BAB 1
PENDAHULUAN
Setiap orang
berbicara tentang stres. Kita mendengar topik ini sebagai bahan pembicaraan
sehari-hari, baik di radio, televisi, surat kabar dan diberbagai konferensi
maupun di kalangan Universitas. Sayangnya hanya sedikit saja orang yang
mengerti konsep stres yang benar. Manager menganggap stres sebagai frustasi
atau ketegangan emosi; pengatur lalu lintas pesawat berpendapat sebagai problem
konsentrasi; seorang remaja yang kandas cita-citanya dan para atlit yang gagal
berprestai karena ketegangan otot. Secara umum pengertian stres adalah suatu
bentuk ketegangan yang mempengaruhi fungsi alat-alat tubuh. Kalau ketegangan
itu berlebihan sehingga menggangu fungsi alat-alat tubuh tadi, maka keadaan
demikian disebut dengan istilah distres. Stres dalam kehidupan tidak dapat
dihindarkan. Masalahnya adalah bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus
mengalami distres.
Bagi masyarakat pada era
industrialisasi sekarang ini, pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan yang
sangat penting. Bagi masyarakat modern bekerja merupakan suatu tuntutan yang
mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan berupa uang atau jasa, ataupun
dalam rangka mengembangkan dirinya. Pada kenyataannya, sebagian besar pekerjaan
cenderung memiliki konotasi paksaan, baik yang ditimbulkan dari dalam diri
sendiri ataupun yang ditimbulkan dari luar. Pekerjaan juga seringkali meliputi
penggunaan waktu dan usaha di luar keinginan individu pekerja. Banyak pekerja
yang melakukan pekerjaan rutin, yang tidak atau hanya sedikit menuntut
inisiatif dan tanggungjawab, dengan sedikit harapan untuk maju atau berpindah
kejenis pekerjaan lain. Banyak juga pekerja yang melakukan tugas yang berada
jauh dibawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka anggap berada
dibawah tingkat pendidikan yang telah mereka peroleh. Di banyak sektor
industri, pekerjaan telah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah kedalam
tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang hanya sesuai bagi
robot yang tidak dapat berpikir.
Pada level organisasi yang lebih
tinggi, tingkat manajer atau supervisor, perkembangan teknologi dan
industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan managerial dan intelektual
yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan yang dimiliki sebahagian
besar individu. Dengan adanya teknologi yang lebih baik maka arus komunikasi
dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga seorang manager dapat
menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang memerlukan penyelesaian
dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi benturan antara dua
tuntutan yang berbeda, disatu pihak ia harus memperhatikan penyelesaian tugas
yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga memperhatikan pembinaan
hubungan baik dengan bawahan-bawahannya.
Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak
manajer dan penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akibat
faktor-faktor samar yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial,
ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak dapat diatasi. .
Teknologi dan industrialisasi yang
pesat juga mencipta-kan suatu perubahan yang penting dalam sifat ancaman dan
stres itu sendiri. Bagi manusia yang hidup dijaman yang masih primitif,
ketegangan itu suatu keadaan yang masih mudah ditentukan sebab musababnya dan
dapat dengan jelas dikenali, walaupun mengancam langsung kehidupan tetapi
sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia jaman dulu dapat menanggapi
ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa perilaku fisik yang relevan
dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak lanjutan dari ketegangan
tersebut dapat dihindari. Manusia jaman sekarang masih terbuka terhadap stres
atau ketegangan seperti yang telah dikemukakan diatas. Tetapi seringkali
manusia modern kurang intensif dalam menghadapi ketegangan atau stres yang
dihayatinya karena ketegangan tersebut sulit dihadapi secara pribadi
berdasarkan sifatnya yang samar dan sulit ditentukan sebab-sebabnya secara
gamblang. Sumber-sumber ketegangan (stres) bagi manusia modern tidak banyak
lagi yang berupa ancaman fisik, melainkan lebih bersifat psikologis seperti
perselisihan, persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan dipelakukan
tidak adil, ataupun cemas mengenai kenaikan pangkat atatu gaji. Akibatnya,
orang tersebut tetap tegang dan senantiasa siap tempur tetapi tidak pernah
menghadapi musuh yang sesung-guhnya.
Stres dan keadaan tegang yang
berkepanjangan, tanpa adanya penyelesaian yang adekuat, akan mengganggu
kesehatan fisik dan/atau mental pekerja yang muncul dalam bentuk
keluhan-keluhan psikosomatik. Selanjutnya, gangguan kesehatan tersebut akan
menjadi suatu stres baru, dan membentuk suatu lingkaran setan. Pada gilirannya,
kesehatan yang terganggu tersebut juga akan menggangu tampilan kerja individu.
Perhatian pekerja menjadi kurang dapat dipusatkan, motivasi kerja menurun, dan
tingkat keterampilannya menurun. Selain itu, biaya pemeliharaan kesehatanpun
menjadi meningkat. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi secara umum.
Faktor lain yang juga mempengaruhi
tampilan kerja individu adalah kepuasaan kerjanya. Menurut penelitian Hawthorne
(Milton, 1981, hal. 161) kepuasaan akan kerja akan mengarahkan pekerja kearah
tampilan kerja yang lebih produktif. Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan
memiliki loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, secara sekilas tampak
terdapat hubungan antara stres dan kepuasan kerja, terutama dalam hal tampilan
kerja individu. Makalah ini berusaha membahas peranan kepuasan kerja dalam
menurunkan akibat buruk dari stres yang dihayati pekerja dalam lingkungan
pekerjaannya.
