PERSPEKTIF
LIBERALISME DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Dalam studi Hubungan
Internasional telah dijelaskan, bahwa memiliki banyak perspektif yang digunakan
sebagai alat untuk mencari sebuah preposisi untuk menganalisis sebuah
permasalahan. Liberalisme adalah salah satu perspektif yang paling tua dalam
perkembangan studi ini disamping perspektif Realisme sebagai rival utamanya.
Jika sebelumnya perspektif Realisme berpandangan dengan asumsi dasar bahwa
manusia pada dasarnya jahat serta Homo Homini Lupus, atau manusia
adalah serigala bagi manusia yang lainnya. Serta , manusia adalah egois dan
akan mencapai segala keinginannya apapun caranya, termasuk tanpa harus
mempertimbangkan nilai moralitas Internasional. Kemudian berorientasi pada
power dalam mencapai kepentingannya dengan berperang sebagai ‘pemukul’ utama.
Berbicara mengenai perspektif
Liberalisme memang tidak pernah lepas dari rival abadinya, yaitu perspektif
Realisme (Dugis, 2013). Perspektif ini pula mencoba untuk menjelaskan
essensi dari studi Hubungan Internasional yang berdasarkan sebuah optimisme.
Berdasarkan Robert Jackson dan Georg Sorensen (2005: 140), tradisi Liberalisme
dalam studi Hubungan Internasional sendiri muncul pada sekitar abad
ketujuhbelas, dipelopori oleh John Locke di Amerika Serikat yang mana baru saja
merdeka dari jajahan Britania Raya. Dengan mempertimbangkan perkembangan civil
society serta kebebasan individu yang mulai berkembang bersamaan dengan
kapitalisme modern (Jackson&Sorensen, 2009). Revolusi Industri turut
berperan pula dengan perkembangan Liberalisme itu sendiri. Manusia semakin
menyadari bahwa ia memiliki banyak kepentingan dengan sumber-sumber terbatas,
dan membutuhkan bantuan manusia yang lain untuk mencapai kepentingan yang dia
inginkan. Perspektif Liberalisme menjadi seperti halnya konsolidasi kepentingan
setiap aktor yang berkepentingan didalamnya.
Sebagai perumpamaan, Negara A
memiliki kepentingan mengisi cadangan devisa negaranya untuk pembangunan
infrastruktur dengan mengandalkan batubara dan minyak bumi sebagai komoditas
utamanya untuk diekspor, dan masih sedikit ilmuwan yang berkompeten dibidang
pembangunan. Sedangkan Negara B, perindustrian negaranya berkembang dengan
pesat dan memiliki pelabuhan besar, sehingga membutuhkan pasokan energi yang
mencukupi, dalam hal ini khusunya batubara, akan tetapi ia tidak memiliki cukup
sumber daya batu baranya. Negara C memiliki banyak sekali ilmuwan sehingga
kurang mampu untuk memperkerjakan seluruh ilmuwannya sehingga membutuhkan
Negara yang sedang membangun, serta aksestabilitas Negara C kurang dalam hal
ekspor impor karena membutuhkan pelabuhan besar sedangkan Negara C berupa
daratan penuh dan tidak memiliki pelabuhan. Bisa dilihat dari perbedaan
kepentingan antar negara A, B, dan C maka, Negara A, B , dan C melakukan
konsolidasi dengan bekerja sama demi mencapai kepentingan Negaranya. Kerjasama
ini dapat berwujud sebuah organisasi Internasional antar-pemerintah yang
mengakomodir berbagai kepentingan setiap negara anggotanya dengan kesepakatan
yang disetujui oleh para anggotanya. Negara A, menjual Batubara ke Negara B,
Negara A mendapat pemasukan untuk tambahan devisanya dan Negara B memperoleh
sokongan energi. Negara C menawarkan diri untuk membantu bekerjasama untuk
pembangunan infrastruktur di Negara A, dengan mempekerjakan ilmuwan Negara C ke
Negara A. Sekaligus Negara C menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Negara B
untuk akses bersama pelabuhan dengan imbalan bantuan para ilmuwan dari
negaranya dalam pengembangan industrinya dan bagi hasil.
