Tuesday, August 21, 2018

Ilmu Pengetahuan Dengan Agama dan Akhlak


Ilmu Pengetahuan Dengan Agama dan Akhlak

Perpaduan ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak dikonsepkan oleh Al Ghazali sebagi al ma’rifah. Al Ghazali menerangkan jalan menuju ma’rifah sebagai kerinduan rohani untuk mengenal Tuhan dengan hati nurani melalui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan. Al ma’rifah menjadi tingkat yang tertinggi di dalam pengetahuan dan kesadaran rohani manusia terhadap Tuhan.
Al Ghazali mengemukakan hubungan yang erat dan tak terpatahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak. Hubungan inilah yang sedang dicari kembali dalan dunia ilmu pengetahuan modern terutama dalam bahasan mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Mengingat adanya kebutuhan kembali pada agama karena perkembangan jiwa manusia yang semakin lama semakin memprihatinkan, bahasan mengenai mengenal Tuhan lewat ilmu pengetahuan adalah tema yang penting. Manusia modern dinilai telah sangat rasional. Maka, ilmu pengetahuan sudah selayaknya menjadi jalan utama mengenal Tuhan, untuk menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna.
Al Ghazali mengemukakan adanya empat tingkatan akal manusia. Empat akal tersebut antara lain:
  1. Akal yang berarti “kecerdasan”. Akal dimiliki oleh setiap manusia yang membedakan dia dengan hewan dan makhluk lainnya. Makna akal inilah yang secara umum dipakai oleh orang kebanyakan. Akal inilah yang dibawa oleh manusia sejak lahirnya sebagai modal pokok untuk hidup.
  2. Akal yang berarti “pengertian”. Akal ini mulai tumbuh pada manusia setelah akalnya yang pertama mulai berjalan dan berkembang sejak ia kanak-kanak sampai menjadi orang dewasa. Akal inilah yang telah mengerti akan benar dan salah, baik dan buruk, tercela maupun terpuji.
  3. Akal yang berarti “pengetahuan”. Akal ini timbul karena pengajaran dan pengalaman di mana seorang manusia telah menyelidiki dan mempelajari segala sesuatu dengan seksama. Akal inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan seperti yang kita saksikan saat ini.                                                                                       
  1. Akal yang berarti “ma’rifah”. Akal ini merupakan puncak dari segala tingkatan akal, yaitu keinsyafan rohani manusia yang menyadari akibat sesuatu dan yang membawanya kepada keluhuran budi dan akhlak, serta memimpinnya pada Tuhan yang setinggi-tingginya. Akal inilah yang mencerminkan perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak.
Tingkatan akal ini kemudian digambarkan oleh Dr. M. Musthafa Helmi dalam pembagian manusia dalam tiga tingkatan, yaitu:
  1. Iman kaum awam, yaitu kepercayaan (keagamaan) orang-orang yang hanya berdasarkan kepada keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang lain, bukan hasil penyelidikannya sendiri.
  2. Iman kaum ulama, yaitu kepercayaan yang timbul dari hasil penyelidikan ilmu pengetahuan, dan inilah golongan ahli-ahli pengetahuan.
  3. Iman kaum arifin, yaitu kepercayaan yang memancar dari keyakina orang yang ruhaninya terbuka kepada Tuhan dan memegang teguh moral dan akhlak.
Konsep tentang ma’rifah menjadi dasar penjelasan Al Ghazali dalam teorinya tentang “ilmu pengetahuan yang sejati”. Ia mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa amal adalah gila, sedangkan amal tanpa ilmu adalah tidak sah. Ilmu pengetahuan semata-mata tidak menjauhkan dari berbuat dosa dan kejahatan, dan tidak pula mendekatkan kepada perbuatan taat dan kebaikan sewaktu hidup di dunia. Sedangkan untuk akhirat, ilmu itu tidak sanggup membebaskan manusia dari hukuman neraka.
Al Ghazali menegaskan bahwa seseorang yang telah mencapai tingkat arifin atau ma’rifah adalah mereka yang menyatupadukan ilmu pengetahuan dengan keimanan (agama), sehingga mereka memiliki hasrat untuk beramal dengan sesungguhnya dan mewujudkan pendidikan akhlak. Di dalam ma’rifah memancar niat yang ikhlas dan kemauan yang kuat, yang menjadi pokok pangkal bagi amal dan akhlak. Orang-orang yang demikian:
  1. Pertama kali akan tergambar di dalam cara berpikirnya.
  2. Kemudian mereka memiliki hasrat untuk menghadiri majelis-majelis pengajian.
  3. Mereka bergaul dengan orang baik-baik.
  4. Mereka merundingkan segala sesuatu dengan musyawarah.
  5. Kemudian dalam diri mereka terbentuk amal-amal yang baik dan akhlak yang tinggi.
Untuk mencapai hakikat ma’rifah ini, Al Ghazali mengemukakan adanya lima macam timbangan yang dianjurkan untuk digunakan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya untuk mencerdaskan dan memperkuat iman. Kelima tiimbangan itu yaitu:
  1. Perbandingan yang besar (akbar) yang didasarkan pada pemikiran dan ilmu pengetahuan.
  2. Perbandingan yang menengah (awsath) yang didasarkan kepada pengalaman.
  3. Perbandingan yang kecil (ashgar) yang didasarkan kepada panca indera.
  4. Timbangan kemestian (talazum) yang didasarkan kepada suatu kebenaran yang dapat ditimbulkan oleh intuisi.
  5. Timbangan pertentangan (ta’arudh) yang didasarkan pada pertentangan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk menimbulkan kebenaran (sintesa).
Dalam kelima rangka tersebut, dibuka kesempatan yang sangat luas untuk menggunakan pikiran dan contoh-contoh perbandingan, dan kepatuhan kepada pemimpin. Dalam hal ini, sumber pikiran tertinggi adalah Al Quran dan pemimpin yang harus ditaati adalah Nabi Muhammad SAW yang manjadi contoh amal dan akhlak yang utama.
PengertianAkhlak:    
            Akhlak adalah kata jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau karakter. Tiga ahli di bidang akhlak, yaitu Ibnu Miskawaih, Al Ghazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa moralitas adalah temperamen yang melekat dari seseorang yang dapat membawa perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran pertama.Kata akhlak didefinisikan sebagai perilaku, tetapi perilaku harus diulang hanya sekali tidak cukup untuk melakukan perbuatan baik, atau hanya kadang-kadang. Seseorang dapat dikatakan merosot jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi yang kuat dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan terutama pikir pertimbangan sering diulang, sehingga terkesan sebagai suatu keharusan untuk melakukan. Jika hal itu dilakukan oleh dipaksa tidak refleksi dari akhlak.
                                                                             