Perubahan-perubahan
sosial yang cepat sebagai konsekuensi modernisasi mempunyai dampak pada
kehidupan. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
tersebut, pada gilirannya dapat menimbulkan ketegangan atau stres pada dirinya.
Stres sendiri merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang demikian
cepatnya dalam abad ke duapuluh satu ini, suatu ironi kehidupan. Manusia
menciptakan berbagai macam produk untuk meningkatkan taraf hidupnya, untuk
hidup lebih efisien, namun dalam proses memproduksi berbagai macam produksi,
manusia harus menghadapi berbagai macam kondisi, yang dapat menimbulkan stres
yang lebih banyak.
Seorang yang
menderita stres, selain terwujud dalam berbagai macam penyakit, dapat pula terungkap
melalui ketidak mampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
sehingga menderita gangguan kecemasan, depresi dan gangguan psikosomatik.
Penderitaan fisik dan/atau psikik menyebabkan orang tak dapat berfungsi secara
wajar, tak mampu berprestasi tinggi dan sering menjadi masalah bagi
lingkungannya (di rumah, di tempat kerja atau lingkungan sosial lain),
merupakan akibat dari stres yang berkelanjutan.
Makalah ini
berupaya membahas masalah stres dan upaya penanggulangannya. Mula-mula akan dibahas
arti dari stres, jenis stres, dampaknya terhadap individu. Akhirnya akan
dijelaskan berbagai macam cara atau metode yang dapat dilakukan sebagai upaya
penanggulangan stres.
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manajemen Setres
Stres adalah
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi
seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang
berbagai macam gejala Stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Stres dapat juga membantu atau fungsional, tetapi juga dapat berperan salah
atau merusak prestasi kerja. Secara sederhana hal ini berarti bahwa Stres
mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung
seberapa besar tingkat Stres yang dialami oleh karyawan tersebut.
Adapun menurut
Robbins (2001:563) Stres juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang
menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk
mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Dan apabila
pengertian Stres dikaitkan dengan penelitian ini maka Stres itu sendiri adalah
suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang karena
adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Jadi, Stres dapat dilihat dari dua sisi
yaitu sisi positif dan negatif tergantung dari sudut pandang mana seseorang
atau karyawan tersebut dapat mengatasi tiap kondisi yang menekannya untuk dapat
dijadikan acuan sebagai tantangan kerja yang akan memberikan hasil yang baik
atau sebaliknya.
Berbagai defenisi mengenai stres
telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada
dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti
persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai ‘the nonspesific
response of the body to any demand‘, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan
‘stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his
adjustive resources’ (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua
defenisi diatas tampak bahwa stres lebih dianggap sebagai respon individu
terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan
fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social.
Hans Selye juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus
lingkungan yang dapat mengakibatkan stres, tetapi semua itu tergabung dalam
suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) mengembangkan
konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome)
yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang
mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh
diaktifkan. Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone
dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada
sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme
pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat
beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi
dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan
adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan
jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978)
mengemukakan tahapan-tahapan proses stress. Menurut beliau adalah sebagai
berikut :
@Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang
memba-hayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun
terarah kepada stimulus tersebut.
@Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang
mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu
tersebut.
Tahapan penilaian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Primary Cognitive Appraisal
Adalah proses mental yang berfungsi mengevaluasi suatu
situasi atau stimulus dari sudut implikasinya terhadap individu, yaitu apakah
menguntungkan, merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
2. Secondary Cognitive Appraisal
Adalah evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki individu
dan berbagai alternatif cara untuk mengatasi situasi tersebut. Proses ini
dipengaruhi oleh pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi individu
terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya serta berbagai sumberdaya pribadi
dan lingkungan.
@Stage of Searching for a Coping
Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk
mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta
mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang
dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun jika individu
memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut,
yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan
digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu
serta konteks situasi dimana stres tersebut berlangsung.
@Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang
akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang
digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang
terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf
otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya
pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stres yang
berkepanjangan.
Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami
disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stres kedalam
tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah-istilah harm-loss, threat,
dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki konotasi negatif. Keduanya
dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss digunakan untuk
menerangkan stres yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik
stres akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan
fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan)
berkonotasi positif. Artinya, stres yang dipicu oleh situasi-situasi yang
dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain.
Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya, justru
positif.
B.
Tujuan Manajemen Setres
Stress adalah
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang, yang apabila terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungannya. Ia merupakan suatu hal yang akan selalu datang pada
diri manusia. Berbagai dampak dapat disebabkan oleh stress, mulai dari kerugian
fisik, mental, maupun kegagalan didalam melakukan proses adaptasi lingkungan.
stressor adalah semua
keadaan, kejadian, atau peristiwa yang dapat menimbulkan stres. Namun tidak
semua stressor menimbulkan stres yang merugikan. Stressor ringan
atau berlangsung singkat, menurutnya justru dibutuhkan untuk meningkatkan daya
tahan mental seseorang. mengatasi stressor dengan cara-cara sebagai berikut:
mengatur waktu, refresing, relaksasi, yoga, mengungkapkan perasaan pada orang
lain, dan mendekatkan diri pada Allah SWT melalui cara sholat dan berdoa.
Manajemen stres dalam perspektif agama
dimulai dari kemampuan untuk mengatur diri sendiri dengan membiasakan dan
mengoptimalkan kemampuan berpikir, berzikir, bersyukur, bersabar, dan tawakal
C. STRES DI LINGKUNGAN KERJA
Lingkungan kerja, sebagaimana
lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari
individu yang menempatinya. Dengan demikian, dalam lingkungan kerja ini
individu memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja
dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu
organisasi. Stres ini dapat merupakan akibat dari lingkungan fisik, sistem dan
teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur
pekerjaan, tingkah laku individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi
lainnya.
Secara umum terdapat tiga buah
pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup organisasi.
Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari ber-bagai
situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada
karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Dan pendekatan ketiga
meninjaunya melalui acuan interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik
individu.
1) Karakteristik Obyektif Situasi Kerja
Pendekatan ini bertolak dari konsep stres sebagai suatu
kondisi/situasi yang mampu menimbulkan pergolakan, kekacauan, atau perubahan
yang bersifat reaktif dalam diri individu. Dengan perkataan lain, pendekatan
ini mengacu kepada konsep stres sebagai stimulus. Ada atau tidaknya stres dan
bobot stres dapat diduga dari karakteristik stimulus yang dihadapi individu.
Stimulus yang mampu menimbulkan stres ini biasa disebut stresor.
Secara umum, konsep stres sebagai suatu stimulus diguna-kan
untuk menerangkan situasi-situasi yang memiliki karak-teristik baru, intense
(kuat), berubah-ubah dengan cepat, dan terjadi tanpa diduga sebelumnya. Situasi
lain yang dapat menjadi stresor memiliki karakteristik sebagai berikut :
- stimulus
deficit (kurangnya stimulasi lingkungan)
- absence
of expected stimuli (ketidakhadiran stimulus yang diharapkan)
- highly
persistent stimulations (stimulasi monoton)
- kelelahan
- kejenuhan
Dalam lingkungan kerja, konsep stres
sebagai suatu stimulus sering digunakan untuk membahas situasi-situasi kerja
yang dapat menimbulkan stres pada para pekerja.
Situasi-situasi tersebut adalah sebagai berikut :
Ć Karakteristik Fisik Lingkungan Kerja
a) situasi kerja yang berpolusi
b) noise (kebisingan)
c) terlalu panas atau terlalu dingin
d) rancangan sistem manusia-mesin yang
buruk
e) situasi kerja yang mengancam
keselamatan fisik
Ć Karakteristik Waktu Kerja
a) pekerjaan-pekerjaan yang waktunya
tidak menentu
b) terlalu sering lembur
c) deadlines (batas waktu)
d) time pressures
Ć Karakteristik Lingkungan Sosial dan
Organisasi
a) iklim politis yang kurang sehat
b) kualitas supervisi yang buruk
c) relasi atasan-bawahan yang buruk
d) tugas-tugas monoton
e) machine pacing (kecepatan mesin)
f)
beban kerja yang berlebihan
g) tanggung jawab yang terlalu besar
h) kurang penghargaan terhadap hasil
kerja
Ć Karakteristik Perubahan Dalam
Pekerjaan
a) pemutusan hubungan kerja
b) pension
c) demosi
d) adanya perubahan kualitatif dalam
jabatan
e) promosi yang terlalu dini
f)
perubahan pada pola shift
g) situasi dimana tidak ada perubahan
sama sekali
Untuk menjelaskan bagaimana
karakteristik-karakteristik di atas menimbulkan stres pada pekerja, berikut ini
dikemu-kakan sebuah ilustrasi. Dengan adanya perkembangan teknologi, proses
industri sekarang ini banyak menggunakan mesin-mesin dengan teknologi yang
canggih. Mesin-mesin tersebut memiliki cara kerja yang otomatis dengan
kecepatan kerjanya sendiri. Adanya keadaan ini menimbulkan perasaan tidak
mengenakkan pada diri pekerja. Pertama, otomatisasi membuat pekerja hanya
memiliki peranan yang relatif kecil dalam proses produksi karena sebagian besar
pekerjaan telah diambil alih oleh mesin, dan ini membuat pekerja merasa kurang
dihargai. Kedua, pekerja harus menyesuaikan diri dengan kecepatan kerja mesin
yang seringkali membuatnya harus memusatkan perhatian secara terus-menerus,
yang dapat menimbulkan keletihan baik fisik maupun mental kepada pekerja
tersebut. Ketiga, keadaan inipun membuat hubungan sosial pekerja dengan pekerja
lainnya menjadi berkurang karena pekerja harus memusatkan perhati-annya kepada
mesin. Kesemuanya merupakan sumber stres bagi pekerja tersebut.
Contoh nyata adanya stres akibat kecepatan kerja mesin
terdapat pada pekerja lini rakit (assembly line) yang menggu-nakan peralatan
mekanis modern.
Dalam kaitannya dengan
karakteristik-karakteristik di atas, Kagan dan Levi (1971) menyatakan bahwa
setiap individu mempunyai kemampuan genetis untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, dan mempunyai perilaku tertentu untuk mengata-si lingkungannya
tersebut (Fraser, hal.83). Jika stimulus yang dihadapi individu tidak melebihi
batas-batas ambang penyesuainnya maka individu tersebut tidak akan tergangggu
baik fisik maupun mentalnya. Kondisi fisik/mental individu terganggu jika
stimulus yang dihadapinya menuntut penyesuaian diri yang melebihi batas
ambangnya sehingga ia tidak mampu lagi mengatasi lingkungannya. Jika hal ini
berlangsung terus menerus akan muncul simptom-simptom stres seperti gangguan
percernaan migraine, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
- Karakteristik
Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu
memiliki ambang stres yang berbeda. Dengan demikian, karakteristik individu
akan mempengaruhi kadar stres yang dihayatinya. Berdasarkan beberapa
penelitian, faktor-faktor berikut ini dapat mempengaruhi ambang stres seseorang
(Braznitz & Golberger, hal.434) :
–
Usia
–
jenis kelamin
–
kebangsaan dan suku bangsa
–
taraf hidup
–
banyaknya perubahan yang dialami
semasa hidup
–
kecenderungan work addict
–
kecenderungan neurotik dan depresi
–
fleksibilitas kepribadian
–
mekanisme pertahanan diri yang
dipergunakan
–
self esteem
–
makna pekerjaan bagi individu
Salah satu teori yang berlandaskan
pada teori ini adalah yang diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang
menggo-longkan individu kedalam dua pola perilaku yaitu individu tipe A dan
individu tipe B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit
jantung (Breznizt & Golberger, hal.547).