Dengan kepentingan yang
berbeda-beda, dan dengan kepemilikan sumber-sumber yang berbeda pula mendorong
setiap negara untuk melakukan sebuah kerjasama yang saling menguntungkan
satu-sama lain. Oleh karena itu para penganut perspektif Liberalisme ini
tidaklah menyiapkan diri untuk berperang, akan tetapi lebih menyiapkan strategi
untk bagaimana bekerjasama dan berkompetisi dengan cara-cara yang lebih
‘beradab’. Menurut Rober Jackson dan R. Sorensen (2009: 139) ada 3 asumsi dasar
kaum Liberalis dalam memahami Hubungan Internasional, diantaranya (1) pandangan
posotif dan optimisme terhadap manusia; (2) keyakinan bahwa Hubungan
Interansional lebih bersifat kooperatif daripada konfliktual; (3) kepercayaan
yang tinggi terhadap kemajuan. Menurut John Locke (Jackson&Sorensen, 2009:
142) Kemajuan bagi kaum Liberal adalah kemajuan bagi para individu untuk meraih
kebebasan serta kebahagiaan, dalam menjalani kehidupan tanpa intervensi dari
Negara. Negara hanya berperan mengamankan dan menjamin kepentingan setiap
individu yang hidup didalamnya. Tentu saja kembali membandingakn dengan
perspektif Realis hal ini sangatlah bertentangan dengan Realis yang menyatakan
bahwa kekuasaasn sepenuhnya berada ditangan Negara sebagai sebuah Anarchy.
Perspektif Liberalisme menjadi
dominan setelah pecahnya perang dunia pertama, dimana muncul suatu rasa trauma
serta kesedihan yang mendalam yang diakibatkan oleh peperangan. baik berupa
harta , maupun nyawa. Perang merupakan sesuatu yang termat sangat mengerikan
bagi umat manusia, dan khususnya bagi tentara-tentara muda yang dikenakan wajib
militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan parit di garis
depan pihak Barat (Gillbert 1995: 258 dalam Jackson&Sorensen, 2009:
46). Liberalisme awal ini disebut dengan Liberalisme ‘Utopian’. Tokoh
terkenalnya adalah presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat yang terkenal
dengan “Empatbelas poin perdamaian Wilson”. Liberalisme menginginkan seluruh
negara yang ada didunia untuk menganut paham demokrasi, dengan begitu akan
semakin memperkecil nafsu dari sistem otokratisnya untuk berperang serta
melakukan ekspansi terhadap negara lain. Dengan menyatukan kesepahaman tersebut
maka lebih menjamin tercegahnya perang-perang besar yang lain
(Jackson&Sorensen, 2009: 48). Wilson menganalogikan bahwa negara-negara
yang ada di dunia bagaikan binatang ‘buas’ dan sistem politik internasional
adalah sebuah hutan belantara. Wilson berkeyakinan bahwa binatang-binatang yang
buas tersebut mampu untuk ‘diikat’ melalui sebuah perjanjian internasional dan
dimasukkan kedalam sebuah ‘kandang’ serta dengan kontrol organisasi
internasional yang berperan sebagai ‘kebun binatang’, pernyataannya ini
mengingatkan akan tokoh Liberalisme klasik pula Immanuel Kant dengan bukunya
yang berjudul “Perpetual Peace”, yang hirau akan peranan organisasi
internasional (Jackson&Sorensen, 2009: 50).
Tokoh Liberalis Utopian lainnya
adalah Norman Angell dengan karyanya yang berjudul “The Great Illussion” pada
1909. Pemikirannya yaitu tentang betapa mahalnya kecerobohan suatu negara untuk
menduduki negara lain melalui sebuah jalan peperangan. Di era modern
sebuah penaklukan harus dibayar mahal secara politis. Perang hanya akan
mengganggu jalannya perdagangan Internasional dengan dunia yang semakin
mengalami sebuah interdependensi yang mana akan mengabaikan peperangan dan
unjuk kekuatan sebagai sarana untuk mencapai sebuah kepentingan
(Jackson&Sorensen, 2009: 50-51). Membahas nama dari Liberalisme Utopian,
dinamakan demikian karena Liga Bangsa-bangsa yang didirikan oleh Wilson telah
gagal dalam ‘mengurung’ negara yang ‘buas’ dalam sebuah kurungan organisasi
Internasional. Hewan yang buas tidak akan mau dengan semudah itu untuk
dimasukkan kedalam sebuah kandang. Negara yang buas akan berontak dan melawan.
(E.H Carr, 1939 dalam Jackson&Sorensen, 2009). Hal ini ditunjukkan dengan
invasi Jerman yang notabene kalah pada perang dunia pertama, kepada Polandia.
Hingga akhirnya Liberalisme klasik ini pun mendapat kekalahan mutlak dari
penganut paham Realisme setelah Perang Dunia 2 pecah. Ditambah pemikiran kaum
Liberal begitu Idealis sehinga sulit untuk diwujudkan secara sempurna.
Setelah selesainya perang
dunia kedua, perspektif Liberalisme terbagi menjadi empat aliran. Liberalisme
sosiologis, Liberalisme interdependensi, Liberalisme institusional, dan yang
terakhir Liberalisme republikan (Nye 1988: 246; Keohane 1989: 11; Zacher dan
Matthew 1995: 121 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 143). Pertama,
mengenai Liberalisme Sosiologis, dimana kaum ini menyatakan bahwa interaksi
yang terjadi dalam Hubungan Internasional tidak hanya antara Pemerintah dan
Negara berdaulat, melainkan masyarakat turut memiliki peranan penting
didalamnya atau terletak pula pada aktor transnasional yang hidup dan salin
berinteraksi antar negara yang berbeda. James Rosenau mendefinisikan
Liberalisme Sosiologi sebagai berikut “proses dimana hubungan internasional yang
dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai hubungan individu-individu,
kelompok-kelompok dan masyarakt-masyarakat swasta yang dapat memiliki
konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya suatu peristiwa” (Rosenau
1980: 1 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144).
Bahkan pandangan terhadap
hubungan internasional lebih terfokus kepada rakyat maupun individu yang hidup
dalam suatu negara, karena individu dinilai lebih memiliki sifat kooperatif dan
menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian daripada negara. Seperti halnya yang
diucapkan Richard Cobden, semakin kecil keterlibatan diantara pemerintah,
semakin banyak hubungan antara bangsa-bangsa di dunia” (Cobden 1903: 216;
Taylor 1957: 49 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144). Yang terkenal adalah
pemikiran dari John Burton (1972) mengenai konsep “jaring laba-laba” dimana
didunia ini banyak kelompok kepentingan yang saling tumpang tindih anatar satu
dengan yang lain bahkan didalam sutau negara sekalipun. Tumpang tindih inilah
yang membuat dorongan untuk bekerjasama tanpa melihat batas negara yang semu.
Sebab utamanya adalah karena setiap individu adalah anggota dari banyak
kelompok yang berbeda (Jackson&Sorensen, 2009: 145). Konsep jaring
laba-laba yang kompleks menyebabkan lebih eratnya suatu kerjasama, apabila satu
saja benang terputus maka akan mengganggu jalannya kepentingan kelompok yang
lain. Sebagai contoh dari Liberalisme Sosiologis ini adalah adanya organisasi
WWF, Green Peace, Amnesti Internasional, dan masih banyak lagi. Kemudian
Liberalisme Interdependensi, dimana asumsi dasar dari penganut teori ini adalah
terfokus pada Perdagangan Internasional. Negara-negara industrialis cenderung
lebih mementingkan kerjasama mengenai sumber-sumber yang mampu diolah secara
bersama-sama dalam mecapai sebuah kesejahteraan. Sebagai contoh adalah adanya
kerjasama kawasan perdagangan bebas di ASEAN atau yang disebut dengan ASEAN
Free Trade Area, yang telah disepakati dan dilaksanakan pada tahun 1993
(ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 33).