Agama dan Akhlak
Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti "baik", "buruk", "harus", "tidak boleh", "benar", "tidak benar", "tugas", dan "tanggung jawab", semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai ini memiliki paedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan hidup serta jauh dari kebahagiaan.
Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama, dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya, mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan akhlak buruk.
 Sangat banyak dari komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak. Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita menerima secara yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan.
            Berkenaan dengan komprehensif agama dan komprehensif akhlak serta hubungan keduanya telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, dimana dalam hal ini penentuan ukuran akhlak akan berpengaruh dalam memberi tinjauan dan konklusi tentangnya. Dengan pengertian bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip kelezatan atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat atau prinsip akal praktik ('amali), dalam konteks ini mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk pondasi bagi yang lainnya; dan jika parameter permasalahan-permasalahan akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita terhadap "qurbah" dan "maqâm" Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan.
    Dalam tulisan sebelumnya juga telah dipaparkan secara singkat beberapa teori dan pandangan pemikir Barat berkenaan masalah ini. Sekarang dalam tulisan kedua ini kami akan paparkan beberapa teori dan pandangan dari ulama dan pemikir Muslim tentang hubungan akhlak dengan agama serta mengungkapkan teori yang menjadi pilihan kami.
Kesimpulan :
Kalau diperhatikan di jaman modern ini banyak orang berilmu tapi tidak bisa memanfaatkan ilmunya tersebut. Ilmu yang bermanfaat itu adalah dapat menyampaikan atau mengajarkan kepada orang lain supaya orang bisa menjadi tau dan mengerti terutama dibidang ilmu pengetahuan agama dan akhlak.Karena moralitas orang sekarang ini sudah mulai menipis,jadi dengan adanya masalah pendidikan ilmu agama dan akhlak ini dapat mendidik orang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.


No comments:

Post a Comment

RESUME BUKU HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( HUALA ADOLF )

BAB I Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubun...