara-negara demokrasi: hubungan Interdependensi.
Jadi Kesimpulannya adalah bahwa perspektif Liberalisme adalah sebuah perspektif yang memiliki pandangan lain terhadap manusia yang bertentangan denga perspektif Realisme. Apabila Perspektif Realisme menyatakan bahwa manusia pada dasrnya adalah jahat, maka perspektif liberalisme menyatakan bahwa tidak selamanya manusia adalah jahat. Manusia pun pada dasrnya memiliki  sifat yang kooperatif dan mampu bekerjasama. Jika perspektif realisme menekankan pada power untuk mencapai kepentingan dan perdamaian maka perspektif liberalisme menekankan pada interdepensi antar negara serta sifat kerjasamalah yang membuat setiap negara akan berpikir ulang untuk berkonflik dengan negara lain mengingat kondisi dimana saling membutuhkan satu sama lain. Liberalisme ini sebelumnya dikenal dengan Liberalisme Utopian. tokoh yang terkenal adalah presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson dengan empat belas poin perdamaian Wilson. Mengapa disebut Utopian, kaena isi dari perjanjian perdamaian serta idealisme Wilson terlalu sulit untuk di aplikasikkan di kehidupan yang sesungguhnya, sehingga tampak hanya seperti mimpi belaka. Terlebih setelah pecahnya perang dunia kedua yang menyebabkan Liberalisme ini seakan ‘habis’ karena telah dianggap gagal oleh kaum realis dalam memahami essensi Hubunga Internasional yang sesungguhnya. Setelah Perang Dunia kedua berakhir, Liberalisme terbagi menjadi empat. Yaitu Liberalisme Sosiologis yang menekankan mengenai peranan masyarakat global, lalu Liberalisme Interdependensi yang menekankan pada perdagangan serta kerjasama pengolahan sumber-sumber yanga ada. Dilanjutkan dengan Liberalisme Institusional, yang mengingatkan kepada Immanuel Kant akan pentiganya sebuah Institusi Internasional yang mengatur jalannya aktor-aktor yang berpartisipasi dalam sistem politik internasional. Terakhir adalah Liberalisme Republikan dimana penekanan utama adalah pada pemahaman terhadap nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Nilai-nilai demokrasi membuat negara-negara yang menganutnya engggan untuk melakukan konflik dengan negara demokrasi yang lain. Meskipun pada kenyataannya negara demokrasi pun tidaklah luput dari peperangan yang juga tidak kalah banyaknya dibandingkan negar yang tidak menganut sitem demokrasi tersebut.


No comments:

Post a Comment

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...