Untuk selanjutnya adalah Liberalisme
Institusional, perspektif ini lebih menekankan kepada adanya suatu Institusi
Internasional yang mengaur jalnnya pola perilaku aktor-akator yang berperan
dalam Hubungan Internasional. Institusi Internasional lebih dari sekedar
ciptaan negara kuat. mereka merupakan kepentingan yang independen, dan mereka
dapat memajukan kerjasama antara negara-negara (Keohane1989; Young 1989;
Rittberger 1993; Levy et. al dalam Jackson&Sorensen, 2009: 154).
Sebagai contoh kasus adalah didirikannya ASEAN di kawasan Asia Tenggara yang
dilatar belakangi oleh kegagalan-kegagalan organisasi kerjasama regional dimasa
lalu karena berbagai konflik kepentingan sehingga mendorong negara-negara yang
berada di kawasan ASEAN untuk kembali membangun kerjasama serta stabilitas
kawasan. Sehingga resmi mulai Deklarasi Bangkok yang ditandatangani pada
tanggal 8 Agusutus 1967 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 1-2).
Terakhir adalah pandangan mengenai Liberalisme Republikan yang mana menekankan
kepada nilai-nilai demokrasi. Negara-negara yang menganut paham demokrasi kecil
kemungkinannya terlibat konflik dengan negara demokrasi lainnya. Menurut
Michael Doyle (1983; 1986) melihat ada tiga elemen dasar kondisi negara-negara
demokrasi liberal, yaitu Norma Demokratis atasresolusi damai, Hubungan Damai
antara negara-negara demokratis, berdasarkan ataslandasan yang sama, dan yang
ketiga adalah kerjasama ekonomi antara negara-negara demokrasi: hubungan
Interdependensi.
Jadi Kesimpulannya adalah bahwa
perspektif Liberalisme adalah sebuah perspektif yang memiliki pandangan lain
terhadap manusia yang bertentangan denga perspektif Realisme. Apabila
Perspektif Realisme menyatakan bahwa manusia pada dasrnya adalah jahat, maka
perspektif liberalisme menyatakan bahwa tidak selamanya manusia adalah jahat.
Manusia pun pada dasrnya memiliki sifat yang kooperatif dan mampu
bekerjasama. Jika perspektif realisme menekankan pada power untuk mencapai
kepentingan dan perdamaian maka perspektif liberalisme menekankan pada
interdepensi antar negara serta sifat kerjasamalah yang membuat setiap negara
akan berpikir ulang untuk berkonflik dengan negara lain mengingat kondisi
dimana saling membutuhkan satu sama lain. Liberalisme ini sebelumnya dikenal
dengan Liberalisme Utopian. tokoh yang terkenal adalah presiden Amerika Serikat
Woodrow Wilson dengan empat belas poin perdamaian Wilson. Mengapa disebut
Utopian, kaena isi dari perjanjian perdamaian serta idealisme Wilson terlalu
sulit untuk di aplikasikkan di kehidupan yang sesungguhnya, sehingga tampak
hanya seperti mimpi belaka. Terlebih setelah pecahnya perang dunia kedua yang
menyebabkan Liberalisme ini seakan ‘habis’ karena telah dianggap gagal oleh
kaum realis dalam memahami essensi Hubunga Internasional yang sesungguhnya.
Setelah Perang Dunia kedua berakhir, Liberalisme terbagi menjadi empat. Yaitu
Liberalisme Sosiologis yang menekankan mengenai peranan masyarakat global, lalu
Liberalisme Interdependensi yang menekankan pada perdagangan serta kerjasama
pengolahan sumber-sumber yanga ada. Dilanjutkan dengan Liberalisme
Institusional, yang mengingatkan kepada Immanuel Kant akan pentiganya sebuah
Institusi Internasional yang mengatur jalannya aktor-aktor yang berpartisipasi
dalam sistem politik internasional. Terakhir adalah Liberalisme Republikan
dimana penekanan utama adalah pada pemahaman terhadap nilai-nilai demokrasi
yang sesungguhnya. Nilai-nilai demokrasi membuat negara-negara yang menganutnya
engggan untuk melakukan konflik dengan negara demokrasi yang lain. Meskipun
pada kenyataannya negara demokrasi pun tidaklah luput dari peperangan yang juga
tidak kalah banyaknya dibandingkan negar yang tidak menganut sitem demokrasi
tersebut.
No comments:
Post a Comment