Ilmu Pengetahuan Dengan Agama dan
Akhlak
Perpaduan ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak
dikonsepkan oleh Al Ghazali sebagi al ma’rifah. Al Ghazali menerangkan
jalan menuju ma’rifah sebagai kerinduan rohani untuk mengenal Tuhan dengan hati
nurani melalui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan. Al ma’rifah menjadi
tingkat yang tertinggi di dalam pengetahuan dan kesadaran rohani manusia
terhadap Tuhan.
Al
Ghazali mengemukakan hubungan yang erat dan tak terpatahkan antara ilmu
pengetahuan dengan agama dan akhlak. Hubungan inilah yang sedang dicari kembali
dalan dunia ilmu pengetahuan modern terutama dalam bahasan mengenai islamisasi
ilmu pengetahuan. Mengingat adanya kebutuhan kembali pada agama karena
perkembangan jiwa manusia yang semakin lama semakin memprihatinkan, bahasan
mengenai mengenal Tuhan lewat ilmu pengetahuan adalah tema yang penting.
Manusia modern dinilai telah sangat rasional. Maka, ilmu pengetahuan sudah
selayaknya menjadi jalan utama mengenal Tuhan, untuk menjadi insan kamil
atau manusia yang sempurna.
Al
Ghazali mengemukakan adanya empat tingkatan akal manusia. Empat akal tersebut
antara lain:
- Akal
yang berarti “kecerdasan”. Akal dimiliki oleh setiap manusia yang membedakan dia
dengan hewan dan makhluk lainnya. Makna akal inilah yang secara umum
dipakai oleh orang kebanyakan. Akal inilah yang dibawa oleh manusia sejak
lahirnya sebagai modal pokok untuk hidup.
- Akal
yang berarti “pengertian”. Akal ini mulai tumbuh pada manusia setelah akalnya
yang pertama mulai berjalan dan berkembang sejak ia kanak-kanak sampai
menjadi orang dewasa. Akal inilah yang telah mengerti akan benar dan
salah, baik dan buruk, tercela maupun terpuji.
- Akal
yang berarti “pengetahuan”. Akal ini timbul karena pengajaran dan pengalaman di
mana seorang manusia telah menyelidiki dan mempelajari segala sesuatu
dengan seksama. Akal inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan seperti yang
kita saksikan saat ini.
- Akal
yang berarti “ma’rifah”. Akal ini merupakan puncak dari segala tingkatan akal,
yaitu keinsyafan rohani manusia yang menyadari akibat sesuatu dan yang
membawanya kepada keluhuran budi dan akhlak, serta memimpinnya pada Tuhan
yang setinggi-tingginya. Akal inilah yang mencerminkan perpaduan antara
ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak.
Tingkatan akal ini kemudian digambarkan oleh Dr. M. Musthafa
Helmi dalam pembagian manusia dalam tiga tingkatan, yaitu:
- Iman
kaum awam,
yaitu kepercayaan (keagamaan) orang-orang yang hanya berdasarkan kepada
keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang lain, bukan hasil
penyelidikannya sendiri.
- Iman
kaum ulama,
yaitu kepercayaan yang timbul dari hasil penyelidikan ilmu pengetahuan,
dan inilah golongan ahli-ahli pengetahuan.
- Iman
kaum arifin,
yaitu kepercayaan yang memancar dari keyakina orang yang ruhaninya terbuka
kepada Tuhan dan memegang teguh moral dan akhlak.
Konsep tentang ma’rifah menjadi dasar penjelasan Al Ghazali
dalam teorinya tentang “ilmu pengetahuan yang sejati”. Ia mengemukakan bahwa
ilmu pengetahuan tanpa amal adalah gila, sedangkan amal tanpa ilmu adalah tidak
sah. Ilmu pengetahuan semata-mata tidak menjauhkan dari berbuat dosa dan
kejahatan, dan tidak pula mendekatkan kepada perbuatan taat dan kebaikan
sewaktu hidup di dunia. Sedangkan untuk akhirat, ilmu itu tidak sanggup
membebaskan manusia dari hukuman neraka.
Al Ghazali menegaskan bahwa seseorang yang telah mencapai
tingkat arifin atau ma’rifah adalah mereka yang menyatupadukan ilmu pengetahuan
dengan keimanan (agama), sehingga mereka memiliki hasrat untuk beramal dengan
sesungguhnya dan mewujudkan
pendidikan akhlak. Di dalam ma’rifah memancar niat yang ikhlas dan kemauan yang
kuat, yang menjadi pokok pangkal bagi amal dan akhlak. Orang-orang yang
demikian:
- Pertama
kali akan tergambar di dalam cara berpikirnya.