Individu dengan pola perilaku tipe A
lebih mudah terserang penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik
dan jenis pekerjaan mereka. Dua karakteristik utama individu dengan pola
perilaku tipe A adalah adanya suatu dorongan yasng besar untuk bersaing dan
perasaan menetap tentang pentingnya waktu. Individu dengan pola perilaku tipe A
sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba
dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain pekerjaan, dan
terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola
perilaku tipe A selalu berada dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan
relatif bebas dari sumbner-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri
dalam bentuk pola perilakunya. Stres selalu timbul pada saat bekerja maupun
pada waktu senggang mereka.
Individu dengan pola perilaku tipe B
mungkin sama ambisiusnya dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan
menerima situasi seadanya. Individu tipe B beker-ja dengan nyaman tanpa usaha
untuk memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif. Dalam menghadapi
tekanan waktu, sikap mereka lebih santai sehingga jarak mengalami
masalah-masalah yang berhubungan dengan stres dan tegang. Dengan demikian
individu tipe B dapat bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A tetapi lebih
sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Sebenarnya, pembagian pola perilaku
ini tidak menun-jukkan ciri kepribadian yang statis, akan tetapi lebih
meng-gambarkan gaya perilaku yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan
seseorang dalam menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa
ciri psikis utama individu tipe A adalah keinginan untuk mencapai prestasi
sosial (social achievement) yang dapat dianalogikan dengan mencari status
(status seeking). Glass (1977) menduga bahwa faktor utama yang menyebabkan
timbulnya pola perilaku tipe A adalah keinginan atau obsesi untuk mengendalikan
lingkungan. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi oleh individu tipe A
pada tidak bisa tidak melakukan sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe
A akan menghayati stres yang relatif lebih besar jika mereka dibiarkan tanpa
diberikan pekerjaan atau aktivitas.
- Pendekatan
Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh
pendekatan ini berpenda-pat bahwa stres tidak semata-mata disebabkan oleh
situasi lingkungan kerja atau semata-mata oleh karakteristik pekerja yang
bersangkutan melainkan oleh interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan
pendekatan interaksi ini, Cox dan Mackay (1979) mengatakan bahwa stres
merupakan hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam
lingkung-annya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atatu
ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseim-bangan antara persepsi orang
tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai
kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, hal. 80). Ini
berar-ti bahwa tidak ada stresor yang berifat universal. Stimulus yang sama
dapat menyebabkan intensitas stres yang berbeda atau bahkan tidak menyebabkan
stres sama sekali pada individu yang mempersepsi dirinya mampu menghadapi stres
tersebut. Dengan demikian, yang menjadi pokok bahasan adalah persepsi individu
terhadap situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang
berlangsung. Dengan perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih
penting daripada frekwensi dan kadar stres itu sediri.
Salah satu model teori interaksi
yang cukup populer berasal dari French (1982), yang disebutnya “the Person
Enviromental fit Model”. Menurut French, stress terdapat pada kotak G dalam
model P-E nya, yaitu sebagai “Subjective Person-Environment Fir”. Dalam hal
ini, konsep stress dari Mc.Grath, yang menekankan masalah persepsi.
Seperti yang digambarkan dalam model
P-E stress tidak timbul akibat stressor lingkungan semata melainkan merupakan
hasil persepsi individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi
stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut merupakan faktor yang
paling menentukan bobot stres dari suatu situasi.
Dalam model P-E tersebut, persepsi individu dipengaruhi oleh
karakteristik lingkungan (Objective Social Environment) dan karakteristik
individu (Objective Person). Dengan demi-kian jika salah satu dari kedua hal
ini berubah, persepsi individu pun akan berubah, sehingga pada akhirnya bobot
stres yang dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa
stress yang dipersepsi dapat dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social
Support” dan “Ego Defence”. Artinya, jika individu memperoleh dukungan sosial
yang memadai dari lingkungan dan/atau menggunakan ego defence yang tepat,
stress dapat menurun intensitasnya.
Dengan demikian, berdasarkan model
P-E dari French di atas, usaha-usaha yang diarahkan untuk menurunkan intensitas
stres dapat dilakukan melalui perubahan persepsi dan pembeian dukungan sosial.
Cobb (1976) telah memberikan bukti yang mengesankan bahwa di dalam suatu
krisis, yang nyata-nyta merupakan suatu situasi penuh stres, dukungan sosial
dapat melindungi manusia dari aneka ragam kondisi patologis (Fraser, hal. 87).
Menurut Lieberman dkk, secara
teoritis peran dukungan sosial adalah sebagai berikut (Goldberger &
Breznitz, hal. 778) :
@Social resources dapat mengurangi
peluang terjadinya situasi yang mampu membangkitkan stress
@Bila situasi tersebut terjadi juga,
interaksi dengan ‘significant orthers’ dapat memodifikasikan persepsi indi-vidu
terhadap situasi tersebut. Dengan demikian, intensitas stres yang timbul dapat
dikurangi
@Tingkat stres yang dialami oleh
individu erat hubungannya dengan tingkat perubahan yang ditimbulkan oleh
situasi tersebut, dalam hal ini adalah perubahan peran. Social resources dapat
mengubah persepsi individu tentang relasi antara perannya yang terancam dengan situasi
yang menimbulkan stres.
@Social resources dapat mengubah
persepsi individu tentang strategi ‘coping’ yang tepat, misalnya dengan cara
mempe-ngaruhi individu untuk menggunakan strategi tertentu.
@Social resources dapat
memodifikasikan dampak stresor yang mengikis harga diri dan keyakinan individu.
@Social resources berpengaruh
langsung terhadap tingkat adaptasi yang dimiliki individu
Dengan demikian, dukungan sosial
tidak saja dapat meredam dampak stres melainkan juga dapat mengurangi peluang
terjadinya stres.
D. KEPUASAN KERJA
Kepuasan kerja akhir-akhir ini
semakin terasa penting artinya dalam lingkup organisasi. Kepuasan kerja
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari
masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, seperti kemangkiran, konflik
manager-pekerja, ‘turn-over’, serta banyak masalah lainnya yang menyebabkan
terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi pekerja,
ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja,
menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Secara umum dapat dikemukan bahwa
pemecahan masalah-masalah organisasi dari segi manusianya dapat dilakukan
melalui prinsip-prinsip kepuasan kerja. Dengan adanya kepuasan kerja yang
tinggi akan muncul ikatan yang positif antara pekerja dengan pekerjaannya,
sehingga dari pekerja ini dapat diharapkan suatu hasil yang optimal. Dari
hampir semua perusahaan yang mengalami
kemajuan yang pesat ditandai dengan gejala kepuasan kerja yang tinggi di antara
para pekerjanya.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip
kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Milton
menyata-kan bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi emosional positif atau
menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerja berdasarkan pengalamannya
(Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja
terhadap pekerja-annya tergantung kepada taraf pememnuhan kebutuhan-kebutuhan
fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesenjangan antara
yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar
bagi munculnya kepu-asan atatu ketidakpuasan. Beberapa ahli telah mencoba
mengemukakan faktor-faktor yang terlibat dalam kepuasan kerja. Herzberg,
seperti yang dikutif oleh Gilmer (1961), mengemukakan faktor-faktor kemapanan
atau keamanan pekerjaan, kesempatan untuk maju, pandangan pekerja mengenai
perusahaan dan manajemennya, gaji, aspek-aspek intrinsik pekerjaan, kualitas
penyeliaan, aspek-aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, serta kondisi kerja
fisik dan jam kerja sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja. Perlu
dicatat bahwa hasil penelitian diatas diperoleh dari laporan pekerja yang
sebagian besar pekerja dalam kondisi yang cukup baik, dengan gaji yang
mencukupi dan hubungan dengan atasan-bawahan yang baik.
Ruth Johnston (1975) menekankan
bahwa kebutuhan akan uang dan kondisi fisik relatif tidak penting bila dua hal
tersebut, paling tidak sampai pada taraf tertentu, telah terpenuhi. Lebih
lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Johnston menunjukkan urutan preferensi
di antara pekerja pria untuk pekerjaan yang menarik adalah rekan sekerja yang
ramah, manajemen yang efisien, gaji yang tinggi, dan penyelia yang penuh
perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan prefensinya bergerak dari
rekan sekerja yang ramah, penyelia yang penuh perhatian, manajemen yang
efisien, dan gaji yang tinggi. Dalam penelitian berikutnya (Johnston, 1973)
menun-jukan bahwa pekerja menilai keramahan dan perhatian pada pekerjaan sebagi
suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55).
Dari kenyataan-kenyataan di atas
tampak bahwa faktor-faktor relasi sosial yang baik dan penghargaan terhadap
prestasi kerja merupakan faktor-faktor yang sangat menetukan kepuasan kerja.
Faktor gaji dan imbalan lainnya walaupun masih dianggap penting, tidak
memperoleh penekanan yang khusus. Dengan demikian, untuk meningkatkan kepuasan
kerja kedua hal itu harus terpenuhi terlebih dahulu.
E. STRES DAN KEPUASAN KERJA
Pekerjaan mengatur lalu-lintas udara
dianggap sebagi salah satu pekerjaan yang paling menimbulkan stres. Jam demi
jam mereka harus selalu waspada, mengawasi sejumlah pesawat terbang yang datang
dan pergi dengan kecepatan dan ketinggian masing-masing. Walaupun demikian, dua
buah penelitian (Singer & Ruterfranz, 1971; R.C Smith, 1973) menunjukan
bahwa aspek-aspek pekerjaan yang tidak disukai oleh pengawas lalu-lintas udara
adalah administrasi, kualitas manajemen, upah/gaji, kerja malam (saat
lalu-lintas udara tidak padat), dan yang disebut ‘stres’ (beban mental atau
tanggung jawab yang besar) tidak termasuk kedalam aspek pekerjaan yang tidak
disukai dan bahkan terkadang termasuk ke dalam aspek pekerjaan yang disukai.
Dari penelitian yang dilakukan
Caplan dan kawan-kawan terhadap 2000 pekerja dari 23 jabatan di Amerika
Serikat, Fraser menarik kesimpulan bahwa lingkungan stres yang dirasakan secara
subyektif lebih berperan sebagai penentu ketegangan daripada lingkungan itu
sendiri, dan bahwa reaksi subyektif seperti kecemasan, kemarahan, tekanan
mental, dan gangguan-gangguan psikosomatis berkaitan erat satu sama lainnya dan
tampaknya lebih dipengaruhi oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada oleh
sifat-sifat pekerjaan itu sendiri. Lebih jauh lagi, Fraser juga menga-takan
bahwa unsur-unsur yang sama, yang identik dengan pembangkit stres, juga
ditetapkan sebagai penyebab ketidak-puasan.
Salah satu kondisi kerja yang dapat
menimbulkan stres pada diri pekerja adalah kerja paruh waktu (shift work).
Keluhan-keluhan yang muncul pada kondisi kerja ini antara lain gangguan sulit
tidur, gangguan pencernaan, dan gangguan-gangguan sosial Goldberger &
Breznizt, hal.432). Tetapi keadaan dapat diperbaiki oleh motivasi pekerja itu sendiri.
Bila kerja lembur atatu kerja malam memang dikehendaki oleh pekerja itu
sendiri, stres akan diperkecil dan demikian pula ketegangan yang melaporkan
bahwa masalah-masalah pembuluh darah jantung (kardiovaskuler) lebih umum
dialami oleh para pekerja siang hari daripada para pekerja malam hari.
Dari penjelasan-penjelasan diatas
tampak bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kadar stres dan dapat mengurangi
dampak menyakitkan dari stres tersebut. Robert R. Holt menyatakan bahwa :
“Job satisfaction is eudently highly relevant to occupational stress and its
pathogenics effects”.
F.
Macam-macam dari Strestor
1.
Strestor Yang
Bersumber dari Pribadi
Kepribadian dan
persepsi memainkan peran penting terhaadap tinggi rendahnya sters. Saat
seseorang mempresepsikan bahwa penceraian itu adalah sesuatu yang sangat
menyakitkan dan tidak ada jalan keluar nya, individu akan merasa semakin sters.
Beberapa tipe kepribadian lebih mudah terkenal sters di banding tipe
kepripadian lainnya. Orang kepribadian A, emosinya tinggi sehingga lebih mudah
terkena stres.
2.
Stesor
pekerjaan
Propesi-propesi
tertenttu mempunyai potensi memunculkan sters lebih besar di bandingklan
propesi lainnya. Misalnya Polisi pemadam kebakaran, dokter dan juga propesi
lainnya.
3.
Stesor
Lingkungan
G.
Dampak Setres
Apakah dampak
stress? dampak stress dibedakan dalam 3 kategori, dampak Fisiologik, dampak
psikologik dan dampak perilaku.
a.
Dampak
Fisiologik
Secara umum
orang yang mengalami stress mengalami sejumlah gangguan fisik seperti : mudah
masuk angin, mudah pening-pening, kejang otot (kram), mengalami kegemukan atau
menjadi kurus yang tidak dapat dijelaskan.
b.
Dampak
Psikologik
Adapun dampak
psikologik antara lain:
–
Keletihan
emosi, jenuh, penghayatan ini merupakan tanda pertama dan punya peran sentral
bagi terjadinya ‘burn – out’
–
Terjadi
‘depersonalisasi’ ; Dalam keadaan stress berkepanjangan, seiring dengan
kewalahan /keletihan emosi, kita dapat melihat ada kecenderungan yang bersangkutan
memperlakuan orang lain sebagai ‘sesuatu’ ketimbang ‘sesorang’
–
Pencapaian
pribadi yang bersangkutan menurun, sehingga berakibat pula menurunnya rasa
kompeten & rasa sukses
c.
Dampak Perilaku
Dampak perilaku
seperti:
–
Manakala stress
menjadi distress, prestasi belajar menurun dan sering terjadi tingkah laku yang
tidak berterima oleh masyarakat
–
Level stress
yang cukup tinggi berdampak negative pada kemampuan mengingat informasi,
mengambil keputusan, mengambil langkah tepat.
–
Mahasiswa yang
‘over-stressed’ ~ stress berat seringkali banyak membolos atau tidak aktif
mengikuti kegiatan pembelajaran.
H.
Faktor Setres
Kondisi-kondisi
yang cenderung menyebabkan Stres disebut Stressors. Meskipun Stres dapat
diakibatkan oleh hanya satu Stressors, biasanya karyawan mengalami Stres karena
kombinasi Stressors.
Menurut Robbins
(2001:565-567) ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya Stres
yaitu:
1.
Faktor Lingkungan
Keadaan
lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan
struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan
terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan Stres bagi karyawan yaitu ekonomi,
politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian
terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena Stres.
Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat.
Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan
pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan
dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang
digunakannya.
2.
Faktor Organisasi
Didalam
organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan Stres yaitu role
demands, interpersonal demands, organizational structure dan organizational
leadership. Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Role Demands
Peraturan dan
tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan
mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin
dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.
b.
Interpersonal Demands
Mendefinisikan
tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan
komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan
dapat menyeba bkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan
dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan
menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan
karyawan lainnya.
c.
Organizational Structure
Mendefinisikan
tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika
terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka
akan dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi.
d.
Organizational Leadership
Berkaitan
dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi.
Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316) dibagi
dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada
hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik
pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja. Empat
faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya
tingkat Stres. Pengertian dari tingkat Stres itu sendiri adalah muncul dari
adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak
diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau
permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan
dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting.
3.
Faktor Individu
Pada dasarnya,
faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi
pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara
keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan
dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang.
Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat
menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat
menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya. Karakteristik pribadi
dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan Stres terletak pada
watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu,
gejala Stres yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam
kepribadian seseorang sehingga dapat digambarkan.
I.
Solusi
Orang sekarang
katanya gampang terkena stres. Mungkin ini karena semakin tingginya tuntutan.
Baik tuntutan dari tempat kerja anda atau tuntutan dari sekitar kita. Tempat
kerja menuntut agar produktivitas
kerja meningkat agar target perusahaan tercapai. Kebutuhan keluarga
makin meningkat, sementara “kemampuan” masih tetap.
Kalau segala macam tuntutan itu tidak
mampu di-management dengan baik, stress mudah timbul. Bagaimana tips management
stress agar anda terhindar dari serangan stres?
–
Tidur cukup
Kurang tidur
merupakan salah satu sebab terbesar seseorang terjangkit stres. Mungkin karena
harus kejar deadline pekerjaan yang bertumpuk sampai harus mengorbankan waktu
tidur anda. Sesekali boleh saja anda lemburan, tapi jangan keterusan dan
kompensasikan kekurangan tidur anda itu. Kalau anda keseringan melanggar jatah
waktu istirahat anda, pasti tubuh anda akan “berontak”. Akibatnya waktu pagi
hari wajah anda terlihat kurang fresh, kantung mata menggantung, stamina pun
kurang bugar. Berapa waktu ideal tidur setiap harinya? Kalau kata pakar
sekurang-kurangnya kita butuh waktu tidur minimal delapan jam. Namun saya
percaya anda yang paling tahu kebutuhan tidur anda. Sebagai pedoman, gampangnya
begini. Kalau waktu bangun anda merasa badan anda kurang segar, itu tandanya
kalau anda masih kurang tidur. Tapi kalau sudah segar berarti waktu tidur anda
cukup. Namun pedoman di atas jangan anda jadikan alasan buat tidur berlebihan
ya, karena efeknya pasti juga sama tidak baiknya. Tidur yang cukup (dan bukan
berlebihan) itu ikut membantu mengurangi tingkat ketegangan atau stress tubuh
anda.
–
Olahraga cukup
Olahraga yang
cukup itu pun bisa membantu mengurangi ketegangan anda. Biar tidak suntuk
selalu berada di depan layar monitor untuk menjalankan bisnis
internet, lakukanlah olahraga. Berolahraga membantu anda lebih sehat, meningkatkan energi dan stamina
anda, membuat pikiran lebih fresh–sehingga anda bisa bekerja
online lebih baik—dan membuat tidur lebih pulas. Kalau anda belum
rutin olahraga, saya sarankan mulai minggu ini. Bisa dimulai dengan olahraga
kecil seperti jalan-jalan, lari pagi, atau naik sepeda keliling sekitar
lingkungan rumah anda. Boleh juga kembali melakukan olahraga kegemaran yang
sudah lama tidak anda lakukan.
–
Makan teratur
Gara-gara telat makan akibat terlalu fokus memikirkan pekerjaan anda bisa berakibat fatal dan meningkatkan potensi terkena stress. Makanlah makanan bergizi secara teratur. Jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, anda jadi lupa atau telat makan.
Gara-gara telat makan akibat terlalu fokus memikirkan pekerjaan anda bisa berakibat fatal dan meningkatkan potensi terkena stress. Makanlah makanan bergizi secara teratur. Jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, anda jadi lupa atau telat makan.
– Musik
Suara musik mampu membuat tubuh anda terasa lebih enteng. Anda bisa dengarkan musik untuk mengurangi ketegangan tubuh anda. Cobalah dan biarkan tubuh anda bergoyang mengikuti irama musik. Dendangkan juga syair lagunya.
Suara musik mampu membuat tubuh anda terasa lebih enteng. Anda bisa dengarkan musik untuk mengurangi ketegangan tubuh anda. Cobalah dan biarkan tubuh anda bergoyang mengikuti irama musik. Dendangkan juga syair lagunya.
–
Liburan
Berlibur
bersama keluarga atau orang-orang yang anda sayangi untuk sejenak terbebas dari
rutinitas yang membelenggu perlu anda lakukan untuk melemaskan urat-urat syaraf
anda.
– HubunganSosial
Bertemu dengan teman-teman lama atau paling tidak coba menghubungi mereka bisa mempererat kembali hubungan anda. Anda bisa ngobrol mengingat kisah jaman dulu kala. Pasti stres anda akan lenyap seketika mentertawakan cerita-cerita lucu yang anda alami.
Bertemu dengan teman-teman lama atau paling tidak coba menghubungi mereka bisa mempererat kembali hubungan anda. Anda bisa ngobrol mengingat kisah jaman dulu kala. Pasti stres anda akan lenyap seketika mentertawakan cerita-cerita lucu yang anda alami.
Perluas juga
hubungan sosial anda dengan sering-sering tambah teman, Banyak teman pasti banyak rejeki.
– Hobi
Kerjakan hobi anda untuk meredakan ketegangan.
Kerjakan hobi anda untuk meredakan ketegangan.
–
Doa
Dekatkan diri
pada-Nya, panjatkan doa, dan senantiasa ucapkan syukur atas segala limpahan
nikmat-Nya. Ini berpengaruh besar agar anda terhindar dari serangan stress
berat. Pada intinya, kunci management stress itu adalah terciptanya
keseimbangan. Anda tidak memberatkan satu sisi kehidupan dan melupakan sisi
lainnya. Anda tidak terlalu fokus pada pekerjaan anda misal sampai anda lupa
makan, lupa istirahat, dan “lupa-lupa” lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
Stres dan kepuasan kerja mempunyai
hubungan timbal-balik. Kepuasan kerja dapat meningkatkan daya tahan individu
terhadap stres dan dampak-dampak stres dan sebaliknya, stres yang dihayati oleh
individu dapat menjadi sumber ketidakpuasan.