- Kemudian
mereka memiliki hasrat untuk menghadiri majelis-majelis pengajian.
- Mereka
bergaul dengan orang baik-baik.
- Mereka
merundingkan segala sesuatu dengan musyawarah.
- Kemudian
dalam diri mereka terbentuk amal-amal yang baik dan akhlak yang tinggi.
Untuk
mencapai hakikat ma’rifah ini, Al Ghazali mengemukakan adanya lima macam
timbangan yang dianjurkan untuk digunakan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya
untuk mencerdaskan dan memperkuat iman. Kelima tiimbangan itu yaitu:
- Perbandingan
yang besar (akbar) yang didasarkan pada pemikiran dan ilmu
pengetahuan.
- Perbandingan
yang menengah (awsath) yang didasarkan kepada pengalaman.
- Perbandingan
yang kecil (ashgar) yang didasarkan kepada panca indera.
- Timbangan
kemestian (talazum) yang didasarkan kepada suatu kebenaran yang
dapat ditimbulkan oleh intuisi.
- Timbangan
pertentangan (ta’arudh) yang didasarkan pada pertentangan antara
sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk menimbulkan kebenaran (sintesa).
Dalam kelima rangka tersebut, dibuka
kesempatan yang sangat luas untuk menggunakan pikiran dan contoh-contoh
perbandingan, dan kepatuhan kepada pemimpin. Dalam hal ini, sumber pikiran
tertinggi adalah Al Quran dan pemimpin yang harus ditaati adalah Nabi Muhammad
SAW yang manjadi contoh amal dan akhlak yang utama.
PengertianAkhlak:
Akhlak
adalah kata jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti
perangai, tingkah laku, atau karakter. Tiga ahli di bidang akhlak, yaitu
Ibnu Miskawaih, Al Ghazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa moralitas adalah
temperamen yang melekat dari seseorang yang dapat membawa perbuatan baik tanpa
mempertimbangkan pikiran pertama.Kata akhlak didefinisikan sebagai
perilaku, tetapi perilaku harus diulang hanya sekali tidak cukup untuk
melakukan perbuatan baik, atau hanya kadang-kadang. Seseorang dapat dikatakan
merosot jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi yang kuat dan
dilakukan tanpa banyak pertimbangan terutama pikir pertimbangan sering diulang,
sehingga terkesan sebagai suatu keharusan untuk melakukan. Jika hal itu
dilakukan oleh dipaksa tidak refleksi dari akhlak.
Agama dan Akhlak
Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti
"baik", "buruk", "harus", "tidak
boleh", "benar", "tidak benar", "tugas", dan
"tanggung jawab", semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus
yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai
ini memiliki paedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan
ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan
merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan
hidup serta jauh dari kebahagiaan.
Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama,
dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan
akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya,
mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat
apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku
akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling
urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan
postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan
perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan akhlak buruk.
Sangat banyak dari
komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak.
Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang
diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung
dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah
perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak
berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain
agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita
menerima secara yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi
ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia
akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan.
Berkenaan dengan komprehensif agama dan komprehensif akhlak serta hubungan keduanya
telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, dimana dalam hal ini penentuan
ukuran akhlak akan berpengaruh dalam memberi tinjauan dan konklusi tentangnya.
Dengan pengertian bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip
kelezatan atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat atau prinsip akal praktik
('amali), dalam konteks ini mungkin akhlak dengan agama diasumsikan
tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk
pondasi bagi yang lainnya; dan jika parameter permasalahan-permasalahan akhlak
adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita
terhadap "qurbah" dan "maqâm" Tuhan maka
hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan.
Dalam tulisan sebelumnya juga telah dipaparkan secara singkat beberapa teori
dan pandangan pemikir Barat berkenaan masalah ini. Sekarang dalam tulisan kedua
ini kami akan paparkan beberapa teori dan pandangan dari ulama dan pemikir Muslim
tentang hubungan akhlak dengan agama serta mengungkapkan teori yang menjadi
pilihan kami.
Kesimpulan
:
Kalau diperhatikan di jaman modern ini
banyak orang berilmu tapi tidak bisa memanfaatkan ilmunya tersebut. Ilmu yang
bermanfaat itu adalah dapat menyampaikan atau mengajarkan kepada orang lain
supaya orang bisa menjadi tau dan mengerti terutama dibidang ilmu pengetahuan
agama dan akhlak.Karena moralitas orang sekarang ini sudah mulai menipis,jadi
dengan adanya masalah pendidikan ilmu agama dan akhlak ini dapat mendidik orang
menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
No comments:
Post a Comment