Kebutuhan utama pekerja pada era
teknologi canggih ini adalah adanya hubungan sosial yang baik dengan pekerja
lainnya dan dengan penyelia/atasan serta penghargaan terhadap prestasi
kerjanya. Sehingga dengan demikian, agar kepuasan kerja dapat tercapai maka
perusahaan hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada sisi
lain, adanya hubungan sosial yang baik ini dapat dipersepsi pekerja sebagi
dukungan sosial yang dapat menurunkan ketegangan yang dihayatinya.
Usaha menurunnya stres dan dampaknya
dari lingkungan pekerjaan dapat dilakukan melalui perancangan kembali pekerjaan
dan memilih pekerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilaksanakannya.
Tujuannya adalah agar pekerjaan tidak dipersepsi sebagai suatu tekanan atau
sumber ketegangan oleh pekerja.
Dalam usaha mengurangi kadar stres
dan dampaknya tersebut penyelia atau atasan dapat berperan sebagai konselor
yang berusaha membantu pekerja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
Stres muncul jika terdapat
kesenjangan antara persepsi individu mengenai kebutuhan-kebutuhannya dan
persepsi individu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dari lingkungannya,
serta adanya kesenjangan antara persepsi individu mengenai tuntutan lingkungan.
Kepuasan kerja, yang berarti terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pekerja,
menunjukkan kesesuaian antara persepsi individu mengenai kebutuhannya dan
persepsi mengenai pemenuhan kebutuhan tersebut dari lingkungan. Tampak jelas
bahwa stres bahwa kepuasan kerja sendiri berarti tidak adanya stres individu.
Kepuasan kerja merupakan kondisi
emosional yang positif atau menyenangkan terhadap pekerjaan, yang berarti bahwa
makna pekerjaan bagi pekerja yang puas menjadi positif. Dengan adanya makna
pekerjaan yang positif ini pekerja menjadi lebih siap menghadapi
tuntutan-tuntutan pekerjaannya tersebut. Dengan demikian, walaupun individu
dihadapkan pada pekerjaan yang mempunyai kemungkinan memberikan stres yang
besar, kadar stres dan dampak stres yang dihayatinya tidaklah terlalu besar.
Makna pekerjaan bagi
Pekerjaan-pekerjaan tertentu dapat kembali dirancang agar tercapai kesesuaian
dengan kemampuan dan kebutuhan pekerja. Misalnya dengan melakukan pemerkayaan
pekerjaan pada pekerjaan lini rakit. Pada perkerjaan-pekerjaan tertentu,
misalnya penjinak bom atau pelatih singa untuk sirkus, perubahan pada pekerjaan
tersebut tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, usaha mengu-rangi stres dan
dampak stres lebih ditujukan pada pemilihan pekerja yang sesuai dengan
pekerjaan-pekerjaan Cara lain yang dapat dipergunakan untuk mengurangi stres
dan dampaknya adalah dengan mengubah persepsi pekerja mengenai pekerjaan dan
kemampuannya. Menurut pendekatan interaksional, persepsi memegang peranan yang
besar dalam menentukan kadar stres dan dampak stres tersebut. Di lingkungan
pekerjaan perubahan persepsi pekerja dapat dilaku-kan oleh atasan pekerjaan
tersebut yang memberikan keyakinan diri dan perasaan aman kepada pekerjanya.
Faktor lain yang mempengaruhi daya
tahan terhadap stres dalam pekerjaan adalah dukungan sosial (social supports),
yaitu jalinan ikatan sosial dan keluarga dari pekerja. Dukungan sosial dan
keluarga ini dapat menurunkan akibat-akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan,
dengan memberi kepuasan-kepuasan dan pencapaian-pencapaian yang lain diluar
pekerjaan. Dukungan sosial dan keluarga dapat menyalurkan perasaan-perasaan
negatif pekerja terhadap pekerjaannya dan menimbulkan harga diri, penerimaan,
serta kepercayaan terha-dap diri sendiri. Dari penelitian-penelitian yang telah
dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa kebutuhan pekerja yang utama adalah
hubungan sosial yang baik antara pekerja dan penyelia. Dengan demikian, tampak
jelas bahwa dukungan sosial memiliki arti yang penting bagi pemuasan kebutuhan
pekerja dan penurunan kadar stres maupun dampaknya.
Adanya hubungan yang baik dengan
penyelia atau atasan memungkinkan pekerja untuk mengkomunikasikan
masalah-masalah yang dihadapinya, yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini
tentu memiliki dampak yang baik bagi penurunan ketegangan pekerja tersebut
karena melalui cara demikian pekerja sedikit banyak dapat menyalurkan
ketegangannya (kartasis). Selain itu, dengan adanya hubungan yang baik ini,
pekerja memperoleh keyakinan bahwa pihak manajemen memberikan penghargaan
terhadap dirinya sebagai manusia, pihak manajemen dapat memahaminya, dan bukan
merupakan ancaman bagi dirinya. Di lain pihak, komunikasi dari pekerja
merupakan suatu informasi yang berharga bagi pihak manajemen yang dapat
dipergunakan untuk memperbaiki kondisi kerja di perusahaan tersebut.
No comments:
Post a Comment